MENGENAL SEJARAH KEBUDAYAAN SUKU ANAK DALAM DI JAMBI

Di Indonesia memiliki ribuan suku bangsa yang beraneka ragam tersebar pada pelosok tanah air. Masing-masing daerah saling menghipnotis serta dipengaruhi sang kebudayaan daerah lain atau kebudayaan yg asal berdasarkan luar. Salah satu kebudayaan tadi merupakan Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam berada di daerah Jambi serta Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam belum dikenal sekali sang warga Indonesia karena Suku Anak Dalam telah sangat sporadis ditemui serta mereka umumnya menetap di loka-tempat terpencil yang jauh menurut jangkauan orang-orang.

Suku kubu (suku anak dalam) ini adalah percampuran suku bangsa menggunakan suku Wedda atau yang diklaim suku bangsa Weddoid sang para anthropologi.

Kehidupan menurut suku kubu (anak pada) populer dengan kebiasaannya yang senang hayati terisolasi berdasarkan kehidupan global luar yang mengakibatkan rendahnya tingkat kebudayaan dan peradaban menurut mereka. Hal tadi terlihat dari bentuk rumah baik menurut segi susunan serta bahan bangunannya, kebudayaan material suku Kubu (Anak Dalam) yang masih sangat sederhana, kemudian indera-indera tempat tinggal tangga yang mereka pakai, indera-indera bercocok tanam dan berkebun, sandang sehari-hari dan upacara yang mereka kenakan. Namun, suku Kubu (Anak Dalam) juga mengenal kebudayaan rohani yang meliputi kepercayaan akan setan-setan dan tuhan-tuhan, istiadat kelahiran, perkawinan, aplikasi kematian, pantangan atau tabu, hukum norma, kesenian serta bahasa yang memiliki cirri spesial tersendiri dibandingkan menggunakan penduduk lainnya pada wilayah Jambi tadi. Mereka masih menerapakan budaya berburu, sistem barter, dan pula bercocok tanam buat kelangsungan hayati mereka dan mereka termasuk suku yg menganut sistem hidup seminomaden lantaran kebiasaan berpindah-pindah yg mereka lakukan.

Mengenai Sejarah Suku Anak Dalam

Sejarah Suku Anak Dalam masih penuh misteri, bahkan sampai kini tidak terdapat yg sanggup memastikan berasal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita menurut mulut ke mulut para keturunan yang sanggup menguak sedikit sejarah mereka.

Versi Pertama
leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yg meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di kurang lebih Air Hitam, TNBD. Mereka lalu dinamakan Moyang Segayo.

Sedangkan Versi Kedua
penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yg bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan lantaran kondisi keamanan nir aman atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.

Versi ke 2 ini lebih banyak dikuatkan menurut segi bahasa, lantaran terdapat sejumlah kecenderungan antara bahasa rimba serta Minang. Orang Rimba pula menganut sistem matrilineal, sama menggunakan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas aturan empat ke atas serta empat ke bawah, yang pula dikenal pada ranah Minang.

Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah wilayah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yg diperkirakan bermigrasi ke beberapa daerah pada Jambi bagian barat.

Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yg kemudian dinyatakan tempat TNBD, terletak pada perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Tetapi sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan aturan istiadat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, grup- kelompok Orang Rimba pula tersebar pada 3 wilayah lain. Populasi terbesar masih ada di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, lebih kurang 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang genre anak-anak sungai keempat (lebih kecil berdasarkan sungai tersier), misalnya anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada jua yg hayati di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, serta Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.

Terdesak penjajahan 
Johan Weintre, salah seseorang peneliti antropologi berasal Australia, yang juga pernah menetap pada hutan rimba TNBD, menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka dan melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial menggunakan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai wilayahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian dianggap kubu, menciptakan komunitas baru pada daerah terpencil.

Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh tidak sama dengan warga lain pada sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga dalam daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, serta Muaro Tebo, yang mengitari tempat TNBD.

Salah satu buktinya, rakyat istiadat melayu antik pada Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum tata cara Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian dalam Perang Sriwijaya. belajar pramuka

Referensi:
//tebopolita.blogspot.com/
//jadiberita.com/1476/mengenal-lebih-pada-budaya-suku-anak-pada.html
//arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/05/kebudayaan-suku-anak-pada.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel