KEDAULATAN NEGARA ATAS WILAYAH BAGIAN AKHIR KEDAULATAN NEGARA ATAS WILAYAH UDARA / RUANG ANGKASA

Kedaulatan Negara atas Wilayah Ruang Udara dan Wilayah Ruang Angkasa



Pengertian Ruang Udara serta Ruang Angkasa

    Pembedaan ruang udara dan ruang angkasa disamping menyangkut aspek geografis jua menyangkut kegiatan insan di atas permukaan bumi. Menyangkut aspek geografis, maka yg disebut menggunakan Ruang Udara (air space) adalah ruang pada atas permukaan bumi atau atmosfir yg masih didapati unsur-unsur gas yang disebut udara. Sedangkan yg dimaksud dengan Ruang Angkasa (Outer Space) adalah ruang di atas permukaan bumi/atmosfer yang hampa udara dan benda-benda langit.

Pengertian Hukum Udara serta Hukum Angkasa

       Beberapa sarjana memberi pengertian mengenai hukum udara sebagai berikut, Menurut Nys, aturan udara merupakan aturan yg mengatur ruang udara dalam pemanfaatannya buat penerbangan. Diederiks-Verschoor, aturan udara adalah hukum yang terdiri berdasarkan semua norma-kebiasaan spesifik tentang penerbangan, pesawat udara dan ruang udara pada peranannya sebagai unsur yg perlu bagi penerbangan. Sedangkan dari Goedhuis yg dimaksud dengan hukum udara merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang berusaha menertibkan segala peristiwa pada ruang udara dan mengatur pemanfaatan ruang udara sebagai kepentingan penerbangan.

       Berdasarkan pengertian-pengertian tadi, dapat dikatakan bahwa hukum udara adalah sekumpulan norma atau peraturan yg berlaku dan mengatur aktivitas pada ruang udara pada kaitannya dengan aktivitas penerbangan dan eksistensi pesawat udara.

      Sedangkan pengertian aturan angkasa (Space Law) dari M. Lach merupakan aturan yang ditujukan buat mengatur interaksi antar negara-negara, buat memilih hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang muncul menurut segala kegiatan yang tertuju pada ruang angkasa serta di ruang angkasa. Priyatna Abdurrasyid secara singkat memberi pengertian hukum ruang angkasa adalah aturan yang mengatur segala kegiatan manusia yg bersangk paut menggunakan angkasa.

Prinsip Hukum yg Berlaku

(1)  Di Ruang Udara antara lain :
  • Prinsip utama : Pengakuan kedaulatan negara di ruang udara secara penuh serta eksklusif
  • Pengakuan nasionalitas pesawat udara
  • Penerbangan berjadwal atau nir berjadwal sine qua non ijin
  • Kebebasan terbang di bahari lepas
  • Kerjasama antar negara dalam bidang penerbangan

(2)  Di Ruang Angkasa diantaranya :
  • Prinsip primer : tidak berlaku kedaulatan negara
  • Larangan pemilikan atas ruang angkasa/benda-benda langit. Yang berlau atas benda-benda ruang angkasa merupakan hukum internasional
  • Setiap negara punya hak yg sama dalam menggunakan ruang angkasa. Setiap negara peluncur memiliki kewajiban buat memberitahukan benda-benda ruang angkasanya
  • Kebebasan melakukan penyelidikan atau penggunaan ruang angkasa
  • Hak berdaulat negara dilindungi
  • Berlaku prinsip tanggung jawab mutlak.


Sumber Hukum Udara serta Hukum Angkasa

       Hukum ruang udara serta hukum ruang angkasa merupakan bagian berdasarkan Hukum Internasional, sebagai akibatnya asal aturan yang berlaku bagi hukum internasional sebagaimana masih ada dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional pula berlaku bagi aturan ruang udara serta hukum ruang angkasa. Dewasa ini asal hukum primer hukum udara serta hukum angkasa merupakan perjanjian. Beberapa perjanjian internasional yang berlaku pada ruang udara diantaranya :
  1. Konvensi Paris 1919
  2. Konvensi Warsawa 1929
  3. Konvensi Chicago 1944
  4. Konvensi Roma 1952
  5. Protokol The Hague 1955
  6. Konvensi Guadalajara 1961
  7. Konvensi tentang Tindak Pidana Udara (Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, Konvensi Montreal 1971)
  8. Konvensi Interm Montreal 1966
  9. Protokol Guatemala 1971
  10. UNCLOS 1982
  11. Bilateral Air Transport Agreement (BATA)
  12. General Agreement on Trade in Services (GATS)

Sedangkan beberapa ketentuan internasional yg menjadi asal aturan serta berlaku di ruang angkasa antara lain :
  1. Res. MU No. 1348 (XIII) 1958
  2. Res. MU No. 1962 (XVIII) 1963
  3. Space Treaty 1967
  4. Rescue Agreement 1968
  5. Liability Convention 1975
  6. Registration Convention 1975
  7. Moon Agreement 1980


Perkembangan Kedaulatan Negara di Ruang Udara

Secara Teoritis

      Pada dasarnya, ruang udara tidak hanya semata-mata bisa dimanfaatkan bagi aktivitas penerbangan. Ruang udara dapat juga dimanfaatkan sebagai jalur-jalur frekuensi radio, yg sifatnya juga melintas batas antar negara. Sehingga diharapkan adanya kerjasama antar negara dalam pemanfaatan ruang udara menjadi jalur frekuensi radio. Tetapi, pada awal perkembangan aturan udara poly para sarjana dan negara-negara mempersoalkan pemanfaatan ruang udara bagi aktivitas penerbangan. Persoalan yang timbul pada waktu itu merupakan, bagaimana status ruang udara di atas wilayah udara suatu negara? Atau pada kaitannya menggunakan kegiatan penerbangan, penerbangan melalui ruang udara pada atas wilayah suatu negara bebas atau tidak?.

         Teori Pertama mengenai ruang udara adalah “Cujus est solum, ejust est usque ad coelum” merupakan, barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit serta segala apa yg berada di pada tanah. Di pihak lain muncul teori bahwa udara merupakan “res communis”. Munculnya teori yg demikian kemudian mengakibatkan berbagai tanggapan menurut para pakar, institusi terkait, dan negara-negara. Tanggapan-tanggapan itu diantaranya :


(a)  Joseph Kroell, sesuai dengan surat uang ditujukan ke Prancis : “Jerman haru diperlakukan sama dengan orang-orang yang menyeberang garis perbatasan negara lain pada darat”.

(b)  Konferensi Den Haag 1899 : “Larangan pendaratan peluru dan bahan peledak berdasarkan balon atau menggunakan alternatif yg sifatnya sama”.

(c)  Institut de Droit International 1902. Ada dua pandangan yang masuk tentang penggunaan ruang udara.

Pertama : bahwa udara merupakan bebas seluruh pihak, baik bagi penerbangan atau bagi keperluan hubungan telegraf
Kedua : Negara berdaulat atas udara yang berada di atasnya
Lembaga : Menerima kedua pandangan itu, yaitu ada kebebasan pada udara, akan namun terdapat hak negara buat membela diri demi mempertahankan keamanan negaranya
Konferensi : diterima pendapat tentang kedaulatan negara pada ruang udara, menggunakan ketentuan wajib juga diakui adanya hak lintas hening.

(d)  Commite on Aviation of the Internasional Law Association, 1913 : ada 2 kelompok akbar pandangan tentang status kepemilikan ruang udara :

Teori udara bebas (the air freedom theory)
  1. Kebebasan ruang udara tanpa batas
  2. Kebebasan ruang udara menggunakan adanya hak khusus menurut negara kolong
  3. Kebebasan ruang udara, dengan penentuan zona teritorial pada wilayah mana hak tertentu negara rongga di bawah rumah bisa dilaksanakan

Teori kedaulatan negara di ruang udara
  1. Negara kolong berdaulat penuh dengan ketinggian tertentu
  2. Negara kolong berdaulat penuh, dengan pembatasan hak lintas tenang (freedom of innocent passage) bagi pesawat udara asing
  3. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas

(e)  Jerman : negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara yang dapat dipakai pada atas daratan serta laut teritorialnya. Jerman nir mengakui adanya “right of innocent passage” pada ruang udara. Jerman hanya mengakui bahwa bagi negara anggota kesepakatan dibenarkan meningkatkan, menurunkan dan terbang melalui wilayah ruang udara negara anggota yg lain.

(f)  Perancis : ...air navigation is free... Bahwa Perancis mengakui bahwa melintas wilayah suatu negara memang diperbolehkan, tetapi Negara kolong boleh melakukan pembatasan atas lintas tersebut, misalnya :
  1. Larangan dalam ketinggian tertentu
  2. Larangan penerbangan di atas daerah benteng pertahanan/militer
  3. Larangan terbang yang sifatnya bertentangan menggunakan peraturan bea cukai
  4. Negara rongga di bawah rumah berhak melarang penerbangan melalui ruang udara pada atas wilayahnya
  5. Negara dapat menjalankan jurisdiksi atas insiden yg terjadi pada dalam penerbangan yang melewati wilayah negara rongga di bawah rumah.

(g)  Inggris : Bahwa pemilik tanah memiliki hak perdata pada ruang udara pada atasnya serta buat keseluruhannya negara mempunyai hak kedaulatan penuh terhadap ruang udara pada atasnya. Inggris nir mengakui adanya hak lintas hening bagi pesawat udara asing, misalnya halnya hak lintas hening bagi kapal bahari di laut teritorial.

Secara Yuridis

Pasal 1 Konvensi Paris 1919
Pihak penutup perjanjian mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang lengkap dan ekslusif (complete and exclusive) terhadap ruang udara di atas wilayahnya.
Konsekuensi pasal 1 tersebut, negara peserta konvensi dapat melakukan restriksi penerbangan pesawat udara negara lain yg bukan peserta kesepakatan , sebagaimana diatur dalam pasal 5 Konvensi Paris 1919. Jadi berlakunya kedaulatan lengkap dan ekslusif hanya bagi negara bukan peserta kesepakatan .

Pasal 5 Konvensi Paris 1919 :
Tiada satu negara peserta kecuali dengan izin spesifik serta ad interim sifatnya buat mengijinkan penerbangan diatas daerahnya oleh pesawat udara yang nir mempunyai kebangsaan menurut suatu negara peserta.
Dipihak lain, negara peserta kesepakatan memiliki hak melakukan lintas penerbangan secara hening (right of innocent passage) pada wilayah ruang udara negara peserta konvensi lain, tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari negara yg dilalui (Pasal 2). Sehingga, berlakunya pasal 1 tadi dibatasi sang ketentuan pasal 2, yaitu adanya hak lintas tenang bagi pesawat udara negara peserta kesepakatan .

Pasal 2 Konvensi Paris 1919 :
Masing-masing negara peserta melaksanakan pada ketika damai mendapat kebebasan lintas tenang di atas wilayahnya bagi pesawat udara milik negara peserta lain menggunakan syarat sebagaimana diatur pada kesepakatan . Peraturan yang dibuat sang negara peserta buat menaruh ijin masuk dalam daerah ruang udaranya pada pesawat udara negara peserta lain harus dilaksanakan tanpa membeda-bedakan kebangsaan.
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 :
The contracting States recoqnize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.
     Berbeda menggunakan pasal 1 Konvensi Paris, berlakunya Konvensi Chicago 1944 merupakan tanpa restriksi atau absolut. Artinya, dalam Konvensi Chicago 1944 nir dikenal/diatur masalah hak lintas damai pada ruang udara. Bahkan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 didukung oleh pasal tiga ayat 3, pasal lima dan 6.

Pasal 3 ayat tiga :
Tidak terdapat pesawat udara negara menurut negara penandatanganan dapat melintas pada wilayah ruang udara lain atau di atas daratan tanpa ijin berupa persetujuan khusus atau dalam bentuk lain, sesuai dengan kata yang dimaksud.
Pasal 5 : bagi penerbangan nir terjadual (non-scheduled) jua diharapkan ijin (bagi pesawat udara komersial/carteran)

Pasal 6 : ijin diharapkan bagi penerbangan terjadual (scheduled = bagi pesawat udara komersial)

Konsekuensi menurut kedaulatan ruang udara
  1. Melarang lintas pesawat udara asing melalui daerah ruang udara nasional, kecuali terdapat ijin dan adalah suatu pelanggaran bila memasuki wilayah ruang udara suatu negara tanpa ijin lebih dahulu, akibatnya dapat diusir.
  2. Menetapkan jalur-jalur udara yang dapat dilalui sang pesawat udara asing
  3. Menetapkan tempat udara terlarang
  4. Menjalankan yurisdiksi tertitorial.

     Adanya tindak memata-matai pada daerah ruang udara suatu negara, yaitu dengan melakukan pengamatan (observation) atau penyelidikan (surveillance) atau pengintaian (reconnaissance) merupakan tindakan ilegal.



Perkembangan Pengaturan pada Ruang Udara

     Pembentukan aturan ruang angkasa berdasarkan terutama pada hukum internasional dan kerjasama internasional. Oleh karenanya hukum internasional sangat berperan dalam pembentukan hukum ruang angkasa. Kegiatan eksplorasi serta eksploitasi ruang angkasa meliputi bidang yang sangat luas serta memiliki nilai krusial bagi setiap negara, sang karenanya negara-negara berusaha buat mengatur kegiatan tadi pada suatu pranata hukum.

      Badan internasional yg pertama didirikan menggunakan tujuan membangun kerjasama di bidang eksplorasi serta eksploitasi ruang angkasa adalah International Astronautical Federation (IAF). Badan ini didirikan pada awal tahun 1950. Badan internasional yang berbentuk federasi ini bertujuan buat mengarahkan perkembangan astronautika menuju ke arah perdamaian global, berbagi penelitian pada bidang astronautika serta segala bidang-bidang yang herbi itu, serta menaikkan kerjasama internasional dalam bidang tadi.

     Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri sudah memberi perhatian penuh terhadap eksplorasi serta eksploitasi ruang angkasa ini, yakni dengan dibentuknya “United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS)”, yang sidang pertamanya diadakan pada Wina, Austria 1968.

         Dalam bisnis mengantisipasi kemungkinan kontradiksi antar negara-negara berteknologi maju pada ruang angkasa, maka PBB pada tahun 1958 melalui sidang umumnya, sudah menerbitkan sebuah Resolusi, yakni Resolusi MU No. 1348 (XIII) tertanggal 13 Desember 1958 tentang Questions of the Peaceful uses of Outer Space. Disusul lalu dengan Resolusi MU No. 1962 (XVIII) mengenai Declaration of Legal Principles Governing the Activites of States in the Exploration and use oc Outer Space. Kedua Resolusi tersebut lalu sebagai landasan bagi sebuah perjanjian internasional di bidang ke ruang angkasaan, yaitu Treaty on Principles Concerning the Activities of States in the Exploration and use of Outer Space, including the Moon and other Celestical Bodies atau acapkali dikenal dengan Space Treaty 1967. Perjanjian internasional ini dikatakan menjadi ”Magna Carta” atau Piagam Utama tentang pengaturan ruang angkasa, termasuk benda-benda dan ruang angkasa, kewenangan negara dalam pemanfaatan ruang angkasa, hak serta kewajiban Negara pada pemanfaatan ruang angkasa.

      Kemudian disusul menggunakan perjanjian-perjanjian internasional lain yg kemudian menjadi sumber aturan ruang angkasa, yaitu :
  1. Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and Return of Objects Launch Into Outer Space (Rescue Agreement) 1968. Perjanjian ini pada dasarnya mengatur kerjasama Negara atau organisasi internasional sebagai peluncur dan negara pihak buat dapat segera menyelamatkan awak pesawat angkasa yang sudah mendarat pada bahari bebas atau di loka lain yg nir berada di bawah yurisdiksi negara manapun
  2. Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects (Liability Convention) 1972. Konvensi ini mengatur mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian-kerugian yg ditimbulkan sang “space objects” dan mekanisme pengajuan dan penyelesaian perkara-masalah yang berkaitan menggunakan formulasi sistem tanggung jawab dan prosedur kompensasi.
  3. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space (Registration Convention) 1976. Berdasarkan koonvensi ini, bagi setiap negara yg melakukan peluncuran atas benda langitnya berupa satelit berkewajiban buat mendaratkan sekertaris PBB menggunakan melaporkan secara rinci spesifikasinya, posisi orbitnya, kewajiban sekertaris PBB buat menciptakan daftar menurut space objects yang diluncurkan ke ruang angkasa.
  4. Agreement Governing the Activities of States on the Moon and other celestical Bodies (Moon Agreement) 1984. Pada dasarnya agreement ini mengatur tentang aktivitas negara di bulan serta benda-benda angkasa lainnya.

      Dengan adanya beberapa perjanjian pada bidang keruang angkasaan tersebut, UNCOPUOS berusaha mencari jalan yg paling sinkron supaya eksplorasi serta eksploitasi ruang angkasa dilakukan dengan cara-cara serta bisnis yang paling menguntungkan bukan saja bagi negara “Space Powers” akan namun pula memberi manfaat kepada negara-negara berkembang secara maksimal .

def+

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel