SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

     Sebenarnya materi mengenai aturan internasional dan eksistensi negara pada warga adalah 2 bab yang terpisah, tetapi dalam tulisan ini sengaja saya jadikan satu, lantaran memang 2 hal ini tidak bisa dipisahkan. Kita tentang galat satu subyek aturan internasional merupakan negara bersama individu yg ada pada pada negara tersebut. Maka keberadaan sebuah negara yg menjadi subyek menurut aturan internasional tersebut juga harus dibahas sebagai satu, sebagai akibatnya sebagai suatu kesatuan pemikiran yg utuh, tidak dipisah. Untuk memulai marilah kita mulai menurut bab asal hukum internasional terlebih dahulu…


SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

Pengertian Subyek Hukum Internasional

    Sebelum kita membahas tentang subyek hukum internasional lebih krusial jua bagi kita buat mengenal subyek hukum. Subyek aturan adalah pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti yang telah diatur oleh ketentuan hukum. Selain itu subyek hukum internasional merupakan pihak yg mempunyai kemampuan bertindak, pihak yg memiliki personalitas dalam hukum internasional. Bahwa mereka juga bisa memikul hak dan kewajiban menurut hukum internasional serta melaksanakannya.
  Seperti halnya pada materi sebelumnya tentang interaksi hukum internasional serta hukum nasional, maka dalam subyek aturan internasional jua bisa ditemukan disparitas pendapat. Sehingga dalam pendekatan teoritis, dalam kepustakaan aturan internasional dikenal 2 pendapat mengenai aturan subyek hukum intenasional yang tidak selaras antara yang satu dengan yg lain. Di satu sisi ada pendapat yg menyatakan bahwa hanya negara yang adalah subyek hukum internasional. Sedangkan di sisi lain terdapat jua pendapat yg menyatakan bahwa subyek hukum internasional adalah individu.
  Tentu saja pada menentukan pendapat misalnya bukan atas dasar pemikiran sekilas, tentu terdapat yang mendasari dari ke 2 pendapat ini. Pendapat yg menyatakan bahwa subyek hukum intenasional adalah negara didasarkan dalam argumentasi bahwa hak dan kewajiban yg diatur oleh hukum intenasional adalah hak dan kewajiban negara. Bahwa negara adalah pelaku utama serta unsur primer menurut struktur masyarakat internasional. Perjanjian-perjanjian itu dibentuk sang negara-negara, menaruh hak dan kewajiban yg inheren dan dilaksanakan sang negara yg terikat sang perjanjian intenasional itu. Hanya negara yg mempunyai hak beracara (legal standing) pada hadapan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Terminology yg dipakai adalah Hukum Bangsa-bangsa (Law of Nations) serta sebagian akbar ketentuan aturan internasional mengatur negara dalam warga internasional. Aliran ini jua beropini bahwa adanya ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang individu, bukan berarti subyek aturan internasional merupakan individu. Bahwasanya ketentuan aturan internasional itu mengatur individu menjadi obyek dalam hukum internasional, bukan sebagai subyek. Menurut teori ini, ketentuan-ketentuan hukum internasional yg berkaitan menggunakan individu dalam dasarnya mengatur hak dan kewajiban negara untuk menghukum individu pelaku kejahatan eksklusif serta atau melindungi individu yg menjadi korban berdasarkan tindakan tertentu. Misalnya menurut hukum kebiasaan internasional (International Customary Law) negara mempunyai hak buat menghukum bajak laut ”Jure Gentium” yg terjadi di daerah bahari bebas (piracy jure gentium); atau negara berkewajiban buat mencegah adanya bentuk perbudakan (slavery), karena para pelaku kejahatan-kejahatan semacam itu dianggap sebagai musuh semua bangsa (enemies of mankind).
  Kemudian teori yang menyatakan bahwa subyek hukum internasional hanyalah individu dipelopori sang Hans Kelsen (1887-1973). Menurut teori ini negara adalah konsep yang tak berbentuk. Pada dasarnya negara merupakan sebuah konstruksi yuridis yg bersifat abstrak. Negara merupakan konsep hukum teknis buat menunjuk pada sekumpulan ketentuan hukum yg berlaku pada sekelompok orang yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu ; “a totally of rules applying to a class of person within defined territorial area”. Negara dalam hakikatnya sama dengan aturan, yg dalam hakikatnya suatu ketentuan hukum yg pada dasarnya merupakan individu.
  Jika ditinjau menurut segi teori murni, pendapat yang dinyatakan Hans Kelsen sangat logis. Namun demikian berdasarkan segi simpel, telah semenjak jamak bahwa sebagian akbar ketentuan hukum internasional mengatur hak dan kewajiban negara. Di samping itu secara umum telah diakui bahwa hanya negara yang dapat beracara pada hadapan pengadilan internasional. Hak serta kewajiban harus ditegakkan melalui tuntutan dan langkah hukum yang dilakukan sang negaranya.
  Berdasarkan fakta berdasarkan dua teori pada atas lalu sanggup diprediksi memunculkan pertanyaan. Wacana tentang mengenai siapa yang sebagai subyek hukum internasional, apakah  negara saja atau individu saja memiliki relevansi secara teoritis. Di samping itu negara dan individu, dewasa ini sistem hukum internasional pula telah mengakui eksistensi organisasi internasional juga kesatuan bukan negara. Oleh karenanya pada praktik subyek hukum internasional bisa diberi makna yang lebih luwes sebagaimana dijelaskan pada tulisan selanjutnya pada bawah ini.

Macam-macam Subyek Hukum Internasional

Negara

  Kedudukan negara menjadi subyek aturan internasional tidak dapat disangkal lagi. Pelaku primer pada aturan internasional merupakan negara. Ketentuan-ketentuan yg terdapat pada hukum internasional terutama mengatur hak serta kewajiban negara dalam hubungannya dengan negara lain. Juga negara merupakan pihak yang dapat beracara dan mengajukan tuntutan aturan di hadapan peradilan internasional.

Individu

  Dewasa ini kedudukan individu menjadi subyek hukum internasional memperoleh tempat yang sangat signifikan. Hal ini terbukti menggunakan dilembagakannya banyak sekali instrument internasional yang mengatur hak dan kewajiban individu. Kedudukan individu dalam aturan internasional dipercaya penting, karena berkaitan menggunakan kepedulian serta konvensi rakyat internasional buat memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu dan instrument-instrumen internasional. Masyarakat internasional sudah tetapkan istrumen aturan internasional baik dalam bentuk deklarasi, konvensi, piagam dan atau instrument hukum lain yang memberikan agunan proteksi hak asasi manusia pada dalamnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa menggunakan dibentuknya instrumen yg melindungi Hak-hak Asasi Manusia tadi menegaskan bahwa kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional perlu diatur dan dilindungi.

Organisasi Internasional

  Kapasitas organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional telah nir bisa diragukan lagi. Masyarakat telah mampu menerima organisasi intenasional menjadi salah satu pelaku dalam interaksi internasional merupakan pihak yg mempunyai kemampuan bertindak menurut hukum dan memiliki personalitas dalam aturan internasional. Eksistensi OI menjadi subyek aturan bisa dipandang pada aneka macam preseden hukum internasional juga jurisprudensi (Keputusan Mahkamah Internasional), diantaranya :
  1. Keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus “Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nation Case” tahun 1949. Menyatakan bahwa: PBB adalah subyek aturan internasional serta bisa melaksanakan hak dan kewajiban internasional. PBB mempunyai kapasitas buat mempertahankan haknya serta mengajukan tuntutan internasional.
  2. Dalam ICJ Advisory Opinion in Interpretation of the Agreement of 25 March 1951, between WHO and Egypt pada tahun 1980. Mahkamah Internasional menaruh pendapat bahwa : Organisasi Internasional adalah subyek hukum internasional, sebagai akibatnya terikat sang kewajiban-kewajiban yg terletak padanya dari general rule pada hukum internasional, Konstitusi juga Perjanjian-perjanjian yang dibuatnya. Kedudukan organisasi internasional sebagai subyek yang mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional sudah dilembagakan pada Konvensi Internasional. Pada tanggal 21 Maret 1986, masyarakat internasional sudah menyepakati Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional antara Negara-negara menggunakan Organisasi Internasional dan atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention of 1986 on the Law of Treaties between States and International Organisations or between International Organisations). Disepakatinya Konvensi Wina pada tahun 1986 ini mencerminkan yg definitif mengenai kapasitas organisasi internasional buat menciptakan perjanjian internasional; yg berarti juga pengakuan atas kedudukan organisasi internasional menjadi subyek hukum internasional.

Kesatuan Bukan Negara (Non State Entities)

  Di samping negara, individu dan organisasi internasional, dewasa ini terdapat kenyataan baru berupa kesatuan-kesatuan bukan negara (Non States Entities) yang kiranya pula wajib dipertimbangkan menjadi salah satu subyek dari sistem aturan internasional terbaru. Kesatuan bukan negara ini misalnya adalah sekelompok orang yg melakukan gerakan perlawanan terhadap pemerintahan nasional suatu negara serta telah membangun organisasi sedemikian rupa sebagai akibatnya mereka sudah sebagai suatu kesatuan organisasi tetapi bukan adalah sebuah negara. Gerakan-gerakan perlawanan yang adalah kesatuan bukan negara (Non State Entities) ini pada dalam melakukan perjuangannya melawan pemerintahan nasional pula menggunakan cara-cara kekerasan terorganisir, atau angkatan bersenjata. Di pada melakukan perjuangannya ini, gerakan-gerakan perlawanan yg adalah kesatuan bukan negara (Non State Entities) ini pula wajib taat serta terikat pada ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Dalam konteks Indonesia Pemerintah Indonesia sudah membuat kesepakatan menggunakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan pihak GAM yg tertuang pada Memorandum of Understanding tanggal 15 Agustus 2005 tersebut sudah mengakhiri gerakan perlawanan dengan menggunakan kekerasan terorganisir yang dilakukan GAM terhadap Pemerintah Indonesia selama lebih kurang tiga dekade.

EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL


Pengertian Negara secara Umum

  Dalam warga internasional dikenal adanya aneka macam jenis dan sebutan Negara. Tentunya yang perlu menerima penegasan pertama adalah pengertian negara itu sendiri. Walaupun nir mudah buat mendapatkan pengertian negara yang sempurna, karena negara itu bisa dicermati berdasarkan banyak sekali segi disiplin ilmu. Seperti misalnya Logemann mengatakan bahwa negara adalah organiasasi kemasyarakatan yg bertujuan menggunakan kekuasaannya mengatur dan menyelenggarakan sesuatu rakyat. Menurut Mr. Soenarko, negara merupakan organisasi masyarakat yang mempunyai wilayah atau teritori tertentu, di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya menjadi sovereign. Sedangkan Hans Kelsen, bahwa negara merupakan suatu kesatuan ketentuan aturan yang mengikat sekelompok individu yang hidup dalam daerah tertentu. Oleh karena itu, dalam goresan pena ini tidak akan dibicarakan pengertian negara secara generik, melainkan akan dibahas pengertian negara pada kerangka ilmu aturan, khususnya hukum internasional.

Macam-macam Negara pada Masyarakat Internasional

  1. Negara Federal dan Negara Konfederensi
  2. Negara Kondominium
  3. Negara Anggota Persemakmuran
  4. Negara-negara yang belum berpemerintahan
  5. Negara Perwalian
  6. Negara Mikro
  7. Negara Netral

Negara menjadi Person Internasional

Tinjauan negara secara teoritis

  Sebagaimana disebutkan pada atas, bahwa negara merupakan galat satu subyek hukum internasional. Berdasarkan liputan sejarah, Negara adalah subyek aturan internasional yg pertama dan primer. Keberadaan negara dalam kerangka hukum internasional dapat dipandang secara teoritis maupun secara yuridis. Tinjauan secara teoritis tentang keberadaan negara pada kerangka aturan internasional artinya memahami pendapat menurut berbagai sarjana tentang negara. Sedangkan tinjauan secara yuridis maksudnya adalah tahu keberadaan negara menggunakan berlandaskan dalam ketentuan hukum internasional.
  Menurut Fenwick, Negara dalam konteks hukum internasional merupakan suatu rakyat politik yang terorganisir secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup pada batas-batas daerah tadi, bebas berdasarkan supervisi negara kain, sehingga bisa bertindak menjadi badan yg merdeka pada muka bumi.
  Menurut Moore, bahwa suatu negara pada bawah hukum internasional, bila sejumlah insan secara permanen berdiam pada suatu wilayah tertentu, sedangkan mereka disebabkan oleh aturan kebiasaan dan istiadat tata cara yg sama, saling terikat sebagai satu kesatuan politik, sebagai akibatnya melalui suatu pemerintah yang tersusun melakukan kedaulatan yg bebas dan menjalankan pengawasan atas orang-orang serta benda-benda dalam wilayahnya serta sanggup buat mengadakan perang serta tenang juga buat mengadakan hubungan-hubungan internasional menggunakan warga lain di dunia.
  Oppenheim-Lauterphacht memberikan citra secara singkat mengenai unsur-unsur yang wajib dimiliki sang suatu rakyat politik agar dapat dianggap menjadi negara adalah :
  1. Harus ada warga , yaitu formasi insan menurut kedua jenis kelamin yg hayati bersama sebagai akibatnya merupakan suatu rakyat, meskipun mereka ini mungkin berasal berdasarkan keturunan yg berlainan, menganut kepercayaan yg berlainan ataupun warna kulit yang berlainan;
  2. Harus ada wilayah, pada mana masyarakat tersebut menetap. Tidak krusial apakah daerah yang didiami itu luas atau sempit;
  3. Harus ada pemerintahan, yaitu seseorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat, serta memerintah berdasarkan aturan negaranya. Suatu masyarakat yang anarchitis bukan termasuk negara;
  4. Pemerintah yang berdaulat (sovereign). Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi yg merdeka berdasarkan pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Dalam arti sempit kedaulatan berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik pada dalam juga keluar batas-batas negeri,
  Menurut Brierly, suatu negara baru itu menjelma jika suatu masyarakat mempunyai, bukan buat sementara tetapi menggunakan kemungkinan tetap yg lumrah, unsur-unsur esensial menurut suatu negara, yaitu suatu pemerintahan yg tersusun, daerah yang eksklusif, serta tingkat kebebasan berdasarkan pengawasan negara lain, sebagai akibatnya sanggup buat melakukan sendiri interaksi-interaksi internasionalnya.
  Berdasarkan tinjauan secara teoritis tadi, dapat dikatakan bahwa suatu negara dalam arti aturan internasional merupakan sekelompok individu dalam masyarakat yang mengorganisir diri dalam suatu pemerintahan yang bebas (bebas buat mengatur dirinya sendiri dan bebas dari impak negara lain pada mengadakan hubungan internasional), dimana mereka itu tinggal pada wilayah eksklusif.

Tinjauan negara secara yuridis

  Melihat negara dari segi yuridis dimaksudkan buat mengetahui adakah ketentuan hukum internasional yg mengatur tentang kualifikasi tertentu yang wajib dipenuhi bagi suatu organisasi kemasyarakatan buat diterima sebagai negara menjadi subyek hukum internasional.
  Dari sekian poly perjanjian internasional, hanya ada satu perjanjian internasional yg dengan tegas menyebutkan suatu kualifikasi yang harus dipenuhi sang suatu organisasi kemasyarakatan buat mampu dianggap negara sebagai person of international law atau menjadi subyek hukum internasional. Perjanjian internasional yang dimaksud adalah Montevideo Convention on Rights and Duties of State of 1933 atau sering diklaim Konvensi Montevideo 1933. Pasal 1 Konvensi tersebut menyatakan : 
The State as person in international law should posseses the following qualifications; a) a permanent population; b) a defined territory; c) a government; and d) a capacity to enter into relations with other states.
  Jadi bagi organisasi kemasyarakatan yg menamakan dirinya menjadi negara, serta buat bisa dikatakan negara menjadi subyek hukum internasional secara yuridis haruslah memenuhi kualifikasi terdapat penduduk tetap, wilayah yang ditetapkan, mempunyai pemerintahan, dan memiliki kemampuan buat mengadakan hubungan menggunakan negara lain. Konvensi tidak mensyaratkan jumlah penduduk minimal, berapa luas minimal daerah, apa bentuk pemerintahannya, dan berapa mampunya mengadakan hubungan dengan negara lain. Yang krusial keempat syarat tersebut harus ada bagi suatu organisasi kemasyarakatan yg diklaim negara, dan negara menjadi subyek aturan internasional. 
  Oleh Starke dikatakan, bahwa ciri keempat yaitu a capacity to enter into relations with other state merupakan syarat yang paling penting bila dibandingkan menggunakan syarat yg lain. Sebab ciri ini yg membedakan negara dalam arti hukum internasional dengan kesatuan kemasyarakatan pada bawah negara, seperti anggota-anggota federasi, protektorat yg pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan buat mengadakan hubungan menggunakan negara lain. Ditegaskan lebih lanjut sang Hingorani, bahwa unsur a capacity to enter into relations with other state, bukan saja krusial, namun merupakan unsur yg harus ada bagi suatu negara buat memperoleh keanggotaan warga internasional dan subyek aturan internasional. Dengan unsur ini, negara tadi independen pada mengatur kasus-perkara dalam serta luar negerinya.
   Arti penting unsur a capacity to enter into relations with other state, disamping buat membedakan dengan kesatuan pada bawah negara, juga penting untuk melihat dampak yg terjadi jika ada perubahan atas unsur tersebut. Bila yang berubah unsur jumlah penduduk, luas daerah atau perubahan bentuk pemerintahan tidak akan berpengaruh pada keberadaan negara sebagai person internasional. Tetapi, jika terjadi perubahan dalam unsur a capacity to enter into relations with other state, misalnya tadinya negara tersebut memiliki kemampuan atau independen dalam mengadakan hubungan dengan negara lain, lalu menjadi tidak bisa atau nir independen, maka keberadaan negara tersebut sebagai person internasional akan diragukan.
  Sebagai model, negara yang mempunyai kemampuan a capacity to enter into relations with other state merupakan Israel. Israel adalah negara yg adalah subyek aturan internasional yang tidak mempunyai unsur wilayah agar dapat dikatakan menjadi negara sebagai subyek hukum internasional, tetapi lantaran Israel mempunyai kondisi a capacity to enter into relations with other state, maka Israel ditetapkan sebuah negara sebagai subyek hukum internasional. Sehingga keberadaannya pun di akui sang masyarakat internasional.

Hak dan Kewajiban Dasar Negara

  Sebagaimana diketahui, bahwa aturan internasional mengatur hubungan antar subyek hukum internasional, utamanya hubungan antar negara. Hubungan antar negara disamping tunduk pada aturan internasional jua harusmemperhatikan doktrin-doktrin yg terkait. Beberapa doktrin berkaitan dengan Negara dalam masyarakat internasional antara lain :

Doktrin Hak-hak serta kewajiban-kewajiban dasar negara

Dalam setiap aturan, termasuk hukum internasional mengandung hak dan kewajiban. Beberapa hak dan kewajiban negara menjadi anggota masyarakat internasional yg seringkali dianggap-sebut antara lain:
  1. Hak kemerdekaan
  2. Hak kesederajatan
  3. Hak menjalankan jurisdiksi territorial
  4. Hak buat membela diri atau mempertahankan diri
Sedangkan beberapa kewajiban dasar negara yg sering dianggap-sebut diantaranya :
  1. Tidak melakukan perang
  2. Melaksanakan treaty dengan etikat baik
  3. Tidak melakukan intervensi

Kemerdekaan serta Kedaulatan Negara

  Negara merdeka memiliki kedaulatan atas rakyat negaranya serta urursan-urusannya pada batas-batas wilayahnya. Menurut Max Hubber, kedaulatan pada interaksi antar negara-negara menerangkan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan menggunakan suatu bagian dari muka bumi ini merupakan hak buat menjalankan fungsi-fungsi negara, tanpa campur tangan negara lain. Kedaulatan yg dimiliki negara dewasa ini mempunyai arti lebih sempit daripada kedaulatan yg dimiliki oleh negara-negara dalam jaman abad ke-18 dan 19. Keterbatasan ini disebabkan karena keterikatan/keanggotaan negara tadi dalam aneka macam aktivitas pada masyarakat internasional. Sehingga dikatakan bahwa kedaulatan negara dewasa ini tinggal sisi (residuun) dari kekuasaan yg dimilikinya pada batas-batas yang ditetapkan dalam Hukum Internasional.
  Hakikat kemerdekaan negara merupakan adanya hak-hak dan kewajiban yang inheren dalam negara yg bersangkutan pada hubungannya menggunakan negara lain. Hak-hak tadi diantaranya :
  1. Kekuasan tertentu atas urusan pada negerinya
  2. Kekuasaan untuk menerima atau mengusir orang asing
  3. Hak istimewa bagi perutusan diplomatiknya pada negara lain
  4. Yurisdiksi tunggal atas kejahatan yang dilakukan di wilayahnya
Contoh-contoh kewajiban yang mengikat negara adalah :
  1. Tidak menjalankan tindakan kedaulatan pada daerah negara lain. Kasus : Adolf Eichman, Corfu Channel Case
  2. Mencegah rakyat negaraya melakukan tindakan yg melanggar kemerdekaan serta kedaulatan wilayah negara lain. Kasus : Pembunuhan Raja Alexander menurut Yugoslavia 1934
  3. Tidak mencampuri urusan negara lain.

Doktrin Intervensi

  Suatu tindakan negara termasuk suatu tindakan intervensi (campur tangan) serta termasuk tindakan yang dilarang pada hukum internasional, jika tindakan tersebut. 1) bertentangan dengan kehendak negara dan dua). Mengurangi kedaulatan negara. Menurut Mahkamah Internasional suatu tindakan intervensi adalah menyangkut urusan yang seharusnya diputus sendiri secara bebas, serta campur tangan dilakukan secara paksa atau kekerasan. Adapun beberapa bentuk hegemoni yg dilarang dalam aturan internasional, seperti :
  1. Intervensi intern, yaitu mencampuri urusan dalam negeri suatu negara
  2. Intervensi ekstern, yaitu mencampuri urusan luar negeri suatu negara
  3. Intervensi penghukuman, melakukan tindakan campur tangan sebagai tindakan pembalasan (reprisal) secara damai.
  4. Intervensi subversive, yaitu mencampuri urusan negara lain menggunakan jalan melakukan propaganda guna menyulut adanya perang saudara
  Namun nir semua campur tangan menurut pihak ketiga itu dihentikan. Ada bentuk-bentuk hegemoni yang diperkenankan dalam aturan internasional, seperti :
  1. Intervensi kolektif berdasarkan Bab VII Piagam PBB
  2. Intervensi buat melindungi masyarakat negara
  3. Intervensi dalam rangka membela atau mempertahankan diri
  4. Intervensi dalam urusan protektorat
  5. Intervensi pada rangka pelanggaran berat Perjanjian Internasional
  Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Pasal 2 (4) jo. Pasal dua (7) Piagam menyatakan bahwa setiap negara buat nir ikut campur tangan urusan domestik suatu negara, kecuali sebagaimana diatur dalam Bab VII Piagam. Tetapi pasal tersebut telah menyebabkan penafsiran yang berbeda antara gerombolan negara-negara Barat dan negara-negara non Barat. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka Majelis Umum PBB pada tahun 1965 mengeluarkan pernyataan, yang isinya diantaranya :
  1. Tidak terdapat satu negarapun yg mempunyai hak buat turut campur tangan, secara pribadi atau tidak eksklusif, menggunakan alasan apapun pada urusan internal atau eksternal suatu negara.
  2. Bahwa setiap negara memiliki hak yg nir dapat diganggu gugat untuk menentukan sistem politik, ekonomi, sosial serta budanyanya dan
  3. Bahwa semua negara harus menghormati hak memilih nasib sendiri serta kemerdekaan rakyat dari suatu negara.

Doktrin Kesederajatan

   Doktrin kesederajatan (doctrine of the equality of state) adalah ajaran menurut kaum naturalis, yg maknanya, bahwa secara alami bangsa itu dilihat sebagai individu yg bebas. Keberadaan doktrin ini lalu mendapatkan pengaturan pada :
  1. Pasal 1 (2), Pasal dua (1) Piagam PBB,
  2. Prinsip Hukum Internasional Tentang Hubungan Bersahabat & Kerjasama Internasional 1964,
  3. Deklarasi MU 1970 “The Principlesof Sovereign Equality of State
  4. Deklarasi MU 1974 Tentang Pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru, khususnya pada pasal 4 (a).
   Tetapi, pada interaksi internasional sebenarnya kesederajatan hanya memiliki arti dalam bidang aturan, nir pada bidang politik. Ingat akan Hak Veto di Dewan Keamanan PBB (Silahkan baca Hak Veto Dewan Keamanan PBB di goresan pena saya di blog ini)

Doktrin Hubungan Bertetangga Antarnegara

  Maksudnya, suatu negara dihentikan menggunakan wilayahnya yg dapat merugikan atau mengancam kepentingan negara lain. Ajaran ini ditemukan pada beberapa dokumen dan keputusan Pengadilan Internasional seperti :
  1. Pasal 4 Draft deklarasi tetang Hak dan Kewajiban Negara, yg dibentuk oleh Internasional Law Commisio tahun 1946
  2. Kasus Yunani, 1946-1949
  3. Tral Smelter Cases, 1941
  4. Corfu Channel Cases, 1949
  5. Pasal 24 Piagam PBB
Doktrin ini erat kaitannya menggunakan doktrin hidup berdampingan secara hening.

Doktrin Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-determination)

Hak ini telah mendapat pengakuan pada beberapa instrumen internasional, misalnya :
  1. Resolusi MU 1958 tentang Penentuan Nasib Sendiri (Resolution of Self Determination)
  2. Resolusi MU No. 1514 (XV) tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri-negeri dan Rakyat-warga Jajahan, tahun 1960
  3. Covenan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial serta Budaya, 1966
  4. Covenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966
Self-determination mencakup sejumlah kewajiban yang mengikat negara-negara termasuk kewajiban buat mendorong dilakukannya tindakan merealisasikan hak penentuan nasib sendiri, baik melalui kerjasama maupun tersendiri, dan menyerahkan kekuasaan pada masyarakat yg berhak atas hak ini serta kewajiban buat menghindari tindakan pemaksaan yang dinilai merintangi rakyat menikmati hak ini.

Daftar Pustaka

Pengantar Hukum Internasional (diterbitkan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011).

Demikian goresan pena dari saya mengenai hukum internasional "subyek hukum internasional serta keberadaan negara dalam warga internasional" semoga berguna untuk pembaca sekalian.

salam, def+

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel