CERPEN PRAMUKA GERIMIS MERAH ARIEF AGOOMILAR


BELAJAR PRAMUKA - Langit tampakbegitu temaram, sekali waktu suara bergemuruh menggema sayup-sayup menurut balik awan,mengabarkan dalam semesta bahwa rintik-rintik air hujan mampu jatuh kapan sajamembasahi bumi. Angin hanya berhembus perlahan serta kicauan burung di antararindang pepohonan seperti menghilang tanpa isyarat, tenggelam dalam wibawa alamyang implisit dibalik redupnya surya sore ini.
.
.
Aku mempercepat laju motorku, ancaman menurut hujan yg bisa turunsewaktu-ketika dan kesadaran bahwa diriku sudah telat datang ke tempatperjanjian semenjak hampir satu jam yang lalu membuat saya hanya mampu pasrah padakenyataan saja.
“Semoga hujan nir turun.. Semoga beliau masih pada sana…” Gumamku berulang-ulangseperti melafalkan mantra.
.
.
Aku begitu galau, aku yg baru saja lulus menurut SMAN tiga Bandung duaminggu yg lalu ini benar-sahih tidak pernah menganggap bahwa ban motorku haruspecah dua kali sore ini, tanda apa gerangan? Pikirku penuh tanya.
.
.
Untuk seorangpemuda yg terbiasa mengendarai motor setiap hari menuju sekolah, akusepenuhnya mengerti bila peristiwa pecah ban di tengah jalan adalah hal yanglumrah dan mampu terjadi kapan saja pada siapa saja, namun mengapa mestisekarang? Mengapa harus hari ini?
.
.
Aku bukan orang yang senang mempersalahkan nasib, akan tetapi mengingatbahwa hari ini mungkin merupakan hari terakhirku sanggup memandangi paras cantikSamya, gadis yang sudah sebagai kekasihku semenjak tiga tahun yg lalu, saya mulaiberpikir betapa nasib seperti sengaja mempermainkanku kali ini, apalagi setelahaku menyadari bahwa telepon genggam yg umumnya tak pernah lupa kusertakankemanapun ternyata tertinggal pada kamarku.
.
.
Sekarang aku hanya mampu menggerutu pada hati, harapanku kini adapada diri Samya seorang.
Semoga saja gadis itu relatif sabar menunggu kedatanganku.
.
.
Aku memahami betulbahwa tak lama lagi Samya akan pergi serta menetap di Perancis, tinggal bersamakedua orangtuanya yg sudah relatif lama bekerja di kedutaan akbar RI pada negaraitu, dia akan segera meninggalkan negara ini, membawa jauh sejuta kenangan yangtelah kami lalui bersama-sama.
Aku berusaha memacu motorku lebih cepat lagi menuju tempatpertemuan yang sudah dijanjikan sang gadis itu sebelumnya, aku sahih-sahih taksudi menyia-nyiakan sedetikpun waktu-saat terakhirku bersama gadis itu.
.
.
Tak berapa usang butir-butir air mulai berjatuhan satu demi satu,menyisakan dingin udara menusuk-nusuk ragaku yg tengah memacu motor dalamkecepatan tinggi. Dari kembali helm saya menyaksikan jalanan yang mulai basahdibasuh gerimis, serta datang-datang saja saya merasa waktu seolah berjalan mundur,mundur, kemudian berhenti tepat dalam hari saat takdir mempertemukanku denganSamya buat pertama kalinya.
.
.
Aku tidak dapatmembayangkan betapa kurang pandai raut mukaku saat itu, saat tanpa sadar akumengulurkan tanganku kepadanya buat berjabat tangan, Samya hanya bengongsambil menatap ke 2 mataku, kami bertatap-tatapan sejenak menggunakan tanganbertautan, tanpa sepatah katapun. Hanya debaran jantung serta desah nafasmasing-masinglah yg dapat kami dengar serta rasakan waktu itu.
Aku serta dia misalnya dibekukan saat, hingga akhirnya sebuah teriakanmenyadarkan kami berdua,
“HEH! SIAPA YANG NYURUH SALAMAN?! AYO PUSH UP 15 KALI!!” Bentak galat seorangsenior yg melihat kelakuan ganjil kami saat program MOS berlangsung, Aku danSamya segera mengambil posisi push up sambil menahan senyum. Kami sepertimerasakan getaran yg sama, pada perasaan yg tiada terungkap lewat sepatahkatapun.
Aku baru sampai pada hitungan sepuluh kali push-up waktu langittiba-datang menghadiahi bumi menggunakan rintik-rintik air yg jatuh perlahan danlambat laun semakin menderas bersama guntur yg bersahut-sahutan.
Dan lagi, tanpa sadar aku menarik tangan Samya, membawanya berteduh pada emperankelas, bersama puluhan senior dan anak didik baru lainnya yg pula tak ingin basaholeh hujan pada pagi hari yang dingin itu. Kemudian seluruh terjadi sepertisebelumnya, Aku hanya terdiam pada sebelah Samya yang tampak gelisah dalamkeheningan yg diciptakan sang kami berdua, tiada sepatah katapun terucap daribibirku serta tiada sedikitpun kami berdua saling mengenal, namun telah dua kaliaku menyentuh jemari Samya dan gadis itu tidak kuasa menolaknya.
.
.
Sunyi baru bergerak di antara kami beberapa hari lalu, ketikaaku tanpa sengaja berpapasan menggunakan Samya di koridor kelas, kali ini saya takmau dibodohi sang perasaanku sendiri, maka tanpa basa-basi aku berusaha memulaipercakapan, saya tak ingin semuanya berakhir beku misalnya hari kemarin, hampa tanpakata-istilah.
“Hmm.. Eh.. Gini.. Kenalin, a.. Aku Zein…” Ujarku terbata-bata, tidak biasanyaaku merasa kikuk pada sebuah ta’aruf, akan tetapi entah mengapa, kali ini semuaterasa lain.
Samya hanya memandangku sejenak dengan senyum mekar, lalu Samyamengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya: selembar kertas dan sebatang pulpen.
‘AKU SAMYA, SENENG DEH BISA KENALAN SAMA KAMU’
Tulis gadis itu pada atas selembar kertas.
Aku terpaku dengan pandangan resah,
Sesombong inikah beliau? Apa beliau tak sudi berbicara denganku? Betapa angkuhnya!Batinku kesal.
Seakan mampu membaca isi hatiku, buru-buru Samya menulis sebaris kalimat lagidi bawah kalimat sebelumnya,
‘MAAF YA.. BUKANNYA SOMBONG, TAPI BEGINILAH KEADAANKU!’
Setelah membaca kalimat tadi Aku misalnya membeku di atas kakiku, saya tatapmatanya lekat-lekat seolah Samya adalah seseorang pembohong besar .
Tiba-datang Samya mengangguk, dia misalnya memahami tatapan penuh tanya darikuyang membutuhkan pembenaran dari kalimat yg dia tulis barusan.
Dan aku pun tercekat menggunakan mata terbelalak tidak percaya sesudah saya yakindengan kejujuran yg dipancarkan berdasarkan sepasang mata latif gadis itu.
Gadis ini… tak dapat mengungkapkan-istilah?
.
.
Roda-roda motor kesayanganku masih gagah membelah gerimis yangkian menderas, saya benar-benar berusaha secepat mungkin menemui Samya yangtentu sudah sedari tadi menungguku di tepi sebuah danau mini di belakang tamandekat sekolah, tempat yang begitu poly menyimpan kenangan kami berdua.
Sesekali padatnya kendaraan yang memenuhi ruas-ruas jalan memaksaku untuksedikit melambatkan motor, dalam hati aku mengumpat, saya tidak bisa membiarkanSamya menunggu lebih lama , tidak baik membiarkan seorang wanita menunggusendirian pada sore hari yg muram seperti ini.
.
.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana Samya amat membencikemacetan, meski gadis itu tiada dapat mengucap sepatah katapun karena pitasuaranya telah lama dirusak oleh penyakit Laryngitis parah yg mampumelumpuhkan saraf-saraf lisannya, namun aku dapat merasakan ketidaksukaan gadisitu pada padatnya jalan lewat desahan nafas panjang yang berulang-ulang setiapkali kuantar dia pergi ke rumahnya dengan motor kesayanganku.
Jika sudah begitu, saya hanya mampu menghibur Samya menggunakan mengajaknya bicaramengenai apa pun yg sekiranya dapat menarik perhatian gadis itu, serta Samyahanya perlu merespon dengan anggukan atau gelengan kepala saja.
Pada ketika-waktu seperti ini, meski dia tidak bisa menanggapi celotehku dengankata-istilah, akan tetapi saya bisa merasakan bahwa wanita itu sebagai lebih damai, danaku semakin merasa bahwa aku bisa menghangatkan hatinya menggunakan ketulusan yangmungkin tidak akan pernah beliau temukan lagi dikemudian hari.
.
.
Seusai jalanan balik lancar, aku tentu akan berhenti berceloteh,dan Samya pun akan mengencangkan pelukannya pada pinggangku, membuat darahkuseakan berdesir begitu kencang diantara perasaan senang yang membuncah, tumpahruah memenuhi relung-relung hatiku yg terdalam.
Dari situlah aku menyadari, keputusanku untuk menjalin kasih dengan Samyatidaklah salah sama sekali, biarpun cemoohan dan komentar miring selalu sajaterdengar berdasarkan lisan para penggunjing, tetapi tidak sekalipun saya terpengaruh,karena di depan cinta seluruh suara-suara pengganggu yang mempermasalahkanketidaksempurnaan Samya itu memang misalnya tak terdapat artinya. Menguap begitu saja.
Kini saya menatap jalan dengan mata berembun.
Semuanya terlihat begitu memilukan sekarang, kenyataan bahwa kekasihku tercintaakan segera pulang ke tempat yg teramat jauh membuat dadaku menyesak hebat,kiranya inilah yg saya sebut sebagai kekhawatiran yang tiba dari keberadaaancinta.
.
.
Aku nir sanggup menepis ketakutan yg terus membayangiku sejakSamya mengungkapkan rencananya buat tinggal bersama ke 2 orangtuanya pada jantungkota Paris, Perancis. Aku takut jeda akan mengaburkan kasih sayang kami perlahan-lahan,lantaran jarak sanggup berarti kehidupan, serta kehidupan memang tidak pernah terlepasdari jeda, maka bagaimana sepasang anak adam dapat mencintai satu sama laindengan jarak yg merintangi kehidupan mereka berdua? Cinta tentu akan terasahambar tanpa pertemuan.
.
.
Aku bisa saja berjanji buat menunggu Samya pulang, entah kapan.tapi itu semua pasti tidak akan semudah membalikan telapak tangan, bukankahkesetiaan sama beratnya seperti pengorbanan? Aku tidak ingin Samya terbebanidengan janji-janjinya, lantaran saya memahami janji merupakan hutang, serta hutang haruslahditebus dikemudian hari, bagaimana jika suatu hari aku atau beliau menemukan oranglain yang pantas buat kami cintai?
Sejujurnya aku tidak pernah menginginkan hal itu terjadi: kami berpisah danmenemukan cinta kami masing-masing. Karena saya hanya menginginkan Samyaseorang! Hanya gadis itu!
Aku ingin mencicipi kebahagiaan beserta ia menggunakan segala kekurangannya, bagikuketidaksempurnaannya bukanlah sebuah kasus, lagipula bukankah tak adaseorangpun pada dunia ini yang mencapai derajat kesempurnaan? Lantas apa gunanyapula saya mempermasalahkan kesempurnaannya?
.
.
Dibalik seluruh pikiranku yg mengawang, aku masih saja menyesaliketerlambatanku hari ini,
Pertemuan hari ini sesungguhnya telah saya nantikan semenjak peristiwa menyedihkandua minggu yang kemudian, tepat pada hari perayaan kelulusan SMA ku serta Samya.
.
.
Saat itu, ditengah hiruk pikuk euforia anak didik yg berhamburansetelah acara kelulusan, Samya menarik tanganku menjauhi kerumunan yang bising,menuju danau kecil di belakang taman dekat sekolah, di sana Samya menumpahkantangisnya dalam rengkuhan tanganku yang masih nir mengerti, barulah setelahSamya memandang sedih kepadaku menggunakan airmata yg tertahan pada pelupuk matanya,aku menyadari bahwa gadis ini sedang mengisyaratkan sebuah perpisahan yangteramat menyakitkan.
.
.
“Jadi.. Sebulan lagi engkau akan pergi menyusul ke 2 orangtuamu?Tinggal di perancis?” Tanyaku sehabis Samya menandakan email menurut Ibunya diPerancis sana lewat telepon genggam miliknya, kami berdua sekarang tengah dudukberdampingan pada pinggir danau tadi.
Samya merebahkan kepalanya ke pundakku, beliau mengangguk pelan menggunakan kepalabergetar menunda tangis, Samya mengerti benar betapa saya mencintainya tanpasyarat, karena selama dua tahun kami menjalin kasih, tidak sekalipun saya membuatia bersedih apalagi menangis, begitupun sebaliknya.
.
.
Aku betul-benar tahu apa yg Samya nikmati meski tanpakata-kata, dan kali ini Samya seakan tidak ingin membuatku memperburuk perasaankusendiri, maka sekuat mungkin Samya terlihat seperti mencoba menahan airmatanyamengalir, mungkin dia ingin menangis sepuasnya di dalam kamarnya nanti, sebabsekarang beliau hanya ingin mendengarkan suaraku yang selalu menenangkan hatinya.
.
.
Aku mengambil sebuah kerikil serta melemparnya ke tengah danau,sebisa mungkin kutepis kesedihanku menggunakan memandangi riak air yg meluasperlahan, buat ketika ini aku tidak kuasa menatap ke 2 mata Samya yang telahbertahun-tahun menemaniku pada kedamaian tanpa cela, kedamaian yang mungkintak semua orang mampu menemukannya. Samya memang cantik meski dia tidak mampuberbicara, akan tetapi saya tahu bukan itu yang membuat diriku bertahan selama ini,kecantikan memang patut dikagumi, tetapi tentu terlalu hina bila kita mengukurcinta dari kecantikan yang hanya bersifat sementara.
Aku sendiri sebenarnya tidak begitu paham ihwal apa yg membuatku bisamencintai Samya sedemikian rupa.
Aku mengasihi Samya lantaran cinta, cuma itu yang terdapat di pikiranku.
.
.
Kami berdua menghabiskan hari itu pada sunyi tanpa suara dipinggir danau loka aku menyatakan cintaku pada Samya tiga tahun silam, kamiberdua terpekur menyelami perasaan masing-masing, larut pada diam yangmembingungkan, membisu yang menggores perih sanubari kami berdua.
Di atas sana langit seperti membaca isi hati kami, bir-arakan awan yangberseri lambat laun menggelap dan berkembang menjadi menjadi mendung yang mengundanghujan.
Tiba-tiba Aku berdiri, mengagetkan Samya yg tengah bersandar pada bahuku.
Untuk sejenak saya menatap tajam ke arah Samya, ia tertegun, dan seketikagelombang keputusasaan itu pun pecah, mengalir begitu saja menurut mulutku.
“Jadi begini akhirnya? Ini yang kamu mau?! Pergi begitu saja?!” ujarku ketusdengan mata memerah, entah karena marah atau murung .
Samya terperanjat, baru kali ini saya berbicara menggunakan nada tinggi seperti itudi depannya.
“Kenapa kau wajib pulang sekarang!? Tidakkah saya berarti untukmu walaupun hanyasedikit?!” lanjutku dengan intonasi yg menghakimi serta menusuk.
Samya yg tidak mampu menyampaikan-kata hanya terisak sembari berusaha meraihtanganku, tapi saya mengelak, dan aku pun pergi meninggalkan Samya di tepiandanau itu sendirian, menggunakan sebaris kalimat terakhir yg tentu melukaiperasaan Samya:
“Aku menyesal! Aku menyesali rendezvous kita! Jika tahu akan begini, lebih baikkuakhiri interaksi kita sejak dulu!!”
Kemudian gerimis pun tiba membasahi sore yang kelabu itu, menemani bencimenghampiri kami dalam cinta yang terluka sang problem.
.
.
Motor itu masihmelaju membelah genangan air yang mulai bermunculan di sepanjang jalan, membawasejuta harapan buat bertemu menggunakan kekasihku yang tentu telah sedari tadimenunggu.
Kini embun di mataku telah berubah seluruhnya menjadi airmata, pedih selaludatang setiap kali aku mengingat apa yang kuucapkan pada Samya saat itu.
Aku hancur oleh kata-kataku sendiri, lantaran sebenarnya aku tak pernah menyesalipertemuan menggunakan gadis itu, benar-benar tidak pernah meski hanya sedetik! Tapi kataadalah pedang, yang mampu menusuk siapapun sempurna ke arah jantungnya, serta inilahyang disesali sedalam-dalamnya olehku.
Luapan kalimat penuh emosi itu hanya berlaku selama dua belas jam bagiku, malamitu jua kuhubungi telepon genggam Samya, dia mungkin tidak sanggup menjawab, tapisetidaknya saya berharap supaya gadis itu mau mendengarkan permohonan maafku yangtulus dan penuh penyesalan, meski hanya sekilas.
TUUUT..
klak!
Berhasil! Samya mengangkatnya! Batinku girang.
Tanpa basa-basi, serta bahkan tanpa sempat mengucap ‘halo’ ku segera menyampaikankata-istilah maaf dengan lirih.
“Samya? Aku harap engkau masih mau mendengarkan! Aku minta maaf maaf sayang, akumenyesali kata-kataku!” seruku cepat, tanpa jeda.
“Kau tahu? Tak sedetikpun saya pernah menyesali pertemuan kita, itu hanya luapanemosi sesaat, cinta.. Kata-kata yg tidak kuucap berdasarkan dalam hatiku!” lanjutkudengan nada menyesal.
“Aku mencintaimu! Tak pernah sekalipun..”
TUUUUUT..
Sambungan telepon itu ditutup berdasarkan seberang sana.
Aku terduduk seketika, lemas menghampiri kedua kakiku, aku tergugu dalam perihpenyesalan.
.
.
Aku memeluk lututku menggunakan wajah tertelungkup, pada sesal kucobamemahami, Samya merupakan seseorang wanita, dan tidak terdapat yang bisa melukai hatiseorang wanita lebih berdasarkan sebaris istilah-kata menyakitkan yang diucapkan olehorang laki-laki yg paling mereka kasihi.
Aku seharusnya sadar bahwa Samya samasekali tidak menginginkan perpisahan ini,sama seperti diriku, namun semuanya telah terlambat, kecuali saat dapatdiputar, mungkin aku masih punya kesempatan memperbaiki ini seluruh.
Dalam resah, akhirnya kulakukan sesuatu yang sebenarnya terasa begitu asingdalam hidupku.
Aku menangis, tanpa suara.
.
.
Aku hampirsampai ke loka rendezvous, serta asa itu pun semakin menguat seiring denganjarak yg kian menghilang.
Aku menepi sejenak pada pinggir jalan, membuka helm dan menghapus airmata yangsedikit mengaburkan pandanganku, saya tak ingin terlihat cengeng pada hadapanSamya, terlebih waktu dua hari yang lalu sms yang saya nantikan dari gadis ituakhirnya masuk ke inbox telepon genggamku.
.
.
Aku tunggu kamu pada loka terakhir kita ketemu, lusa jam 4 sore.kita bicarakan masalah kita pada sana.
Begitulah pesan singkat yg datang berdasarkan Samya, pesan singkat yg saya rasalebih berharga berdasarkan apapun pula pada dunia ini.
.
.
Samya memang misalnya tidak menaruh pintu maaf untukku, akan tetapi takpernah sedikitpun aku letih buat meminta maaf kepadanya, saya terus berusahaagar kata maaf itu bisa terdengar bukan hanya ke pendengaran gadis itu, akan tetapi jugake pada ruang-ruang hatinya.
.
.
Aku terus menerus mengirimkan pesan permintaan maaf, email penuhkata-istilah cinta, dan berusaha menelepon Samya tiap tiga jam sekali sepanjangsiang, meski tak sekalipun Samya membalas pesanku ataupun mengangkat panggilantelepon dariku, tapi semangatku tidak pernah surut. Tak akan pernah.
Aku pula berkali-kali tiba ke rumahnya, meski selalu saja aku pulang dengantangan hampa tanpa sesuatupun selain jawaban yg monoton sama darisatpam penjaga tempat tinggal gadis itu:
“Maaf mas, non Samya gak mau ketemu sama mas, ucapnya mendingan mas pulangaja..”
Aku tidak peduli! Aku tak akan menyerah! Aku membutuhkan maaf menurut wanitaterkasihku itu atau aku akan tenggelam selamanya pada penyesalan, lagipulaSamya yang aku kenal bukanlah perempuan menggunakan hati sekeras batu yang tidak mengenalmakna istilah maaf, jadi aku masih merasa konfiden dan percaya bahwa usang-kelamaanhatinya akan melunak.
.
.
Dan semua usahaku itu akhirnya sahih-sahih terbayar lunas melaluisebaris pesan singkat yang dikirimkan oleh Samya 2 hari yang kemudian, setelahdua minggu perjuanganku yg tanpa lelah, Samya akhirnya mengajakku untuk bertemu!Sungguh sebuah ajakan yang melapangkan dadaku selapang-lapangnya.
Meski saya memahami Samya akan segera pulang, meski kelak jeda separuh putaran duniaakan memisahkan kami berdua, namun apabila perpisahan itu datang tanpa adanyadendam serta luka yg menggantung perasaan kami, maka aku tentu dapatmerelakannya perlahan-lahan.
.
.
Kini aku sudah hingga serta bergegas turun berdasarkan motorku, aku samasekali tak peduli akan bisingnya dentuman klakson serta suara dari orang-orang diseberang jalan sana yg begitu riuh entah lantaran apa, dengan 1/2 berlariaku masuk dan menyusuri taman hingga akhirnya tampaklah sebentuk danau keciltempat aku dan Samya biasa menghabiskan saat waktu jenuhnya global mengusikketentraman kami berdua.
Aku mencari-cari gadis itu, wanita yg saya kasihi, namun tidak terdapat siapapun disana, hanya rintik gerimis serta keheningan saja yang tampak begitu jelas dimataku.
Mungkin Samya sedang berteduh di taman, menghindari gerimis. Pikirkumenduga-duga.
.
.
“SAMYA!?SAMYA!!?” teriakku sambil menelusuri setiap jengkal loka di taman serta dipinggiran danau tadi.
Tetapi nihil, tidak ada seorangpun disana.
Samya pastilah terlambat batinku yakin.
Aku tidak pernah meragukan komitmen Samya dalam janji yg dia buat sendiri, gadisitu memang tidak pernah mengingkari janjinya, tidak pernah walau hanya sekali.
.
.
Akhirnya kuputuskan buat duduk serta menunggu saja di tepian danau,membiarkan gerimis menggerayangi tubuhku sedikit demi sedikit, dan denganmenyungging seulas senyum pada bibir, aku mengenang pulang masa-masa indahkubersama Samya, kekasihku yang sementara waktu lagi akan pulang jauh meninggalkan kisahini.
.
.
Aku masih menunggu Samya dengan sabar, menggunakan cinta dan kasihsayang yang membumbung setinggi langit, berharap gadis itu segera datang danmenganggukan kepalanya waktu kuucap istilah maaf buat lalu berpisah tanpapenyesalan sedikitpun, tanpa luka ataupun dendam tersisa di hati kami berdua.
Aku akan terus menanti serta menanti,
Dalam penantian yg sesungguhnya sia-sia.
.
.
Beberapa mnt yg kemudian, di pinggir danau kecil itu..
Aku melirik arlojiku dengan gelisah, sesekali tatapanku mengawang jauh ke arahlangit, mencemaskan mendung yg nampak semakin tebal menutupi langit.
Aku menggerutu pada hati, mengutuk saat yang seakan berjalan melambat sorehari ini.
Aku memang sengaja tiba sedikit lebih awal ke tempat rendezvous yang telahkujanjikan kepada Zein sebelumnya, lantaran aku benar-sahih merindukannya dan akutak mau menciptakan laki-laki itu menunggu, namun rupanya tiba lebih cepat itu bukanide yang rupawan, karena penantian seperti ini justru malah membuatku semakingelisah, karena aku ingin segera menemui Zein!
Aku akui bahwa Zein memang sudah melukai hatiku dengan kata-ucapnya yangmenyakitkan, tapi sejujurnya, tak sedikitpun cintaku kepadanya berkurang ataumemudar, saya memahami bila seluruh ucapan itu tidak tiba dari seseorang Zein yang akukenal, lelaki dengan hati seputih salju.
Ucapan itu lahir menurut emosi, yg tercipta akibat rasa ketakutan akankehilangan, dan saya menghargai itu, saya menghargai kemarahan Zein meski akujuga tak mampu begitu saja memaafkannya.
Tetapi begitulah hati perempuan , kegigihannya buat menerima maaf darikupelan-pelan sudah mencairkan luka yang sudah mengeras dalam perasaan ini,membuatku tidak kuasa buat memendam kemarahan lebih usang terhadap kekasihku itu,kekasih yg rela berjuang buat mempertahankan diriku yang tidak paripurna.
.
.
Detik berganti detik dan mnt berganti mnt.
Waktu terus bergulir sampai akhirnya saya menyadari, Zein terlambat!
Awalnya saya sedikit kecewa, tetapi kucoba memaksakan diri buat menunggu Zeinsedikit lebih usang, serta biarpun dingin menyergap tubuhku lewat gerimis yangmulai turun berdasarkan langit, saya mencoba buat tak peduli.
.
.
Sudah hampir satu jam saya menunggunya,
Karena merasa suntuk serta dingin, aku yang sedari tersebut meringkuk sendirian ditepian danau itu pun melangkah pulang, aku tak berniat buat pergi, saya hanyaingin pergi sebentar ke toko bunga sempurna di seberang gerbang sekolah danmembeli beberapa tangkai bunga mawar buat Zein, saya mungkin terlalu kejamkarena mendiamkan dia selama hampir 2 minggu, jadi saya bertekad untuk mintamaaf padanya lewat bunga-bunga.
.
.
Aku baru saja keluar dari toko bunga itu dengan beberapa tangkaimawar putih saat tanpa sengaja kulihat sebuah motor bebek berwarna hitammelaju cepat menuju ke arah taman menurut kejauhan,
Itu motor Zein! Dia akhirnya datang! Sorakku pada hati.
Kerinduanku tiba-tiba memuncak serta segala pada sekelilingku seperti lenyap begitusaja, di mataku kini hanya terdapat beliau! Hanya Zein seseorang! Bahkan meskipun lelakiitu masih melaju pada atas sepeda motor dengan helm yg menutupi wajahnya, namunaku bisa merasakan debaran jantungku meninggi, meluapkan rindu yang sudah akutahan-tahan selama ini.
.
.
Tanpa sadar aku berlari menerobos jalan, hendak berteriakmemanggil nama kekasihku itu, aku sepenuhnya lupa bahwa saya tak mampuberbicara! Tak ayal, Kata-kataku tercekat begitu saja di tenggorokan danseketika aku pun tersadar bahwa istilah-kata bukanlah bagian berdasarkan kehidupanku.
Tetapi sebelum sempat saya meratapi kebodohan diriku sendiri, datang-datang kudengarsuara dentuman klakson membahana, memecah keheningan dan rintik bunyi hujan,lalu dalam sekejap kurasakan sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrakkudari arah belakang, melempar tubuhku dengan keras di atas aspal yg basahbersama dengan tangkai-tangkai mawar yang patah.
.
.
Samar-samar, di antara gerimis yg memerah serta bisingnya teriakanpanik orang-orang di lebih kurang tempat itu, aku menyaksikan lelaki yg kucintaiberlari memasuki taman, menuju danau loka dimana kami seharusnya salingberpeluk di bawah langit yang kelabu, menikmati sore hari ini dengankebahagiaan seperti hari-hari yang sudah kita lalui sebelumnya.
.
.
Aku ingin sekali memanggil nama Zein walau hanya satu kali, akuingin ia tahu bahwa aku sudah memaafkannya, saya jua ingin beliau tahu bahwa akumemiliki sebuah kabar gembira.
Ya, sebuah liputan gembira, liputan gembira yang tertuju buat kami berdua.
.
.
Tiga hari yg lalu, lewat sebuah email, ke 2 orangtuakumengabarkan bahwa aku tak perlu lagi menyusul mereka ke perancis, karenatiba-datang mereka dipindahtugaskan ke kantor pusat kementerian luar negeri diJakarta.
Aku melonjak girang mendengar informasi itu, sirna sudah segala risau serta bayangantentang sakitnya perpisahan yg selama ini menghantuiku.
.
.
Namun ternyata semua itu sia-sia, karena saat ini, dengan nafasputus-putus dan pandangan yg kian mengabur, saya memahami, bahwa saya akan segeraterpisah menurut Zein lebih jauh daripada apa yg pernah saya bayangkansebelumnya.
Benar-benar jauh.
Jauh.. Jauh sekali…
SELESAI
.
.
Cerpen Karangan : Arief Agoomilar

Blog Pengarang : agoomilar.tumblr.com

.

Saat ini pengarang tinggal di kota Bandung buat menyelesaikanstudi S1 nya dibidang kependidikan Bahasa Inggris Fakultas pendidikan Bahasadan Seni di Universitas Pendidikan Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel