POLITIK HUKUM PASCA REFORMASI PEMILU 1999 PEMILU 2004 DAN MENURUT UU NO 2 TAHUN 2008

       Setelah Indonesia merdeka dalam tanggal 17 Agustus 1945, perubahan-perubahan terjadi pada segala bidang, khususnya pada bidang politik terjadi adanya perubahan kesempatan buat berpartai politik. Kalau dalam masa penjajahan, partai politik banyak diperhangus maka sehabis merdeka pemerintah dengan Maklumat Presiden No. Tiga Tahun 1945 memberikan kesempatan pada masyarakat yg seluas-luasnya buat mendirikan partai politik. Namun perjalanan selanjutnya, politik aturan kepartaian mengalami pasang surut terutama sesudah reformasi dimana keliru satu tuntutan reformasi merupakan penegakan hak asasi insan dan demokratisasi dalam segala bidang. 

      Sesuai dengan judul tadi pada atas, yaitu Politik Hukum Kepartaian pada Era Reformasi serta Hal-hal Penting yang Perlu direkomendasikan, yg menjadi kasus adalah bagaimana politik aturan kepartaian pada era reformasi serta catatan-catatan apa yang perlu buat pengembangan partai politik di Indonesia ke depan. Untuk membahas perkara tadi, akan dibahas terlebih dahulu kasus bagaimana politik hukum kepartaian selama Orde Lama, politik hukum kepartaian dalam masa Orde Baru, serta politik hukum kepartaian dalam masa Reformasi. Khusus buat politik aturan kepartaian era reformasi akan dibahas, masa reformasi 1998 sampai dengan pemilu 1999 dari UU No. Dua Tahun 1999, masa pemilu 2004 berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002 serta masa pemilu 2009 berdasarkan UU No. Dua Tahun 2008. Berdasarkan pengalaman kepartaian tadi juga akan disampaikan catatan-catatan yang patut buat dijadikan kebijakan politik aturan kepartaian dan kehidupan partai politik ke depan.

Politik Hukum Pasca Reformasi



1.  Politik Hukum Kepartaian Pasca Pemilu 1999

Atas dasar undang-undang politik baru yang bercirikan adanya kebebasan politik terutama adanya kebebasan mendirikan partai politik, pemilu di era reformasi diadakan dalam lepas 7 Juni 1999. Hingga akhir Maret 1999 dapat didata adanya 180 partai politik menggunakan beraneka ragam ciri serta dari-usul. Dari 180 partai yg sebagai peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik.
Beberapa hal penting berkaitan dengan politik hukum pada UU No. Dua Tahun 1999:

A.  Syarat-kondisi pembentukan partai politik 
(1)  Pasal 2 Ayat (1)) sekurang-kurangnya 50 orang masyarakat negara RI yang sudah berusia 21 tahun bisa membangun partai. 

(dua) Pasal 2 Ayat (2) Partai politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memenuhi kondisi:
  1. mencantumkan Pancasila menjadi dasar Negara berdasarkan negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai;
  2. asas atau karakteristik, aspirasi dan acara partai politik nir bertentangan menggunakan Pancasila;
  3. keanggotaan partai politik bersifat terbuka buat setiap rakyat negara republik Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih;
  4. partai politik nir boleh menggunakan nama atau lambang yg sama menggunakan lambang negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, perorangan, dan nama serta lambang negara partai lain yang sudah terdapat.

(3) Pasal tiga: Pembentukan partai politik nir boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Persyaratan Pasal 2 Ayat (1) tersebut pada atas sangat ringan sekali, sangat jauh dibanding aturan sebelumnya yang memang dibatasi hanya 2 partai serta golongan karya.

B.  Kepengurusan Partai

      Pasal 11: Partai politik bisa menciptakan kepengurusan di:
  1. Ibu Kota Negara Republik Indonesia buat pengurus tingkat sentra;
  2. Ibu Kota Propinsi buat pengurus daerah taraf I;
  3. Ibu Kota Kabupaten/Kotamadya untuk pengurus wilayah tingkat II;
  4. Kecamatan buat pengurus tingkat kecamatan;
  5. Desa/kelurahan buat pengurus tingkat desa/kelurahan.

     Ketentuan Pasal 11 sub d dan e tersebut sebelumnya nir terdapat karena Pemerintah Orba membatasi kepengurusan sampai wilayah taraf II (UU No. Tiga Tahun 1975), sedang untuk tingkat Kecamatan dan Desa hanya ditunjuk seorang komisaris menjadi pelaksana pengurus daerah taraf II dan bukan pengurus yang berdiri sendiri.

     Penetapan Hasil Pemilu (lihat Pasal 67 dan 68 UU No. Dua Tahun 1999). Disini sama dengan aturan lama yaitu berdasarkan nomor urut dan pimpinan partai sangat menentukan calon jadi.

   Pemilu 1999 diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan asas amanah, adil, pribadi, generik, bebas, serta rahasia.(UU. No 3 Tahun 1975 mengenai Partai Politik serta Golongan Karya). Hasil pemilu Juni 1999 meskipun jauh dari paripurna dapat dikatakan menjadi pemilu yang demokratis, amanah dan adil. Dapat juga dikatakan hampir seperti menggunakan pemilu yg diselenggarakan pada tahun 1955 dalam arti merupakan sebuah pemilu yang hiruk pikuk diikuti sang peserta pada jumlah banyak, tetapi berlangsung cukup lancar tanpa terdapat konflik-perseteruan yg berarti.

     Catatan: dibalik kesuksesan tersebut sebenarnya ada ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas anggota legislatif terpilih:
  • Rakyat hanya memilih pertanda gambar, bukan nama caleg;
  • Calon legislatif yg terpilih ditentukan sang pimpinan partai dan dari angka urut. 

     Sehingga representasi keterwakilan warga sebagai pemegang kedaulatan masih belum tercermin pada pesta demokrasi tahun 1999 ini

Politik Hukum Kepartaian pada Pemilu 2004

Dalam menghadapi pemilu 2004 (menjadi konsekuensi amandemen Undang-Undang Dasar 1945) pemerintah bersama DPR membuat UU bidang politik yg baru, yaitu:
  1. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;
  2. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, serta DPRD;
  3. UU No. 23 Tahun 2003 mengenai Pemilu Presiden serta Wakil Presiden;
  4. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam UU No. 31 Tahun 2002 diatur beberapa hal yang sifatnya membina partai politik ke arah yang lebih baik dari aturan sebelumnya (UU No. Dua Tahun 1999). Diantaranya adalah:
  1. Pembentukan partai (Bab II Pasal dua ayat (tiga)b serta d)
  2. Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 persen menurut jumlah propinsi, 50 % dari jumlah kabupaten atau kota yg bersangkutan
  3. Mempunyai kantor permanen.

UU No. 31 tahun 2002 menyadari bahwa buat kemajuan kehidupan partai politik yang sehat, maka perlu ditata melalui diaturnya persyaratan pembentukannya, baik melalui ketentuan yg bersifat kualitatif maupun kuantitatif yg ditunjang juga sang adanya sistem serta proses aplikasi pemilihan umum secara memadai. (Arif Hidayat, 2006: 182).

Politik hukum undang-undang ini menghendaki dihasilkannya sistem multipartai sederhana dengan tujuan agar agar diwujudkan kolaborasi partai-partai politik menuju sinergi nasional. (Arif Hidayat, 2006: 182).

Politik Hukum Kepartaian dalam UU No. Dua Tahun 2008

Dibanding UU No. 31/2002, maka UU No. Dua Tahun 2008 ini juga ada peningkatan pembinaan atau arahan ke depan terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada:
  • Bab II Pasal dua ayat (2): Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyerahkan 30 % keterwakilan perempuan .
  • Bab II Pasal dua ayat (lima): Kepengurusan partai politik taraf sentra sebagaimana dimaksud ayat (tiga) disusun dengan menyertakan paling rendah 30 % keterwakilan perempuan .
  • Pasal tiga ayat (2)d :Kepengurusan paling sedikit 60 % berdasarkan jumlah propinsi, 50 % dari jumlah kabupaten/kota dalam setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25 % berdasarkan jumlah kecamatan dalam setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.
  • Pasal tiga ayat (2)e: Memiliki rekening atas nama partai politik.
  • Bab IV Asas dan Ciri Pasal 9 ayat (3): Asas dan karakteristik partai politik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 serta ayat 2 merupakan penjabaran dari Pancasila serta Undang-Undang Dasar RI 1945.
  • BAB VI Hak dan Kewajiban Pasal 13 ayat (j): Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum.
  • Pasal 13 ayat (k): Menyosialisasikan acara partai politik pada warga .

Dari ketentuan tersebut, tampak bahwa pendirian suatu partai politik hendaknya disiapkan secara matang. Partai politik nir hanya sekedar indera tumpangan buat mencari kekuasaan. Orang/sekelompok orang tidak dengan gampang mendirikan partai politik perlu adanya perencanaan keuangan partai sehingga partai harus mempunyai rekening atas nama partai politik. Juga ditekankan adanya keterwakilan wanita pada pendirian maupun kepengurusan partai politik minimal 30 %. Partai politik mempunyai kewajiban mensosialisasikan program partai politik kepada masyarakat, supaya nir sekedar teriak-teriak atau mengumbar janji dalam saat kampanye menghadapi pemilu, tentunya acara tersebut harus disosialisasikan secara terorganisir, terprogram serta sistematis agar masyarakat nir keliru menentukan pilihan partai politik mana yg baik.

Penutup : 
  1. Pada awal kemerdekaan, berdasarkan Maklumat Presiden No. 3 Tahun 1945, masyarakat diberi kebebasan buat mendirikan parpol, bahkan asas parpol pun nir dipengaruhi sebagai akibatnya terjadi ada partai komunis yang ideologinya bertentangan dengan asas ideologi Pancasila pun bisa hayati di Indonesia. Realitas PKI telah memberontak 1948 dan 1965. Masa ini Indonesia menganut sistem multipartai.
  2. Dengan multipartai, Indonesia mengadakan pemilu pertama tahun 1955. Pelaksanaan dan hasilnya berjalan lancar, tertib serta baik. Ini mendeskripsikan bahwa walaupun multipartai asalkan warga mentaati aturan dengan baik, maka pemilu bisa berjalan menggunakan baik.
  3. Setelah Dekrit Presiden lima Juli 1959 terjadi delegitimasi parpol. Kekuasaan presiden menggunakan sistem demokrasi terpimpin menjadi sangat mayoritas. Parpol terkooptasi sebagai 3 grup, yaitu nasionalis, agamis, serta komunis (dikenal dengan selogan nasakom).
  4. Pada awal Orde Baru, Pemerintah menerapkan sistem multipartai, ini sanggup dipandang dengan ikut sertanya 10 parpol dalam pemilu tahun 1971 (9 parpol dan 1 golongan karya). Dengan strategi Presiden Soeharto maka tanggal 10 Januari 1973, kelompok nasionalis (PNI, IPKI, MURBA, Parkindo, dan Partai Katolik) sebagai Partai Demokrasi Indonesia, sedangkan grup agamis (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan dalam tanggal 13 Pebruari 1973. Sejak ketika itu, Indonesia hanya terdapat 2 parpol serta 1 golkar. Pemerintah tidak memberi peluang buat berdirinya parpol baru. Hak asasi masyarakat negara buat mendirikan parpol tidak terdapat. Bahkan keberadaan dua parpol itu dikebiri. Ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas pada organisasi partai politik dan kemasyarakatan.
  5. Setelah Reformasi tanggal 21 Mei 1998, sejalan dengan tuntutan reformasi, Presiden Habibie membuka kebebasan mendirikan parpol sehingga sejak tahun 1998 mulailah era multipartai. Hak asasi insan buat berserikat dan berkumpul benar-sahih terwujudkan. Pelaksanaan pemilu tahun 1999 secara generik berjalan menggunakan baik. Keterwakilan parpol pada DPR dibatasi 2 % menurut jumlah anggota DPR.

Ada kekecewaan berdasarkan masyarakat:
  1. Persyaratan mendirikan parpol yang masih longgar sehingga banyak memunculkan parpol yang sekedar alat tunggangan buat mencari kekuasaan, masih jauh berdasarkan kualitas yg diperlukan.
  2. Caleg jadi masih menurut nomor urut dan kebijakan pimpinan parpol.
  3. Pemilihan Presiden dan wapres belum secara langsung.
  4. Berlakunya UU No. 31 Tahun 2002 ada lagi beberapa partai baru, walaupun pendirian partai politik sudah ditambah persyaratannya.

Pemilu 2004 diikuti 24 parpol. Penentuan caleg yg jadi masih menurut nomor urut dan jua tergantung kebijakan pimpinan parpol. Pembatasan keterwakilan parpol pada DPR masih 2%. Pelaksanan UU No. Dua Tahun 2008, persyaratan pendirian parpol ditingkatkan. Walaupun demikian permanen ada parpol baru yang cukup poly sebagai akibatnya pemilu 2009 diikuti 42 parpol. Penentuan caleg yang jadi nir berdasarkan nomor urut tetapi menurut suara terbanyak yang diperoleh caleg yang bersangkutan (putusan MK tahun 2009). Beberapa kelemahan atau duduk perkara yang muncul dalam pemilu 2009:
  1. Partai peserta pemilu yang poly memerlukan biaya yang akbar lantaran memerlukan sarana administrasi yg besar .
  2. Proses administrasi serta perhitungan suara yang rumit dan menimbulkan aneka macam persengketaan pemilu, menjadi model penggunaan elektro dengan biaya mahal tetapi nir memuaskan. Perhitungan elektro, pemuas yang nir memuaskan.


Diolah dari asal :

Khoirudin. 2004. Partai Politik serta Agenda Transisi Demokrasi, Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajajar

Hidayat, Arif. 2006. Kebebasan Berserikat di Indonesia. Semarang : UNDIP


def+

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel