PERKEMBANGAN HAKI DI INDONESIA PERUBAHAN BERBAGAI ATURAN UU DI INDONESIA
Tuesday, May 24, 2016
Edit
Perkembangan HaKi di Indonesia, mulai muncul terkenal memasuki tahun 2000 sampai menggunakan sekarang. Tapi, saat kepopulerannya itu sudah hingga puncaknya, grafiknya akan turun. Ketika mau turun, muncullah hukum siber (cyber), yang ternyata perkembangan dari HaKI itu sendiri. Jadi, HaKI akan terbawa terus seiring menggunakan ilmu-ilmu yg baru. Seiring menggunakan perkembangan teknologi fakta yang nir pernah berhenti berinovasi.
Sedangkan buat peraturan perundangan HaKI pada Indonesia telah dimulai semenjak masa penjajahan Belanda. Hal ini dibuktikan menggunakan diundangkannya Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600. Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No. JS lima/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 lepas 29 Agustus 1953 mengenai Pendaftaran Sementara Paten.
Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 mengenai Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah pula mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 mengenai Hak Cipta. Di bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 mengenai Paten yg mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah membarui Undang-undang No. 21 Tahun 1961 mengenai Merek dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 mengenai Merek.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya beberapa kesepakatan internasional di bidang HaKI sebagaimana dijelaskan dalam jawaban no. 7 pada atas, maka Indonesia wajib menyelaraskan peraturan perundang-undangan pada bidang HaKI. Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah merevisi pulang beberapa peraturan perundang-undangan pada bidang HaKI, menggunakan mengundangkan:
- Undang-undang No. 12 Tahun 1997 mengenai Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
- Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 mengenai Paten;
- Undang-undang No. 14 Tahun 1997 mengenai Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992 mengenai Merek;
Adanya pertimbangan masih perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang mengenai copyright, paten, serta merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga Undang-undang tersebut sudah direvisi pulang pada tahun 2001. Selanjutnya sudah diundangkan:
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek.
Pengaruh International Covention & International Pressure Terhadap Pembentukan HaKI
Indonesia masuk menjadi anggota WTO (World Trade Organization) dalam tahun 1994, dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian krusial menurut Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan menggunakan TRIPs, Pemerintah Indonesia jua sudah meratifikasi kesepakatan -konvensi Internasional pada bidang HaKI, yaitu:
- Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979
- Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997;
- Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997
- Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
- WIPO Copyrights Treaty (WCT) menggunakan Keppres No. 19 Tahun 1997;
HaKI merupakan konsep hukum yang netral. Namun, menjadi pranata, HaKI jua mempunyai misi. Di antaranya, menjamin proteksi terhadap kepentingan moral serta ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan sistem HaKI sudah diarahkan buat menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industri dan kemudian lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dibuat buat memberi tenaga serta motivasi pada warga buat lebih bisa menggerakkan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki.
Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti bisa menjadi keliru satu payung pelindung bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif serta inovatif. Lebih menurut itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan buat mengurangi kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, mendapat globalisasi serta mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI nir lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan dalam masyarakat, tetap sebagai justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas proteksi aneka macam bidang HaKI di taraf nasional. Tetapi, seluruh itu wajib tetap berada pada koridor hukum serta norma-kebiasaan internasional.
Dari segi aturan, sesungguhnya landasan keberpihakan pada kepentingan nasional itu sudah tertata dalam aneka macam pranata HaKI. Di bidang paten contohnya, monopoli dominasi dibatasi hanya 20 tahun. Selewatnya itu, paten menjadi public domain. Artinya, klaim monopoli dilarang serta warga bebas memanfaatkan.
Di bidang merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan serta penggunaan merek yang miskin reputasi. Merek serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang buat komoditas dagang yg heterogen. HaKI hanya memberi otoritas monopoli yg lebih ketat pada merek yg sudah menjadi pertanda dagang yang populer. Di luar itu, warga bebas menggunakan sepanjang sinkron menggunakan aturan. Yang niscaya, permintaan pendaftaran merek ditolak apabila didasari iktikad tidak baik.
Efektivitas UU mengenai HaKi ditentukan oleh tiga hal primer, yaitu :
Pertama, dari segi kualitas perundang-undangan. Masalahnya merupakan apakah materi muatan UU sudah tersusun secara lengkap dan memadai, dan terstruktur serta mudah dipahami. Aturan perundang-undangan pada bidang HaKI mempunyai kendala dari sudut parameter ini. Hal ini terbukti menurut seringnya merevisi perangkat perundangan yang telah dimiliki. UU Hak Cipta telah tiga kali direvisi. Demikian pula UU Paten serta UU Merek yang sudah disempurnakan lagi sehabis sebelumnya beserta-sama direvisi tahun 1997. Sebagai instrumen pengaturan yg nisbi baru, bongkar pasang UU bukan hal yg tabu.
Kedua, taraf kesiapan aparat penegak hukum. Faktor ini melibatkan banyak pihak: polisi, jaksa, hakim, serta bahkan para advokat. Seperti sudah sering kali dikeluhkan, sebagian berdasarkan para aktor penegakan hukum tadi dinilai belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan UU HaKI secara optimal. Dengan menepis aneka macam kemungkinan terjadinya 'defleksi', hambatan yg dihadapi memang tidak sepenuhnya berada pada pundak mereka. Sistem pendidikan serta kurikulum pada bangku pendidikan tinggi tidak menaruh bekal substansi yang relatif pada bidang HaKI. Karenanya, bisa dipahami jika paras penegakan hukum HaKI masih tampak kusut dan seringkali diwarnai banyak sekali kontroversi.
Ketiga, derajat pemahaman rakyat. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut rakyat tahu sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yg memadai. Sebagai konsep aturan baru yg padat menggunakan teori lintas ilmu, HaKI mempunyai kendala klasik buat bisa dimengerti serta dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi,
Dari gambaran di atas tampak bahwa faktor pemahaman warga dan kesiapan aparat penegak aturan, mempunyai korelasi yg kuat menggunakan aktivitas sosialisasi yg dilaksanakan. Sosialisasi sebagai taraf prakondisi bagi efektivitas penegakan aturan. Efektivitas penegakan aturan sungguh sangat ditentukan oleh taraf pemahaman masyarakat serta kesiapan aparat. Semakin tinggi pemahaman masyarakat meningkat juga taraf pencerahan hukumnya. Keduanya adalah faktor yang memilih. Sosialisasi diperlukan utamanya buat membentuk pemahaman serta menumbuhkan kesadaran rakyat. Seiring menggunakan itu untuk menaikkan pemahaman dan memantapkan kemampuan aparat pada menangani kasus HaKI.
Di antara bidang-bidang HaKI yang diobservasi, copyright, serta merek adalah korban paling parah dampak pelanggaran. Terdapat empat kategori karya cipta yg poly dibajak hak ekonominya. Data ini direpresentasi sang karya program personal komputer , musik, film serta buku dari AS yang secara berturut-turut mencatat angka kerugian yang sangat signifikan. Kalkulasi kerugian banyak sekali komoditas tadi telah memaksa AS menghukum Indonesia dengan menempatkannya ke pada status priority watchlist pada beberapa tahun terakhir ini.
Kasus misalnya pada atas tidak akan cepat berakhir, Prediksi ini muncul karena fenomena delik yang masih belum dijerakan oleh hukuman pidana yang dijatuhkan. Faktor deterrent hukum masih belum mampu unjuk kekuatan. Pengadilan masih nampak 1/2 hati memberi hukuman. Padahal, pemalsuan suku cadang bukan saja merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi jua dapat mencelakakan serta mengancam jiwanya. Sebaliknya, dianggap sekedar sebagai perbuatan yang dikategorikan merugikan orang lain. Sekali lagi, taraf kesadaran hukum masyarakat sangat memilih. Betapapun, datangnya kesadaran itu tak jarang wajib dipaksakan melalui putusan pengadilan. Inilah harga yang wajib dibayar buat dapat mewujudkan penegakan aturan HaKI yang nir hanya dibutuhkan buat kepentingan pemegang HaKI, namun pula bagi agunan kepastian, kenyamanan, dan keselamatan masyarakat konsumen secara holistik.
Demikian artikel sederhana saya mengenai perkembangan HaKI pada Indonesia, semoga artikel ini sanggup bermanfaat bagi sobat, jangan lupa sebarkan kepada semua.
- Baca Juga : Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)
def+