SEJARAH KEMUNCULAN TATO DI NEGARA INDONESIA

Tatto merupakan salah satu kebudayaan dari Mentawai, Sumatera Barat. Terdapat jua Tatto yang bersumber pada kebudayaan suku Dayak Iban, Dayak Kayan dan suku Bali. Bagi masyarakat tradisional, tatto bukanlah sekedar indera mencari sensasi. Tatto bagi warga tradisional mengandung banyak sekali makna dan sarat.suku Mentawai dikenal banyak mempunyai rajah atau tato di tubuhnya, sinkron ritual Arat Sabulungan. Arat Sabulungan merupakan satu sistem pengetahuan, nilai, serta anggaran hidup yg dipegang kuat dan diwariskan sang leluhur suku Mentawai. Mereka meyakini adanya dunia roh dan jiwa. Di Indonesia budaya tato sudah ada pada kalangan rakyat Kepulauan Mentawai sejak tahun 53 sebelum Masehi. Nenek moyang orang Mentawai, yg merupakan bangsa Proto Melayu, tiba ke Indonesia dari daratan Asia ke pantai barat Sumatra lebih kurang 1.500-500 SM. Dan pada masyarakat ini, tato memilki kaitan erat dengan sistem kemasyarakatan, sebagai akibatnya setiap penduduk suku asli Mentawai mempunyai belasan tato pada sekujur tubuhnya.
Tato mereka mempunyai beragam fungsi, misalnya pernah dibahas dalam “Melestarikan Rajah Purba” yang dimuat di Tempo Online, 12 April 2010. Ada tato yg menjelaskan loka tinggal serta suku berasal seseorang, ada juga tato yg mengungkapkan profesinya. Sikerei atau pemimpin tata cara suku asli Mentawai umumnya mempunyai tato bintang sibalu-balu. Para pemburu mempunyai rajahan berupa gambar binatang hasil tangkapan mereka: babi, rusa, monyet, buaya, burung, dan sebagainya. Tato Mentawai pula berfungsi sebagai simbol ekuilibrium alam. Sayangnya, saat ini sudah sedikit penduduk suku asli Mentawai yg menato tubuhnya. 

Filosofi mereka merupakan setiap benda yg ada, hidup atau meninggal memiliki roh dan jiwa seperti manusia. Mereka pun wajib diperlakukan seperti manusia. Karena itu orang tidak boleh menebang pohon asal-asalan, tanpa biar penguasa hutan (taikaleleu), dan kesediaan berdasarkan roh serta jiwa berdasarkan kayu itu sendiri. Untuk menjaga ekuilibrium serta keharmonisan dengan dunia roh, insan, serta alam, orang Mentawai mempersembahkan aneka macam sesaji serta melakukan aneka macam ritual.

William Marsden dalam laporannya abad ke-18 berkata, umumnya penduduk Mentawai menggunakan tato (titi). Mereka mulai memberi tato dalam anak pria sejak berumur tujuh tahun. Semakin bertambah usia si anak, tato semakin dilengkapi. Khusus pada Pagai, galat satu deretan pulau di Mentawai, tato kaum perempuan berbentuk bintang serta ditorehkan di kedua bahu. Tato itu dibentuk dengan kawat tembaga yang dipasang tegak lurus pada ujung sepotong kayu dengan panjang kurang lebih 20 sentimeter. Tinta yg digunakan terbuat dari jelaga damar yang dicampur air atau air tebu (Sejarah Sumatra, hal. 272).

Pada tradisi orang Dayak, Tato adalah ritual tradisional yg terhubung menggunakan peribadatan, kesenian dan pula pengayauan. Ia inheren ditubuh secara permanen sehingga beliau sebagai ikatan pertalian, penanda yg nir terpisahkan hingga kematian, selain itu jua berfungsi menerangkan status sosial pemakai maupun grup tertentu. Gambar serta motif tertentu pada tato yg dikenakan orang Dayak terdapat yang dipercaya penggunanya adalah cara buat menangkal dampak dursila dan membawa keselamatan.

Dalam bukunya Dragon and Hornbill, Bernard Sellato mengungkapkan bahwa selain Dayak Tunjung serta Dayak Daratan, hampir semua gerombolan suku Dayak di Kalimantan mengenal Tato menjadi penanda serta identitas kelompoknya. Terutama yang mengemuka pada Kalimantan Barat merupakan kaum lelaki Iban, Kayan dan Taman. Pada orang Dayak Kayan dan Kenyah, wanita mengenakan lebih poly tato pada tangan dan kakinya buat mempercantik diri.

Menurut Sellato jua, motif yg dikenakan kaum laki-laki Dayak pada umumnya merupakan lambang kejantanan, keberhasilan dalam perang, dan identifikasi pada pertempuran. Motif tato yang acapkali pada pakai merupakan cara buat menangkal dampak dursila, penyembuhan penyakit, dan mempunyai makna religius, serta adalah lambang alam semesta yg saling melengkapi. Seorang lelaki dewasa Dayak Iban yang telah berpengalaman pada Mengayau, ataupun perantau serta berbagai kelebihan individu segera mengenakan lambang-lambang yg memperlihatkan keperkasaannya. Ini adalah kebanggaan, martabat serta sebuah fase yang didambakan kaum lelaki saat itu. 

PADA masa Orde Baru, sebuah stigma tidak mengenakkan diberikan kepada orang-orang bertato. Barangsiapa punya rajahan ditubuhnya dicap sebagai preman atau gali yang mengancam keamanan. Saat itu, awal 1980-an, kejahatan memang merajalela di mana-mana. Pemerintah lalu mengambil tindakan kejam dengan menggunakan tangan para Petrus (penembak misterius) buat menembak mati orang-orang yang dianggap atau dicurigai sebagai pengacau keamanan tanpa melalui prosedur hukum.

Brita L. Miklouhu-Makial pada buku Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak Tahun 1966, menulis bahwa para preman itu, yg diidentifikasikan melalui tato, ditembak secara rahasia kemudian mayatnya ditaruh pada karung serta dibuang pada sembarang tempat –tak sporadis di tengah keramaian– seolah-olah mereka sampah. Tercatat antara 5 sampai 10.000 orang yg dicurigai sebagai preman mangkat mengenaskan.

Meski banyak pihak mengkritiknya, Soeharto bersikukuh menggunakan “metode pencucian” itu dan menekankan shock therapy itu diharapkan buat menekan tingginya tingkat kriminalitas.

“Tato diasosiasikan dengan kejahatan… terlepas berdasarkan apa yang dilakukan atau niat orang itu. Pernyataan Presiden Soeharto menampakan bahwa daya tarik rajah merupakan pertanda dari kekuatannya, yang diatribusikan pada kriminalitas jauh lebih akbar daripada perbuatan kriminal itu sendiri,” tulis Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek pada Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam. Lihat juga sejarah kemunculan tato pada dunia

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel