THE EVIL THAT I LOVE YOU YUUNAGI KUZUYA



Namaku Rin. Umurkutujuh belas tahun. Hobiku bermain game. Kegiatanku sehari-hari hanya seputarpergi ke sekolah,
pergi, makan, main game, belajar, tidur.. Serta seterusnya.kehidupanku sama normalnya dengan jutaan anak SMA lain di Indonesia. Tidak adayang istimewa. Keluargaku normal, aku anak tunggal, ayah dan ibuku masihlengkap, aku memliki sahabat-sahabat pada sekolah, terkadang kami belajar bersamaatau pergi main ke suatu tempat –yah, pada dasarnya seluruh yang kualami setiap harinyabenar-sahih biasa saja.
Sampai suatu hari sepulang sekolah, saya bertemu malaikat kematian yg dudukdengan santai di ambang ventilasi kamarku –dengan sayap sehitam burung gagakterlipat pada punggungnya- beliau tersenyum serta mengedipkan salah satu matahitam-kelamnya kepadaku.

Sebenarnya saat ituaku nir tahu bila beliau adalah malaikat kematian. Tetapi sekarang saya sudahtahu. Dengan selang-selang serta aneka macam alat bantu yg melekat pada hampirsekujur badanku, pada ranjang tempat tinggal sakit, Akira akan mengantarkanku kepadakematian. Akira mengeluarkan tongkat baja dengan ujung yg ditempeli besimelengkung misalnya pedang besar .

Pedang besar yg penuh bercak darah.
“Seharusnya saya sudah sanggup menebak berdasarkan awal, ya.” Aku tertawa mini , sambilmembuang muka ke arah ventilasi pada samping ranjang, melihat ujung lidah sinarmatahari yg mulai terbit. Ia sendiri sedang berdiri di sisi satunya sambilmemegang tongkat tadi. Aura abu-abu pada sekitarnya berkelip sedikit, mungkinia agak tersinggung karena aku nir mau menatap wajahnya.

“Seharusnya aku telah memahami sejak pertanyaan pertamamu.” Kataku lagi, kali inisambil menatap langit-langit kamar rumah sakit. Mengingat rendezvous pertamakami.

“Apa keinginanterbesarmu, Rin?” Pemuda itu tiba-tiba bertanya. Dengan satu gerakan yg tidakdapat kulihat, tiba-tiba beliau sudah berdiri di depanku.

Terhuyung mundur beberapa langkah, saya mampu merasakan kepalaku relatif pusing.apa-apaan ini? Pesta pakaian?
Aku hanya mampu merespon pertanyaannya menggunakan, “Apa ini? Sinterklas punya anakbuah baru?”

Warna abu-abu yg mengelilingi lebih kurang tubuhnya berkedip, berubah menjadisedikit lebih cerah. Pemuda itu tertawa.
“Ah, dulu Sinterklas memang pernah terdapat. Dia kakek tua yg penuh semangat.menyibukkan diri menciptakan banyak sekali hibah buat anak-anak pada sekitar rumahnyasampai kematian menjemputnya. Ternyata sampai sekarang ia masih menjadi legendadi dunia insan, ya?”

“Saat itu denganbodohnya saya berpikir jika kau hanya membual,” saya tersedak, misalnya adasesuatu yg menyumbat tenggorokanku. “Kau membicarakan Sinterklas! Siapasangka ketika itu aku sedang berhadapan menggunakan malaikat kematian?”





Kali ini –lagi-lagi tanpa kusadari- beliau telah berdiri di dekat jendela, menutupiranjangku berdasarkan sinar matahari pagi yang mulai masuk. Tongkatnya telah hilangentah kemana. Dari tempatku berbaring, saya sanggup melihat ujung sayap kirinyayang agak bengkok. Hasil dari perbuatannya 5 bulan lalu.

Hujan deras sudahberhenti, menyisakan gerimis serta jalanan yg basah. Aku berlari mini ke luarsekolah, bergegas menuju tempat tinggal sebelum hujan sebagai deras balik , lagipulahari sudah gelap. Aku tidak membawa payung atau apapun yg mampu melindungikudari tetesan-tetesan air, jadi saya terjebak selama 3 jam pada sekolah.mendesah keras, saya membayangkan sayap lebar milik Akira yang mungkin bisa melindungikudari gerimis ini.

Akira. Nama malaikatyang sebulan lalu seenaknya bertengger di jendela kamarku. Ia malaikat. Pasti.makhluk apa lagi yg memiliki wujud insan dengan tambahan sayap pada punggung?Bayangan mengenai malaikat –makhluk yang selama ini kubayangkan menjadi sosokmagis menggunakan tingkah laris memesona- dihancurkan pada sekejap mata oleh Akira.untuk berukuran malaikat, Akira benar-benar poly bicara dan senang mengejek.satu-satunya yg mengesankan darinya hanyalah sayap hitamnya yg luar biasabesar bila direntangkan. Sebenarnya aku juga menganggapnya sangat ganteng ,apalagi dengan mata hitam-kelamnya. Namun, tentu saja, aku tidak akanmenyebutkan kelebihannya yg satu itu pada depannya.

Sejak pertemuanpertama kami, ia jadi acapkali menemaniku. Aku seharusnya takut, tapi anehnya akumalah merasa nyaman. Aku suka waktu dia datang-tiba ada di samping mejabelajarku ketika saya mengerjakan PR, kemudian ia akan duduk di ranjang dan ikutmembuka-buka kitab pelajaranku, menanyakan banyak sekali hal tentang apapun yg adadi dalam buku. Sesekali ia akan menggunakan kekuatannya buat menyemangatikujika tugas sekolahku menumpuk. Entah itu memperlebar jendela kamarku danmembuat bintang-bintang di langit malam sebagai 2 kali lebih besar danberkilau, -“Hanya sanggup ditinjau dari ventilasi kamarmu, damai saja.” Jawabnyasantai ketika saya panik memikirkan reaksi orang-orang waktu melihat berukuran bulandan bintang yang tidak wajar –atau menurunkan salju pada pada kamarku (yg bisamenghilang beberapa milimeter sebelum menyentuh benda-benda pada dalam kamar–tetapi masih mampu kusentuh- jadi aku nir perlu repot-repot membersihkan).sebagai ganti atas hiburannnya, aku sekali waktu mengajaknya berjalan-jalan sambilmengobrolkan poly hal, atau membuatkannya kudapan manis-kue. Malaikat sebenarnya tidakperlu makanan, akan tetapi Akira sangat meyukai kue-kudapan manis buatanku. Ia akan duduk dikursi dapur, menemaniku menciptakan kue dan kami akan memakannya beserta pada kamarkusambil membaca buku atau menonton film. Akira selalu datang seenaknya sendiri,bahkan ia pernah mendatangiku pada kantin sekolah! Untungnya, hanya aku yang bisamelihat Akira. Saat itu aku masih tidak memahami kenapa.

Otakku terlalu sibukmemikirkan Akira, jadi tanpa sadar aku menyebrang jalan tanpa melihatkanan-kiri terlebih dahulu. Suara klakson kendaraan beroda empat memasuki telingaku, dan barudirespon sang otak bodohku beberapa dtk lebih lambat. Apa itu? Ah, suaraklakson mobil. Menoleh ke kanan, saya sudah berhadapan menggunakan sinar lampu mobilyang membutakan mata. Alih-alih mendengar bunyi derakan tulangku yang terhantammoncong mobil atau mencicipi kesakitan yang luar biasa sebelum akhirnya meninggal,saya malah mencicipi desiran angin yg benar-benar dingin membalut semua tubuhku,kemudian memahami-memahami aku sudah jatuh terduduk pada trotoar yg keras, beberapameter dari tempatku berdiri sebelumnya. Mobil yg akan menabrakku tersebut sudahmelaju meninggalkanku menggunakan kecepatan tinggi.

Nafasku menderu, dantanganku tidak sanggup berhenti gemetar. Apa yg baru saja terjadi? Aku menolehke kanan dan kiri, namun nir ada siapa-siapa di sekitarku. Aku baru tahusiapa yang menyelamatkanku waktu terdapat sehelai bulu –misalnya bulu burung, namunukurannya hampir sebesar separuh lenganku- berwarna hitam pekat yg jatuhtepat pada pangkuanku. Bulu sayap yg terbakar. Bulu sayap Akira.

“Kau menghilangsekitar dua minggu, kemudian datang-datang pulang menggunakan sekujur tubuh penuh lebam.selama lima hari penuh aku merawatmu pada kamarku. Ibuku hingga menduga saya gilakarena tak jarang mengomel sendiri pada kamar.” Aku tertawa mini , kali ini tersenyumdan menatap langsung ke wajah Akira. Aku sanggup melihat wajahnya semakin muram.
“Seharusnya kau mampu membiarkanku saja tertabrak mo-”
“Aku nir bisa membiarkannya. Aku pula nir menyesal telah menyelamatkanmusaat itu.” Akira memotong ucapanku, menegakkan tubuhnya serta berjalan ke arahku.matanya menatap tajam.
“Tapi dalam akhirnya aku permanen wajib mangkat .” Balasku.
“Tidak wajib .” Ia bergumam, menatap lantai sambil duduk pada sisi ranjang,membelakangiku.
“Tidak harus, katamu? Yang benar saja.” Aku tertawa sinis. “Jam berapa akumati?” Tanyaku. Rasanya aneh memperbincangkan soal kematianku sendiri. Tapi akumasih mampu bersyukur, saya mangkat lantaran penyakit yang menggerogotiku dari dalam,jadi setidaknya aku sanggup dikuburkan dengan tubuh utuh.
Akira berjengit mendengar pertanyaanku. Ia berusaha membuat suaranya terdengartegas, akan tetapi aku mampu mendengarkan getaran di dalamnya. “Tubuhmu nir akan bisabertahan 2 jam sesudah operasi.”
Tubuhku menegang. Sedekat itukah saya menggunakan kematian? Ah, saya bahkan sudahberteman serta jatuh cinta dengan kematian itu sendiri selama enam bulan. Suarahatiku mengeluarkan sarkasme. Ingatanku melayang ke malam hari 3 bulan yanglalu, waktu aku mengetahui siapa Akira sebenarnya –atau setidaknya, malamketika kukira saya mengetahui siapa Akira sebenarnya.

Hari ini tepat tigabulan sesudah pertemuanku menggunakan Akira. Aku sedang duduk termenung pada ranjang,memikirkan mengenai ceritanya barusan. Akira memberitahuku mengenai keberadaanDewan Langit yg mengatur kehidupan antara manusia dan malaikat. Akira berceritakepadaku, bahwa ada malaikat yg bertugas melindungi dan mencabut nyawamanusia. Ia sendiri bertugas menjadi malaikat pelindungku. Lantaran itu, hanyaaku yang mampu melihatnya, sedangkan orang lain tidak. Kata Akira, malaikat yangakan mencabut nyawaku akan datang enam bulan sehabis kedatangan malaikatpelindung. Lalu, waktu tepat enam bulan serta malaikat kematian datang, merekaakan bertarung. Jika Si Pelindung yg menang, maka insan yg dilindungiakan tetap hayati sampai batas waktu yg ditentukan Dewan Langit yg homogen-ratasampai umur enam puluh atau delapan puluh tahun.

“Apakah itu berarti saya akan mati tiga bulan lagi?” Tanyaku lirih. Akirasendiri sedang duduk bersandar di tembok kamarku, sayap kanannya dibentangkanhingga menyentuh langit-langit serta ujung kamar.
“Aku akan mengalahkannya untukmu.” Jawabnya ringan, sembari tersenyum. Tapisenyum serta kata-pungkasnya terdengar kosong. Hampa.
“Apakah Malaikat Kematian sangat kuat?” Tanyaku lagi.
Akira memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang sebelum menjawab. “Malaikatkematian memang diciptakan 5 puluh % lebih kuat daripada MalaikatPelindung. Karena itu jumlah kelahiran serta kematian umumnya nir imbang.hanya Malaikat Pelindung yg benar-sahih berlatih di Langit yang memilikikesempatan besar buat mengalahkan Malaikat Kematian serta menyelamatkanmanusianya.”
Aura abu-abu pada lebih kurang tubuh Akira menggelap menjadi abu-abu nyaris hitam. Akumenatap kagum. Malaikat Pelindungku mempunyai sosok yg sukses membuatkuterpesona. Tinggi, berukuran badannya pas –nir terlalu kurus atau gemuk- denganrambut agak acak-acakan yg sewarna dengan mata serta sayapnya, serta aura abu-abudi sekitar tubuhnya yg membuatku memahami suasana hatinya. Aku memahami beliau sedangsedih apabila auranya gelap. Jika abu-abunya cerah, berarti dia sedang senang .bajunya selalu sama. Setelan kemeja dan celana hitam pekat yang menonjolkankulitnya yg pucat, dengan lengan digulung hingga siku. Aku heran bajunyatidak memiliki lubang buat sayapnya, sayap itu seolah-olah menembus baju itubegitu saja.

Aku mendongak serta mendapati Akira sedang menatapku. Wajahku memerah. Apa yangkulakukan? Menatapnya menggunakan mata melotot serta ekspresi terbuka misalnya gadis bodohtak punya otak? Yah, aku PUNYA otak, tapi sepertinya ia nir pernah bisaberfungsi menggunakan baik apabila ada Akira menggunakan segala kesempurnaannya dihadapanku.

Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Akira berdiri, kemudian bersedekap menggunakan rautwajah puas. “Para malaikat memang diciptakan dengan paras rupawan, tidakseperti manusia yg mempunyai berbagai tingkat kecantikan, mulai menurut yangsuper tidak baik.. UMPH!” Boneka beruang super akbar yang kulemparkan ke wajahnyadengan sekuat energi sukses membuatnya terjungkal.

“HEI! Aku kan hanya menyampaikan sesuai informasi! Kenapa tersinggung? Kau merasatersindir, ya?!”
“Kau bodoh ya?! Kau JELAS-JELAS mengungkapkan ‘tingkat kecantikan’, dan itu jelasmerujuk kepada perempuan ! Belum lagi saat mengungkapkan ‘super jelek’ kauseenaknya menatapku! Bersyukurlah aku tidak melemparmu menggunakan lampu meja!”Balasku tak kalah sengit.
“Kenapa kau mudah sekali tersinggung?!”
“Kenapa kau gampang sekali membuatku kesal?! Sana pulang! Aku mau tidur!Berlatihlah buat menghadapi Malaikat Kematianku atau apalah.” Ucapku gusarsambil menarik selimut, bersiap tidur.
Akira malah duduk di sisi ranjangku. “Kutunggu sampai kau tidur, baru akupergi. Nih, bonekamu.” Katanya, sambil menjejalkan boneka beruangku ke balikselimut. Aku sanggup menengar nada penyesalan berdasarkan suaranya, tapi aku malasmerespon. Kubiarkan hawa dingin yg menguar menurut tubuh Akira mengantarkankumenuju alam mimpi. Beberapa saat lalu, antara sadar serta nir, akumendengar bunyi Malaikat Pelindungku serta nafasnya yg hangat menyentuhtelingaku.
“Selamat malam, anggun.”
Kemudian terdengar bunyi ambang jendelaku yg terbuka dan kesadaranku makinmenurun seiring menggunakan bunyi kepakan sayap Akira yg menjauh.

Tiga puluh menitmenjelang operasi.
“Hei, Akira. Apa saya anggun?” Iseng-iseng, saya bertanya kepadanya ketikaingatan tentang malam itu pulang. Aku masih merasa murka tiap kali mengingatkebohongannya padaku. Ia mengaku menjadi Malaikat Pelindungku. Tapi saya masihtak sanggup mengingkari perasaanku. Aku tetap mencintainya meskipun beliau adalahpembawa kematianku.
Akira hanya mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa tiba-tiba bertanya?”
“Sudahlah, jawab saja.”
“Sebenarnya lebih gampang mengasihi kecantikanmu daripada menyayangi sifatmu,”jawabnya dengan kurang ajar.
Raut wajahku telah keruh saat dia menyambung kalimatnya,
“Tetapi dalam akhirnya saya permanen mencintaimu apa adanya. Semua yg terdapat padamumembuat jatuh hati sampai saya melakukan hal-hal bodoh selama enam bulan ini.aku mengulur-ulur kematianmu lantaran aku nir ingin mencabut nyawamu. Meskipunlima bulan kemudian aku yang mengirimkan kendaraan beroda empat itu untuk menabrakmu, pada akhirnyaaku sendiri yg menyelamatkanmu. Dan sebagai konsekuensi, aku mendapat hukumandari Dewan Langit.” Ia berujar sembari melirik sayap kirinya yang terluka.
“Apakah Dewan Langit yang memilihkan jalan kematianku kini ? Dengan penyakitini?”
Akira mengerjap, wajahnya terlihat agak gundah lantaran topik yang datang-tibaberganti. “Sebenarnya aku yg bertugas melakukan itu. Tetapi tampaknya DewanLangit tahu bahwa aku tidak akan mampu membunuhmu menggunakan cara apapun, jadimereka yg menanamkan penyakit itu ke tubuhmu.”
“Kau tidak sanggup membunuhku, tapi kau bisa membunuh Malaikat Pelindungku.lucu sekali, aku jadi ingin menangis.” Ujarku sinis.
“apabila Malaikat Pelindungmu menang, aku akan dikirim buat mencabut nyawamanusia lain serta ingatanmu tentangku akan dihapus. Maafkan keegoisanku, tapiaku nir ingin kau melupakanku begitu saja. Aku ingin kau selalu mengingatku.segalanya tentangku. Tentang kita. Waktu-saat yang kita lalui bersama.”
“Bahkan jika satu-satunya jalan merupakan menggunakan kematianku, kau rela membunuhkuasal saya tidak melupakanmu? Aku baru tahu bahwa Malaikat Kematian mencintaidengan cara yang begitu tidak baik.”
“Aku telah bilang, kau tidak wajib meninggal.” Akira menyampaikan. Nada suaranya gusar,serta auranya berwarna abu-abu pekat, nyaris sehitam sayapnya.
“Bagaimana mungkin?! Malaikat Pelindungku bahkan sudah kau kalahkan tiga hariyang kemudian!” Aku membentaknya. Memejamkan mata, saya seolah-olah kembali ke malamtiga hari yg kemudian, hari ketika segalanya terkuak.

Hari ini enam bulansetelah pertemuanku dengan Akira. Aku memahami seharusnya inilah hari dimana Akiradan Malaikat Kematianku bertarung, dan Akira berjanji akan memenangkanpertarungan itu untukku. Tetapi aku permanen nir sanggup berhenti memikirkannya.akira sendiri pernah mengatakan bahwa Malaikat Kematian lebih bertenaga berdasarkan Malaikat Pelindung.aku cemas memikirkan nasibnya. Di sekolah, aku nir sanggup berkonsentrasi. Saatbel pulang berbunyi, aku eksklusif berlari sekuat energi menuju gedung yangsudah nir terpakai pada belakang stasiun kota. Akira menyampaikan bahwa lokasipertarungannya di situ, serta selama perseteruan berlangsung, nir terdapat manusiayang sanggup memasuki gedung tersebut.

Sampai pada depan gedung, aku mampu melihat aura abu-abu milik Akira menguar daribangunan itu. Melangkahkan kaki dengan hati-hati, aku nekat memasuki gedungkosong itu. Baru saja menginjakkan kaki pada lantainya yg kusam, kepalakumerasakan pusing yg hebat serta saya terhuyung mundur sebelum akhirnya kelenger.

Langit pada luar sudahgelap ketika aku terbangun. Aku segera bangkit, tubuhku sedikit limbung dankepalaku berdenyut-denyut. Detak jantungku berdentam keras dan menggaung ditelingaku, memenuhi kepalaku. Aku memaksakan diri menaiki tangga. Awalnya hanyaberjalan, tetapi seiring rasa sakit dan pusing yang menghilang, saya mulaiberlari. Hingga entah pada lantai yg keberapa, aku menemukan Akira berdirimemunggungiku. Aura tubuhnya tidak lagi berwarna abu-abu ataupun hitam, tapimenjadi semerah darah. Di depannya tergeletak tubuh seseorang wanita, tubuhnyamemancarkan rona keperakan. Aku eksklusif jatuh terduduk dan menangis. Akubegitu lega karena Akira sudah memenangkan pertarungannya.

Mendengar isakanku,Akira perlahan-lahan berbalik serta matanya membelalak waktu melihatku. Iaberjalan terseok-seok ke arahku, seolah-olah seluruh tenaganya telah habisterserap sang perseteruan yang baru saja dia lakukan menggunakan Malaikat Kematian.ketika tiba di depanku, dia pribadi jatuh terduduk, persis sepertiku. Iamenatapku dengan matanya yang sehitam langit malam, dan setetes air mata jatuhbergulir pada pipinya yang pucat.

Aku langsung memeluknya. Ia balas mendekapku erat. Kami sama-sama menangis.namun sayangnya, buat alasan yang sama sekali tidak sama. Siapa yang tahubagaimana tangis kebahagiaan serta kesedihan sanggup terdengar begitu sama?
Ketika isakanku telah berhenti serta tangisku telah habis, aku perlahan-lahanmelepaskan pelukan kami. Aku menatap matanya yang masih meneteskan air mata,tetapi raut wajahnya yg kosong membuat perasaanku tidak lezat .
Ada sesuatu yang keliru.
“Ada apa, Akira? Kau berhasil, kan? Dia Malaikat Kematian, kan? Kenapa wajahmumenyeramkan begitu? Kau menyesal telah menyelamatkanku?”
“Maafkan aku .”
Suaranya begitu lirih hingga aku nir yakin apakah beliau benar-benar memintamaaf. Meminta maaf buat apa?
“Untuk apa, Akira?” Suaraku bergetar. Aku bisa mencicipi hawa dingin melingkupipunggungku. Perasaanku benar-sahih nir enak.
“Aku berbohong padamu, Rin.” Jawab Akira sambil memegang ke 2 belah pipiku.
“Kebohongan apa yang kau bicarakan?”
“Malaikat Kematian serta Malaikat Pelindung nir tiba menggunakan jeda enam bulan.mereka datang beserta-sama kepada manusia yang menjadi tugas mereka.”
Otakku memproses perkataan Akira menggunakan lambat. Apa maksudnya? Oh, tentangcerita Dewan Langit dan Malaikat yg dia ceritakan kepadaku tiga bulan kemudian?Kelegaan membanjiri tubuhku. Itu bukan perkara besar , kenapa ia justrumemikirkan hal itu di waktu-waktu misalnya ini? Toh Malaikat Kematian sudah kalah.
Aku baru saja akan mengatakan bahwa saya memaafkan kebohongannya tersebut danmenertawakanya lantaran beliau memikirkan hal itu terlalu dalam ketika beliau berbisiklirih melanjutkan,
“Hanya saja, Malaikat Pelindung tidak pernah menampakkan dirinya kepada simanusia. Hanya Malaikat Kematian yang sanggup melakukan itu. Malaikat Pelindungbaru bisa ditinjau sang si insan ketika ia sudah meninggal serta dikalahkan olehMalaikat Kematian.”
Kata-pungkasnya menghantamku dengan keras. Tubuhku bergetar, aku berusaha berdiri,namun segera terjatuh pulang. Akira –Malaikat Kematianku- menangkap tubuhku,membawaku ke dalam pelukannya lagi.
Aku sempat mendengar istilah-kata Akira sebelum akhirnya aku kelenger buat keduakalinya pada hari itu.
“Perempuan itulah Malaikat Pelindungmu, Rin. Maaf. Maafkan aku . Aku harusmembunuhnya. Aku mempunyai alasan buat itu. Aku berjanji kau akan permanen hidup,sayang.”


“Siapa sangka begitubangun dari pingsan, aku malah telah berada di ranjang rumah sakit dengan voniskanker otak? Dan sepetinya 2 jam lagi saya akan mati.” Aku mengungkapkan sinis.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Rin.” Mengabaikan kesinisanku yg sepertinyabertambah parah, Akira tiba tiba duduk pada sisi ranjangku. Ia memegang tangankudan mengecupnya.
Wajahku memerah. Sialan, bahkan 2 jam sebelum saat kematianku, saya masihbisa tersipu karena tanganku dicium sang laki-laki pujaanku. Gadis macam apaaku ini?
“Pertanyaan yang mana?”
“Yang pertama kali kutanyakan kepadamu waktu kita bertemu.” Jawabnya pelan. Iamasih duduk di sisi ranjangku, menatapku lurus-lurus.
“Keinginan terbesarku?”
“Ya.”

Pintu ruanganterbuka. Seorang dokter dan beberapa suster masuk, kemudian mulai melepas beberapaalat penyokong kehidupanku. Salah satu suster lalu mendorong ranjangku keluarkamar, menuju ruang operasi.
Akira mengikuti. Saat datang di ruang operasi, aku telah memikirkan apa yangbenar-benar kuinginkan ketika ini.
Aku menoleh ke samping ranjangku, tempat dimana Akira berada ad interim paradokter dan suster mulai menyiapkan berbagai keperluan operasi. Dokter mengambilsalah satu lenganku dan menyuntikkan sesuatu disana. Aku berjengit kaget namuntidak melepaskan tatapanku dalam Akira.

Ia menunduk dan menyejajarkan wajahnya denganku. Berbisik lirih, saya berkatapadanya,
“Aku ingin hayati.”
Aku memahami ini permintaan yg mustahil, tapi Akira malah tersenyum hening.mendekatkan wajahnya kepadaku, beliau mengecup pipiku dengan bibirnya yg dingindan mengungkapkan,
“Kau tidak akan mati, Rin. Aku telah berjanji untuk membiarkanmu permanen hidup.”
Dan obat bius merogoh alih kesadaranku.

Sudah satu minggu.
Satu minggu sejak operasi kanker otakku yang (diluar dugaan para dokter)kulalui dengan selamat.
Satu minggu semenjak Akira menghilang.
Awalnya saya tidak memahami kenapa saya sanggup hidup, begitu terbangun dan mendapatiaku berada di ruang operasi, aku malah mendapati Malaikat Pelindungku yangsebenarnya –Nyra – berdiri pada samping ranjangku. Rambut panjang keperakannyaberkilau pada bawah cahaya bulan yang masuk melalui ventilasi.
“Dimana..?”
Tenggorokanku kemarau, dan suaraku serak luar biasa hingga kukira dia tak akanmemahami apa yang kukatakan. Anehnya, beliau paham apa maksudku.
“Entahlah. Hanya Dewan Langit yang memahami dimana beliau berada. Akira sahih-benarceroboh. Ia menggunakan tegas meminta Dewan Langit buat menukar nyawanya dengankehidupanmu. Entah omong kosong apa yg digunakannya buat mengancam DewanLangit sampai mengabulkan permintaannya.”
“Kau..”
“Aku Nyra. Maafkan saya yang sudah gagal melindungimu. Akira melawanku dengansekuat tenaga, dengan kekuatannya yang lebih besar dariku, saya kalah telak. Akumemang tewas, tetapi aku dibangkitkan kembali karena masih wajib melindungimanusia yg lain. Berbeda dengan manusia yg ingatannya dihilangkan, MalaikatPelindung masih memiliki ingatan mengenai insan yg menjadi tugasnya.”
Aku kehilangan istilah-kata. Akira? Jadi dimana dia sekarang?
“Aku wajib pulang, Rin. Aku disini hanya untuk memastikan bahwa kau sahih-benarselamat. Terimakasih sudah menerangkan hal yang tidak pernah ada sebelumnya.aku benar-sahih tidak menyangka bahwa kau bisa membuat seorang MalaikatKematian jatuh cinta begitu pada.”
Belum sempat saya menjawab, Nyra telah bergerak menuju ambang ventilasi danmeluncur ke bawah, kemudian sayap putih besarnya membawanya membumbung tinggikembali ke langit.

Sejak waktu itu pulaaku menjalani hari-hariku tanpa Akira. Rasanya jauh lebih menyakitkan, memilikiingatan tentangnya tetapi tanpa keberadaannya pada sisiku. Kehidupanku nir akanpernah sama lagi. Yah, namun hidup wajib permanen berjalan, bukan? Pagi ini, akumulai bersekolah. Setelah berpamitan kepada ayah dan ibuku, saya berjalan kakisambil melamun, mengingat-ingat banyak sekali peristiwa aneh di kehidupanku selamaenam bulan kemarin. Rasanya seperti mimpi.
Aku mulai menangis. Membatalkan niatku buat bersekolah, saya pulang berlarimenuju tempat tinggal . Mengacuhkan pertanyaan mak serta ayahku, aku melepas sepatu, masukkamar serta membanting pintunya. Apanya yang melanjutkan hayati? Hanyamengingatnya saja sekujur tubuhku telah terasa sakit. Ditambah dengan kenyataanbahwa mungkin seumur hayati aku tidak akan sanggup bertemu dengannya lagi, akumerasa lebih baik tewas saja.
Berbalik dari pintu, aku melepas tas serta membantingnya ke ranjang. Aku barusaja akan menghempaskan tubuhku ke ranjang dan menangis sepuasnya saat matakumenangkap siluet seseorang yg duduk pada ambang ventilasi. Aku menoleh danjantungku sepertinya melewatkan satu denyutan.

Dengan setelan hitamnya yg biasa, Akira duduk dengan kalem di ambang jendelakamarku –kali ini tanpa sayap sehitam burung gagak yg terlipat dipunggungnya- dia tersenyum dan mengedipkan keliru satu mata hitam-kelamnyakepadaku.
Aku hanya bisa terpaku dengan mulut menganga saat dia melangkah mendekatiku.ia lalu menarikku ke pada pelukannya, tetapi kali ini rasa tubuhnya hangat,serta kusadari aura abu-abu di sekitarnya pula menghilang.
Berbisik menggunakan suara yg dipenuhi rasa syukur, Akira mengungkapkan,
“Kau memahami, dikutuk sebagai insan ternyata tidak jelek.”
Mengangkat wajahku yg masih basah oleh air mata, Akira tersenyum dan denganlembut mengecup bibirku.


Cerpen Karangan :Yuunagi Kuzuya
Facebook : YuunagiKuzuya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel