SEJARAH 12 NOVEMBER 1926 HARI PEMBERONTAKAN ANTIKOLONIAL

12 November tahun peringatan
Pemberontakan kita di Indonesia
Ya! Ya! Ya! Itulah yg akan, mendatangkan dunia kemerdekaan.
Dari itu bersiaplah segera
Hayo rapat mitra kita semua
Hancurkanlah pengkhianat dunia
Hayo rapat mitra kita semua…
Berpuluh kawan di tiang gantungan
Beratus-ratus melayang jiwanya.
Laki serta istri dalam buangan
Beribu-ribu di dalam penjara.
Ya! Ya! Ya! Itulah yg akan, mendatangkan dunia kemerdekaan.
Itulah lirik lagu usaha “12 November”. Lagu ini mengingatkan kita pada peristiwa 12 November 1926. Dalam sejarah resmi Indonesia, peristiwa 12 November 1926 diklaim menjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ironisnya, kendati pemberontakan ini diarahkan kepada penguasa kolonial, sejarah resmi Indonesia tidak memberi apreasiasi secuil pun. Negara jua tidak menaruh penghormatan apapun terhadap peristiwa heroik itu. Anehnya, sejarah resmi berusaha memberi pengertian negatif terhadap pemberontakan 12 November 1927.
PKI menyiapkan pemberontakan ini selama setahun. Awalnya, pemberontakan ini digagas melalui sebuah Konferensi pada Prambanan, 25 Desember 1925. Setelah setahun bersiap, dengan banyak sekali polemik yang menyertai internal PKI, pemberontakan 12 November 1926 pun pecah pada tengah-tengah kekuasaan kolonial.
Awal pemberontakan bermula di Jakarta. Gerakan pemberontakan sudah berlangsung semenjak sore hari 12 November. Menjelang tengah malam, gerakan pemberontak sudah bergerak menyerang polisi, merusak sambungan telpon, dan menyerbu penjara Glodok. Ratusan orang pula menyerang polisi pada daerah meester cornelis (Jatinegara).
Pemberontakan serupa pula terjadi pada Tangerang, Banten, Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kediri, serta Surakarta. Pemberontakan paling keras terjadi pada Priangan serta Banten. Di ke 2 daerah itu, momen pemberontakan bertemu menggunakan keresahan luas pada kalangan kaum tani. Sebagian akbar pemberontak hanya bersenjatakan pisau dan kelewang. Hanya sebagian mini yang menggunakan senapan.
Di Sumatera, pemberontakan PKI baru dimulai lepas 1 Januari 1927. Pusat pemberontakan berlangsung di Sawahlunto (Silungkang). Di sini pemberontakan dipimpin langsung sang PKI serta Sarekat Rakyat (SR). Sejumlah opsir berdarah Indonesia jua berpartisipasi pada pemberontakan.
Pemberontakan PKI berhasil dipatahkan penguasa kolonial. Beberapa catatan mengungkapkan, dampak pemberontakan menemui kegagalan, kurang lebih 13.000 orang ditangkap pada seluruh Hindia-Belanda. Beberapa orang eksklusif ditembak. 5000 orang ditempatkan pada penahanan buat pencegahan. Lalu, 4500 orang dipenjara selesainya pengadilan. Dan 1300-an orang dibuang ke Boven Digul, Papua.
Banyak gerombolan kiri, termasuk bekas PKI seperti Tan Malaka, menyalahkan pemberontakan itu. Tan Malaka menganggap pemberontakan itu tindakan “advonturis” serta berakibat hancurnya satu generasi PKI. Baginya, sebelum PKI menetapkan pemberontakan, seharusnya dukungan masyarakat telah dipastikan.
Bagi seorang Ali Archam, seseorang pemimpin PKI, tidak terdapat yg patut disalahkan berdasarkan pemberontakan tadi. Ia sendiri bilang, “suatu pemberontakan yg mengalami kekalahan adalah tetap absah dan sahih. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yg kalah. Tidak ada pada antara kita yang keliru, lantaran kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yg bersalah. Kita harus melawannya, jua pada tanah pembuangan ini. Dan persatuan wajib terus kita pelihara.”
Njoto, galat seorang pimpinan PKI di tahun 1950-an, jua membicarakan apresiasinya yg akbar terhadap pemberontakan itu. Njoto bilang, “pemberontakan itu memiliki arti yg akbar pada membangkitkan kesadaran massa serta menanamkan agama pada diri sendiri serta keyakinan akan kemenangan pada hari depan.”
Hal senada diungkapkan DN Aidit, pimpinan CC-PKI, pada peringatan HUT PKI ke-35 lepas 23 Mei 1955. Aidit tegas menyampaikan, “satu hal yang tak mampu dilupakan, bahwa pemberontakan ini sudah menunjukkan pada Rakyat Indonesia, bahwa Belanda sanggup dibuat kalang-kabut; kekuasan kolonial dapat digoyangkan; bahwa kekusaan kolonial bukan kekuasaan mutlak.”
Takashi Shiraishi, pada bukunya “Zaman Bergerak”, pula memberikan pendapat mengenai pemberontakan itu. Katanya, sekalipun pemberontakan itu berakhir dengan kematian yg memilukan, tetapi semenjak itu ilham dan bentuk-bentuk konvoi sudah menjadi pengetahuan generik pada bahasa melayu serta Indonesia.
Benar saja, tidak lama setelah pemberontakan, generasi baru dari nasionalis radikal, dengan Soekarno sebagai tokohnya, telah timbul balik di gelanggang konvoi. Soekarno banyak mewarisi tradisi radikal serta revolusioner-nya PKI. Partai yg didirikan Soekarno, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kentara-kentara mengambil jalan “Non-Koperasi”.
Soekarno sendiri mengakui hal itu. Dalam bukunya, Sarinah, tahun 1947, Soekarno mengungkapkan, “Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa pada kalangan kaum Komunis. Partai Komunis Indonesia serta Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya pada penjara serta pada pembuangan pada Boven Digul. Untuk meneruskan perjuangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia.”
Lalu, ketika membicarakan pidato di HUT PNI ke-38 pada Stadion Gelora Bung Karno, 25 Juli 1965, Soekarno kembali menegaskan penilaiannya terhadap pemberontakan PKI pada 12 November 1926 itu. Menurut Soekarno, pemberontakan PKI itu pada pokoknya sudah benar, karena bertekad merebut kekuasaan berdasarkan tangan kolonialis Belanda. Hanya saja, istilah Soekarno, PKI salah dalam caranya, yakni kurangnya persiapan pada menuju sebuah pemberontakan.
Belakangan, waktu aura anti-komunisme menguat pasca G.30.S, Soekarno menolak buat menghapus pengorbanan PKI dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Di hadapan Komando Aksi Mahasiswa (KAMI), 21 Desember 1965, Soekarno mengakui, karena perjuangan PKI mendatangkan Indonesia merdeka, 2000 pimpinan PKI dibuang ke Boven Digul. “Di sana mereka hidup, hayati sengsara sekali. Banyak yg mangkat di Boven Digul,” tandasnya.
Soekarno menandaskan, seperti jua kaum nasionalis serta agamais yg melakukan pengorbanan, PKI juga melakukan pengorbanan. Soekarno kemudian bertenaga-kuat mengingatkan, “jangan kau lupakan ini, saudara-saudara, bahwa PKI komunis, katakanlan PKI komunis, juga menyumbang kepada kemerdekaan Indonesia ini. Mereka pun berkorban habis-habisan buat Indonesia Merdeka. Malahan aku yg menyaksikan segala hal itu mengungkapkan, pengorbanan mereka (PKI) dalam perjuangan Indonesia Merdeka lebih akbar daripada pengorbanan yg partai-partai lain serta golongan-golongan lain telah adakan.”
Kini, 86 tahun sehabis kejadian itu, kita sebagai sebuah bangsa seakan menapikan pengorbanan para pejuang kemerdekaan pada insiden ini. Tidak sedikit diantara mereka merupakan patriot-patriot kemerdekaan. Cita-cita mereka pun cukup jelas: mendatangkan global kemerdekaan! Karena itu, sangat pantas bila lepas 12 November diperingati sebagai Hari Pemberontakan Anti-Kolonial atau Hari Anti-Kolonialisme.
Kita harus lapang-dada pada melihat sejarah. Prasangka tidak baik, apalagi ketidakberdayaan dampak rekayasa sejarah, hanya akan menciptakan kita “tidak berlaku adil sejak dalam fikiran”. Kalau itu terjadi, kita nir akan pernah mampu melangkah menggunakan kaki paripurna futuristis. Sebab, satu kaki kita ditawan oleh sejarah.
Source:
//www.facebook.com/photo.php?Fbid=497795913633869&l=041deca3d8

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel