NASIB TRAGIS ABK INDONESIA DI LUAR NEGERI

 NASIB ABK INDONESIA DI LUAR NEGERI - Malang benar nasib para Anak Buah Kapal (ABK) yg bekerja pada luar negeri. Mereka bekerja tanpa perlindungan aturan yg memadai karena pemerintah belum meratifikasi perjanjian energi kerja pada Konvensi International Labor Organization (ILO). Padahal, pemerintah sendiri mengakui waktu ini cukup banyak ABK WNI yang bekerja di kapal-kapal asing.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan, perusahaan perikanan di luar negeri masih banyak bergantung pada energi kerja pelaut menurut Indonesia. Bahkan, Susi menyebut sebaran pekerja Indonesia tidak mengecewakan tinggi jika diukur berdasarkan jumlahnya.

"Data yg aku ketahui ada lebih kurang 210 ribu ABK WNI bekerja bersama kapal asing pada luar negeri," sebut Susi beberapa saat kemudian pada gedung KKP, Jakarta Pusat.


 NASIB ABK INDONESIA DI LUAR NEGERI


Kendati demikian, ternyata kebutuhan tenaga kerja, istilah Susi, nir selalu mengklaim peningkatan kesejahteraan juga sisi keamanan lantaran adanya upaya pelanggaran dan ketidakadilan yg dilakukan perusahaan terhadap ABK WNI.

Data menurut illegal fishing di semua dunia yang mempekerjakan 700 ribu ABK, 210 ribunya dari berdasarkan Indonesia. Kebanyakan dari mereka dipekerjakan di daerah kelautan yang bukan teritorial negara pembawa.

Para ABK Indonesia ini juga poly yg terputus interaksi dari keluarganya. Bahkan terdapat banyak laporan famili atau orang tua yang merasa kehilangan anaknya di kapal asing.

Susi sebelumnya pernah mengungkapkan banyak ABK yang bekerja seperti budak di kapal-kapal asing. Dari data perbudakan dunia, terdapat 61 ribu ABK Indonesia menerima perlakuan sama seperti pada Benjina di New Zealand. "Mereka bekerja di 1500 kapal milik Korea dan Taiwan," katanya waktu menggelar kedap dengan Komisi IV DPR, Senayan, 

Dua minggu kemudian, dirinya jua menerima laporan 5 orang ABK Indonesia yg mati diatas kapal Taiwan waktu berada pada Laut Sinegal. Diduga meninggal dikarenakan terlambatnya pasokan bahan makanan ke kapal tersebut. "Mereka mati satu per satu dalam kelaparan serta malnutrisi," ujarnya.

Di tengah merebaknya perkara kekerasan dan pelanggaran, berbagai desakan terus bermunculan berdasarkan lembaga juga perkumpulan pekerja Indonesia. Pemerintah dibutuhkan segera meratifikasi konvensi ILO supaya agunan proteksi tenaga kerja para pelaut segera terwujud. Sebagaimana diketahui, aturan tersebut dimuat dalam Konvensi ILO Nomor 188 tahun 2007 mengatur tentang Pekerjaan di Bidang Perikanan.

Namun, terdapat perbedaan pandangan yg disampaikan Pengajar Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana. Ia menilai, Indonesia sebaiknya perlu mempertimbangkan secara matang sebelum meratifikasi konvensi itu.

"Perlu dibentuk evaluasi sebelum meneken ratifikasi. Pertama, terkait data kuantitatif ABK yang bekerja di luar negeri. Seberapa banyak ABK Indonesia yang bekerja pada luar negeri ataukah sebaliknya justru banyak ABK asing yg ada di Indonesia," istilah Hikmahanto 

Menurutnya, sudut pandang serta pertimbangan soal jumlah energi kerja menjadi aspek krusial. Sebab, apabila lebih poly ABK WNI yang bekerja pada luar negeri maka sebaliknya akan merugikan Indonesia.

Pada kenyataannya, Hikmahanto mengamati ada sejumlah hambatan yg menyebabkan minimnya perlindungan terhadap profesi ABK. Salah satu faktor yg masih dihadapi negara-negara berkembang, menyangkut konteks decent working and living conditions on board ship . Klausul ini mensyaratkan keterampilan kerja yg baik, syarat kemapanan para energi kerja hingga standar kelayakan.

"Konvensi tadi mensyaratkan banyak hal yg belum tentu sanggup dipenuhi Indonesia," kata Hikmahanto.

Di samping itu, Ia menyebut belum lagi terkait penentuan atau pengelolaan upah ABK serta syarat-syarat mengikat lainnya yg wajib dipenuhi negara anggota. Kerugian lain, seperti pembuangan ke luar negeri energi kerja, sanggup saja terjadi kepada para ABK lantaran alasan ketidaksiapan suatu negara maupun hal lainnya.

Terlebih, istilah Hikmahanto, ratifikasi konvensi ILO adalah suatu perjanjian yg bersifat mengikat secara multilateral sebagai akibatnya membutuhkan kesiapan serta komitmen. Tanpa itu, dipastikan negara yang melanggar akan dikenai sanksi maupun dikeluarkan berdasarkan interaksi kerjasama internasional.

Atas dasar itu, negara-negara berkembang perlu memperhatikannya terlebih dahulu konsekuensi dan syarat menurut suatu perjanjian multilateral sebelum terjun ke dalam keanggotaannya. Untuk syarat saat ini, Hikmahanto menilai lebih realistis bila pemerintah membuat jalinan kerjasama dalam bentuk kerangka aturan spesifik dengan masing-masing negara tujuan ABK.

Hal tersebut absah-sah saja dilakukan mengingat secara substansial, Konvensi ILO sanggup dirujuk dalam konteks yang lebih sempit semisal membentuk suatu perjanjian bilateral. "Intinya, jangan terkecoh menggunakan perjanjian multilateral. 

Pemerintah bentuk saja peraturan perundang-undangan berbasis proteksi terutama dengan negara yang paling poly menerima ABK kita," tegasnya.


Menimbang maraknya masalah yang dialami TKI ABK, sebagian pihak menilai pemerintah permanen perlu meneken perjanjian perlindungan multilateral pada Konvensi ILO Nomor 188. 

Wakil Ketua Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) Imam Syafi'i mengklaim, beleid tadi sangatlah urgen serta penting lantaran memuat unsur-unsur terkait jaminan keselamatan ABK semisal kelayakan kapal hingga perlindungan peran perwakilan pemerintah di negara penempatan.

Tujuan dasar mendesak terlaksananya ratifikasi perjanjian sang pemerintah dianggap sangat beralasan, baik menurut sisi humanis maupun kesejahteraan. Sebab, hampir seluruh kasus TKI ABK yg ditangani SPILN, istilah Imam, didominasi masalah kekerasan.

Disebutkan, Pasal 8 ayat 2 b Konvensi ILO 188 secara eksplisit menekankan kapten kapal wajib menghormati keselamatan dan kesehatan awak kapal. Beleid ini dievaluasi perlu sepakati pemerintah karena relatif banyak kekerasan yg dilakukan kapten kapal terhadap ABK-nya.

Data SPILN tahun2019 ini mencatat, perkara kekerasan kembali menimpa ABK Purnomo Susanto asal Tanjung Priok, energi kerja kapal ikan di perairan Uruguay. "Dalam pengaduannya, yg bersangkutan mengaku tak jarang dipukul sang kapten kapal asal China sampai mengakibatkan dirinya sakit dan minta pulang," istilah Imam 

Kemudian, Arlan Mobilingo ABK asal Gorontalo yang bekerja di perairan Angola. ABK yang bekerja kapal Korea itu mengaku seringkali dianiaya kapten kapal hingga mengalami pendarahan di telinganya. "Kondisi terakhir, hingga ketika ini Arlan belum dipulangkan serta ditampung di kapal bekas," ucap Imam.

Sementara, peristiwa kekerasan serta penyiksaan jua turut dialami ABK Tri Sutrisno dari Batang, Jawa Tengah sebelum akhirnya dipulangkan secara sepihak oleh perusahaan Korea.

SPILN pula mencatat sejumlah pelanggaran lainnya yg terjadi dalam tahun ini, seperti masalah kekerasan yg dialami puluhan ABK di Thailand, serta ratusan lainnya yang diberikan kuliner kadaluarsa pada Trinidad Tobago.

Pihak SPILN menegaskan, fasilitas yang paling dibutuhkan oleh TKI ABK merupakan pemenuhan hak-hak sebagai pekerja misalnya upah yg layak serta jaminan pemberian premi.

Berdasarkan data pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu), jumlah ABK Indonesia pada luar negeri sebanyak 262.869 jiwa, dimana dominan terpusat pada kawasan Asia Pasifik, Amerika Selatan serta Afrika.

Para ABK tersebut terbagi dalam beberapa kategori, yakni ABK yang bekerja di

- kapal kargo (6,57%),


-kapal pesiar (6,80%),


- kapal tanker (0,68%),

- tugboat (8,84%), dan


- kapal penangkap ikan (77,09%).


Kemlu mencatat, kasus ABK Indonesia tahun2019 hingga2019 adalah sebesar 1.617 perkara. Di antaranya terdiri dari 

- perkara pidana (49,10%), 


- perdata (0,06%), 


- keimigrasian (3,95%), 


- ketenagakerjaan (27,82%), 


- dan lain-lain (19,04%).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel