SEJARAH AWAL TERJADINYA PERANG PADRI GELOMBANG PERTAMA DAN KEDUA

Sejarah Terjadinya Perang Padri Gelombang Pertama serta Kedua - Perang Padri merupakan peperangan yang pada awalnya dampak kontradiksi pada masalah agama sebelum berubah sebagai peperangan melawan penjajahan. Juga peperangan yg berlangsung pada Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di daerah Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.

Peperangan ini dimulai dengan munculnya gerakan Kaum Padri (Kaum Ulama) pada menentang perbuatan-perbuatan yg marak waktu itu pada kalangan warga yg ada dalam tempat Kerajaan Pagaruyung sekitarnya, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, dan pula aspek hukum istiadat matriarkat tentang warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal kepercayaan Islam.

Dan lalu gejolak ini memicu perpecahan antara Kaum Padri yg dipimpin oleh Harimau nan Salapan menggunakan Kaum Adat dibawah pimpinan Raja Pagaruyung saat itu Sultan Muning Alamsyah. Dan lalu meluas dengan melibatkan Belanda.

Perang Padri adalah peperangan yg meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis pada memori bangsa. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803-1821), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara antara sesama etnis Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari sang adanya hasrat dikalangan para ulama pada Kerajaan Pagaruyung buat menerapkan dan menjalan syariat Islam sinkron menggunakan Mahzab Wahabi yang ketika itu berkembang pada tanah Arab (Arab Saudi sekarang). Kemudian pemimpin para ulama yang tergabung pada Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau buat mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah bersama Kaum Adat buat meninggalkan beberapa norma yg nir sesuai menggunakan ajaran Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada istilah putusan bulat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa Negeri pada Kerajaan Pagaruyung bergejolak, serta puncaknya dalam tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung, serta pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini mengakibatkan Sultan Muning Alamsyah terpaksa menyingkir serta melarikan diri berdasarkan ibukota kerajaan. Dan berdasarkan catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menjelaskan bahwa dia hanya mendapati sisa-residu istana raja Minangkabau yg sudah terbakar.

Sebab Terjadinya Perang Padri
Sebab Umum

  1. Adanya pertentangan paham antara golongan Wahabi yang ingin memurnikan ajaran agama islam menggunakan para golongan Tasawuf yg terdiri dari kaum bangsawan dan pemangku norma.
  2. Ada norma buruk yg disahkan oleh kaum norma seperti minum minuman keras, menyabung ayam, berjudi, merokok, dll.
  3. Adanya pertentangan antara aturan istiadat dengan hukum di agama Islam. Yaitu antara lain dalam hukum istiadat menganut sistem kekerabatan Matrilineal sedangkan pada Islam Patrilineal.
  4. Terjadi perebutan pengaruh antara kaum norma dengan ulama.
  5. Adanya campur tangan bangsa barat pada kudeta tersebut yaitu Inggris dan Belanda.
Sebab Khusus

  1. Pertemuan antara kaum norma menggunakan ulama buat menyelesaikan seluruh duduk perkara selama ini di Koto Tangah. Lantaran usaha itu tidak berhasil, kaum norma pada serang sang kaum ulama kemudian kaum istiadat meminta donasi pada Belanda di Padang dalam tahun 1821.

Perang Padri Gelombang Pertama
Perang Padri terjdi di kota Lawas, kemudian berkembang di wilayah lainnya misalnya Alahan Panjang. Pada peperangan tadi, kaum Padri pada pimpin oleh Datuk Bandaro bertempur melawan kaum Adat yang pada pimpin sang Datuk Sati. Setelah Datuk Bandaro mati dunia, pucuk pimpinan di pegang oleh Malim Basa (Tuaku Imam Bonjol) serta di bantu sang Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Gapuk.


Keterlibatan Belanda

Karena terdesak dalam peperangan, pada 21 Februari 1821 kaum Adat meminta donasi Belanda pada Padang, menggunakan kompensasi penyerahan beberapa daerah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian ini dihadiri pula oleh residu keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang kemudian diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda pada perang karena "diundang" oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda pada perang itu ditandai menggunakan penyerangan Simawang serta Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet serta Capt Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy pada Padang. Serangan ini berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar berdasarkan Pagaruyung. Dan Belanda membentuk benteng di Batusangkar dengan nama Fort van der Capellen, Sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.
Pada 13 April 1823, Belanda mencoba menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga dalam lepas 16 April 1823 Belanda terpaksa balik Batusangkar.

Genjatan Senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri relatif andal sebagai akibatnya sangat menyulitkan Belanda buat menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Residen pada Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang ketika itu telah dipimpin sang Tuanku Imam Bonjol buat berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tahun 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia pula kehabisan dana pada menghadapi peperangan lain di Eropa serta Jawa seperti Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan jua mencoba merangkul Kaum Adat. Sehingga akhirnya timbul suatu kompromi yg dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato pada Tabek Patah (termasuk daerah kabupaten Tanah Datar kini ) yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama dari Kitabullah (Al-Qur'an)).

Perang Padri Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang Diponegoro serta pulihnya kekuatan Belanda pada Jawa, pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba buat menundukan Kaum Padri, hal ini sangat didasari sang keinginan bertenaga buat penguasaan penanaman kopi yg sedang meluas di kawasan darek. Sampai abad ke 19, komoditas perdagangan kopi merupakan galat satu produk andalan Belanda di Eropa.

Selanjut buat melemahkan kekuatan lawan, Belanda mulai dengan menyerang nagari Pandai Sikek sekaligus melanggar perjanjian yg telah dibuat sebelumnya, kawasan ini adalah keliru satu daerah yang bisa menghasilkan mesiu serta senjata api. Dan kemudian buat memperkuat kedudukannya, Belanda membentuk benteng pada Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock.

Diawal bulan Agustus 1831, Lintau berhasil ditaklukkan sehingga dengan demikian Luhak Tanah Datar serta Luhak Limo Puluah berhasil ditaklukkan.

Kaum Padri terus melakukan konsolidasi serta berkubu Kamang, tetapi semua kekuatan Kaum Padri pada Luhak Agam diakhirnya pun terpaksa mundur ke Bonjol sesudah jatuhnya Kamang di akhir tahun 1832.

Perlawanan Bersama
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri melawan Belanda, ke 2 pihak telah bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yg semula bertentangan akhirnya manunggal melawan Belanda. Diujung penyesalan ada kesadaran, mengundang Belanda dalam permasalahan justru menyengsarakan warga Minangkabau itu sendiri.

Menyadari hal itu, sekarang Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, namun secarah holistik warga Minangkabau. Maka Belanda pada tahun 1833, mengeluarkan pengumuman yg dianggap Plakat Panjang berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud buat menguasai negeri ini, mereka hanya datang buat berdagang serta menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan permanen diperintah sang para penghulu adat mereka serta tidak pula diharuskan membayar pajak. Dan karena usaha Belanda buat menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, serta sebagainya memerlukan biaya , maka penduduk diwajibkan menanam kopi serta menjualnya ke Belanda.

Ketika kol Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri tahun 1831-1832, beliau memperoleh tambahan kekuatan berdasarkan pasukan Sentot Ali Basya salah seseorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot, masuk dinas Pemerintah Belanda selesainya usai perang di Jawa. Tetapi Elout beropini kehadirannya justru menimbulkan kasus di Sumatera, menggunakan dokumen-dokumen resmi yg mengambarkan kesalahan Sentot Ali Basya yang telah melakukan persekongkolan dengan kaum Padri. Sehingga lalu Elout mengirim Sentot dan legiunnya kembali ke Jawa. Di Jawa, Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya. Dan akhirnya Belanda juga tidak ingin beliau permanen berada pada Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Tetapi dalam bepergian ke sana, Sentot diturunkan serta ditahan di Bengkulu dimana dia ditinggal sampai mati menjadi orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan dan kemudian direkrut pulang sebagai tentara Belanda.

Demikian juga dengan Yang Dipertuan Alam Minangkabau Sultan Tangkal Alam Bagagar, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, juga ditangkap sang pasukan kol Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan pada lepas dua Mei 1833. Selanjutnya Sultan Tangkal Alam Bagagar dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang), dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.

Timbulnya perlawanan serentak berdasarkan seluruh warga Minangkabau, menjadi realisasi ikrar beserta, memaksa Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pulang ke Padang pada lepas 23 Agustus 1833, buat melihat berdasarkan dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya pada Padang, beliau melakukan negosiasi menggunakan Jenderal Riesz serta Kolonel Elout buat segera menaklukkan benteng Bonjol, yg dijadikan sentra meriam akbar pasukan Padri, Riesz serta Elout menerangkan bahwa belum tiba saatnya yang baik buat mengadakan serangan generik terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, serta paling lambat lepas 10 September 1833 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tadi meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol dibutuhkan dalam tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yang diterapkan kaum Padri, berhasil memperlambat mobilitas laju agresi Belanda ke benteng Bonjol, bahkan pula hampir seluruh perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam serta perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya bisa membawa senjata dan sandang yg melekat pada tangan serta badannya. Sehingga akhirnya dalam lepas 21 September 1833, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal serta sedang diusahakan buat konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.

Dan dapat dikatakan selama tahun 1834 nir ada bisnis yg sungguh-sungguh yang dilakukan sang pasukan Belanda buat menaklukkan Bonjol, kecuali pertempuran mini -kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan sentra pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan serta jembatan, yg mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan ulet , dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan serta jembatan itu dipersiapkan buat memudahkan gerak pasukan Belanda dalam gerakannya menaklukan Bonjol.

Serangan ke Bonjol 
Baru pada lepas 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan buat mengadakan serangan besar -besaran buat menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai dalam tanggal 21 April 1835, dimana pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang kemudian memecah pasukannya sebagai dua bahagian yang berkiprah masing-masing menurut Matur serta Bamban, lalu bersama bergerak menuju Masang. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu lagi banjir, serta terus masuk menyelusup ke pada hutan rimba; mendaki gunung serta menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Dan pada lepas 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini sudah berhasil mencapai tepi Batang Ganting, dan lalu terus menyeberanginya serta berkumpul pada Batusari. Dari sini hanya terdapat satu jalan sempit menuju Sipisang, wilayah yang masih dikuasai sang Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan kaum Padri selama tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak poly yang berjatuhan. Namun dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini menaikkan moralitas pasukan Belanda, serta lalu wilayah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sembari menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Namun pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yg diharapkan buat bisa mendekati wilayah Alahan Panjang. Dan menjadi front terdepan berdasarkan Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas, yg secara penuh masih dikuasai sang Kaum Padri. Pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda yang mencoba maju ke Padang Lawas sehingga pulang pecah pertempuran sengit serta pasukan Belanda akhirnya bisa menguasai daerah ini.

Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang serta menciptakan kubu pertahanan disana, sedangkan pasukan Kaum Padri permanen bersiaga pada seberangnya.

Dan dalam tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol pada jarak kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol serta lalu mencoba membuat kubu pertahanan disana. Selanjutnya menggunakan memakai houwitser, mortir dan meriam besar , menembaki benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam yang lalu membalas menggunakan menembakan juga meriam-meriam dari bukit Tajadi. Karena posisi yg kurang menguntungkan, pasukan Belanda poly menjadi korban.

Dan selanjutnya pada lepas 17 Juni 1835 datang lagi bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang lagi yang dikirim oleh Residen Francis pada Padang. Kemudian pada lepas 21 Juni 1835, menggunakan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju target akhir yaitu Benteng Bonjol.

Pengepungan Bonjol
Melihat kokohnya benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol, menggunakan tujuan buat melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini, ternyata nir efektif, lantaran justru benteng-benteng pertahanan pasukan Belanda serta bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Dan disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan menurut daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari aneka macam negeri pada Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bundar buat mempertahankan markas besar Bonjol hingga titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Usaha buat melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan balik setelah bencana donasi tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada pada bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda pada merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar bukit Tajadi. Tetapi sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai bukit tajadi malah pada lepas 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yg dibentuk lebih kurang bukit Tajadi. Dan sehabis serangan dilakukan, pasukan Kaum Padri segera pulang masuk ke pada benteng Bonjol.

Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang menurut arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan poly menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Dan Letnan Kolonel Bauer, keliru seseorang komandan pasukan Belanda menderita sakit, serta terpaksa dikirim ke Bukittinggi serta kemudian digantikan sang Mayor Prager.

Blokade yg berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian warga sekitarnya buat memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sebagai akibatnya dalam lepas 11 Desember 1835 rakyat desa Alahan Mati dan Simpang mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini, baru setelah tiba bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

Hampir setahun mengepung Bonjol, dalam tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan akbar-besaran terhadap benteng Bonjol, sebagai bisnis terakhir buat penaklukkan Bonjol. Serangan dahsyat ini bisa menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa famili Tuanku Imam Bonjol. Tetapi menggunakan kegigihan serta semangat juang yg tinggi Kaum Padri balik berhasil memporak-porandakan musuh sebagai akibatnya Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng menggunakan meninggalkan banyak sekali korban jiwa pada masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukkan ini sahih-sahih memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Batavia yang waktu itu telah dipegang sang Dominique Jacques de Eerens kemudian mengirimkan seseorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius buat memimpin pribadi agresi akbar-besaran ke benteng Bonjol buat kesekian kalinya.

Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol berdasarkan segala jurusan selama lebih kurang enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin sang jenderal dan para perwira Belanda, dan pasukan gabungan Belanda yg sebagian besar terdiri menurut aneka macam suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dimana masih ada 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tadi diantaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Capt MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pelettu Steinmetz dan seterusnya, serta ada jua nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro pada Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana dalam tanggal 20 Juli 1837 tiba menggunakan Kapal Perle pada Padang, Kapitein Sinninghe, dan sejumlah orang Eropa serta Afrika, yg terdiri menurut 1 sergeant, 4 korporaals serta 112 flankeurs yang merupakan serdadu menurut Afrika yg direkrut oleh Belanda pada benua itu, sekarang negara Ghana serta Mali. Mereka jua diklaim menggunakan Sepoys serta berdinas pada tentara Belanda.

Serangan yang bergelombang dan bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar , selama sekitar 6 bulan lamanya, dan pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Akhirnya pada lepas tanggal 15 Agustus 1837, bukit Tajadi jatuh, dan pada lepas 16 Agustus 1837 benteng Bonjol secara holistik bisa ditaklukkan. Tetapi Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar berdasarkan benteng dengan didampingi sang beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap semua pasukannya yg telah bercerai-berai serta lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal serta masih siap buat bertempur kembali.

Dalam kondisi seperti ini, datang-tiba datang surat tawaran menurut Residen Francis pada Padang buat mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan negosiasi. Perundingan itu dikatakan nir boleh lebih berdasarkan 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta buat tiba ke Palupuh loka perundingan tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda buat menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 serta lalu Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi lalu terus dibawa ke Padang, buat selanjutnya diasingkan. Dan pada lepas 23 Januari 1838 dipindahkan ke Cianjur, serta dan pada akhir tahun 1838, dia kembali dipindahkan ke Ambon. Dan tanggal 19 Januari 1839 Tuanku Imam Bonjol balik dipindahkan ke Menado. Dan di wilayah inilah dalam lepas 8 November 1864, setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, Tuanku Imam Bonjol menemui ajalnya.

Tokoh-tokoh Dalam Perang Padri
1. Tuanku Imam Bonjol
2. Tuanku Lintau
3. Tuanku Nan Gapuk
4. Tuanku Hitam
5. Tuanku Nan Cerdik
6. Tuanku Tambusay
7. Tuanku Nan Renceh
8. Tuanku Pasaman
9. Tuanku Mansiangan
10. Tuanku Pandai Sikek
11. Tuanku Rao
12. Tuanku Barumun
13. Kolonel Stuers

Akhir Dari Perang Padri
Meskipun dalam tahun 1337, benteng Bonjol bisa dikuasai Belanda, serta Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, namun peperangan tersebut masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai jatuh pada tahun 28 Desember 1838. Dan Tuanku Tambusai terpaksa mundur, dan beserta residu-sisa pengikutnya pindah ke Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai dan lalu Kerajaan Pagaruyung ditetapkan sebagai bagian berdasarkan pax neerlandica dan menyatakan wilayah Padangse Bovenlanden berada di bawah supervisi Belanda.

Referensi:
//id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri
//muhammadurrockygap.blogspot.com/2010/12/tugas-perang-padri.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel