KETERKAITAN KEMISKINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL

Dalam konteks Indonesia, jika dipandang menurut masalah kemiskinan, secara tidak langsung memberitahuakn adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural menggunakan kemiskinan kultural. Terlebih status Indonesia selain menjadi negara berkembang, jua mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan huma baru dan membuka jalan raya, yg berdampak pada kemerosotan kesejahteraan petani, memperkaya mereka yg memiliki kapital akbar, yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde usang memfokuskan pada pembangunan aspek politik. Proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib berlangsung secara cepat. Pada fase ini syarat perekonomian negara jauh berdasarkan stabil, penanganan masalah kemiskinan belum sebagai prioritas sehingga warga tidak bergerak berdasarkan situasi kemiskinannya, lantaran secara struktural nir terprioritaskan.
Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan dalam bisnis mengatasi kemiskinan. Melalui cara pinjaman dana kepada forum donor pada luar negeri, seperti IGGI dilakukan secara ekstensif. Tetapi, impak menurut kebijakan ini bukan malah menghapus kemiskinan, melainkan membangun kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi pada desa-desa dalam wujud pendayagunaan seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tumbuhan industri dan sebagainya. Kondisi itu pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yg semakin akut, serta nir merubah kehidupan rakyat miskin dan malah memperkaya mereka yg telah kaya.
Oleh karenanya ditinjau berdasarkan perjalanan kemiskinan diatas, kemiskinan kultural adalah buah dari kemiskinan struktural. Masyarakat menjadi fatalis, semakin pasrah, menduga miskin menjadi nasib dan garis hayati. Hal itu seringkali diperkuat menggunakan pendekatan keagamaan yg meminta supaya orang tetap selalu bersabar serta bersyukur menerima ‘takdir’ yg dialaminya.
Jika dicermati dari argumentasi diatas, lebih banyak didominasi kemiskinan yang terjadi adalah dominasi kemiskinan struktural. Tidak terdapat proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah sebagai buruh tani, begitu jua nelayan, pemulung, serta lain-lain. Jikapun terdapat acara penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan serta nir mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel