CERPEN CINTA SEDIH ASLI BAKALAN BUAT KAMU TERHARU PELANGI DI MATA SENJA

Pelangi Di Mata Senja

‘Senjaitu apa sih kak?’

‘Senja itu lembayung.. Langit indah saat sore,

tatanan surya kala memasukibelahan lain bumi. Senja itu latif.. Seperti dirimu…’


Baca Juga "Yang Terbuang Yang Terlalaikan"

 “Senja..seenjaaa!!” aku tersentak kaget mendengar teriakan itu. Tepat di telingaku. Akumenoleh serta melotot ke arah Ridwan yg menatapku jengkel.

“Apa sih?! Jangan teriak-teriak kenapa?!” pintaku kesal. Temanku yg satu inimemang sangat menyebalkan! Selalu saja berteriak-teriak di telinga orangseperti macan yang kelaparan.

Yang dibentak malah nyengir kuda, lalu dia duduk pada sebelahku. “Maaf-maaf!Jangan murka gitu dong! Aku kan hanya mau menyampaikan sebuah liputan baru!Lagipula, kamu juga, sih kerjaannya ngelamun mulu!” pungkasnya dengan mataberbinar, seolah penuh menggunakan penyesalan yg diapit kemunafikan!

“Berita apa?” tanyaku tanpa minat.

“Ada anak baru! Masuk kelas ini!” matanya bersinar menatapku.

Aku menghembuskan nafas, “Dia cewek?” tebakku tanpa memandangnya.

“He-em!” dia mengangguk cepat.

“Cantik?” tebakku lagi

“Ya!”

“Putih?”

“Siipp!!”

“Rambutnya panjang?”

“Oke!”

“Matanya indah?”

“Banget!”

“Bodinya…” istilah-kataku menggantung. Tidak mau meneruskanya.

“Keren dan.. Emmhh!” saya membekap mulutnya menggunakan cepat, sebelum dia mengatakankata-istilah yang tidak ingin kudengar.

“Kalau itu, mah.. Tipe cewek idamanmu, kurang pandai!” saya meliriknya kemudian mengambilbuku berdasarkan pada tasku dengan menggunakan tangan kananku.

Aku nir tertarik dengan pembicaraan ini. Sedikitpun nir. Ini memuakkan. Akuterbayang dalam kakakku lagi, ia mangkat setahun lalu padahal artinya penggantiibuku karena bahkan aku tidak pernah memanggil seseorang pun di dunia ini denganpanggilan ‘bunda’. Orang bernama ‘bunda’ itu sudah tiada bahkan waktu aku barubisa menciptakan gaduh tempat tinggal dengan tangisanku.

“Anak-anak!Ayo diam!” tiba-datang, guru agamaku sudah berdiri pada depan kelas. Di sampingnya,berdiri seorang cewek putih, berambut panjang serta entah saya bisa mengatakanbahwa matanya itu indah atau nir.

“Mmff.. Mmff!” aku baru menyadari bahwa tanganku masih berada pada ekspresi Ridwan.dia melotot ke arahku menggunakan muka merah.

“Oh.. Sorry! Gak nyadar!” saya eksklusif melepas tanganku berdasarkan mulutnya.

”Eh.. Dia anggun, kan?” dia melirik ke arah gadis di depan kelas, haluannyaberubah.

“Jangan memandangku misalnya itu! Jijik tau!” saya tersenyum mengejek padanya.

“Ayo, silahkan perkenalkan dirimu!” istilah Bu Erni kepada gadis itu. Yang disuruhmelangkah memalukan-memalukan ke depan.

“Nama saya..” beliau berhenti sejenak serta memandang berleliling. Entah ini hanyaperasaanku atau beliau memang melihatku lebih usang daripada yang lainnya?, “Namasaya Pelangi!”
DEG!! Jantungku berdetak jauh lebih cepat berdasarkan biasanya. Aku menunduk takpercaya. Aku tau beliau berkata hal lain lagi, tapi saya nir mendengarnya.antara sadar serta tidak, telingaku misalnya dibuat tuli olehnya. Sesak. Dadakuterasa sangat sesak!

Memoriku mulai berulah. Kepalaku pening. Bayangan masa lalu mengenai saudara tertua mulaimerangkak masuk lewat kilasan hitam pada depan mataku. Semakin usang, tergambarjelas sosok kakak yg sangat kusayangi. Kakakku Pelangi. Sedetik lalu,cerebellum-ku memprotes ekuilibrium tubuhku.
‘Kakak,akan baik-baik saja..’ kata saudara tertua pelan, menenggelamkanku pada mata teduhnya.

‘Kakak berjanji?’ tanyaku terisak. Aku menggenggam tangannya. Dia tersenyumlemah.

‘Kakak.. Boleh aku tanya sesuatu?’ aku menatap matanya.

‘Apa?’ Balasnya.

‘Senja itu apa sih, kak?’ matanya menerawang.

“Senja!! Senjaa!!”

“Ngh..” saya mendesah pelan serta mencoba untuk membuka mataku yg terasa berat.aku menatap lurus ke arah Ridwan yg memandangku menggunakan cemas.
Seminggusudah semenjak kejadian itu. Aku duduk termenung di sudut taman. Jujur saja, sejakkejadian itu saya trauma bertemu dengannya. Aku juga tidak tau apa yg telahterjadi padaku.

Walauterlihat tanpa alasan yg kentara, tetap saja aku gelisah tiap kali melihatnya.semakin hari, dia semakin mengingatkanku dalam kakakku. Menyebalkan! Ah.. Akumengacak-acak rambutku serta menggaruk-garuk kepalaku yg nir gatal.

“Senja!” sapanya sembari tersenyum. Aku mendongak serta memutar bola mataku,bersiap buat pergi menurut tempat ini.

“Eh, tunggu jangan pulang! Aku mengganggumu ya?”

“Sangat!” jawabku cepat.

“Maaf ya! Kenapa sih, kau sepertinya nir menyukaiku?”

“Aku bukan salah satu laki-laki di sekolah ini yang memujamu!” jawabku ketus.

“Oh ya? Aku tidak merasa misalnya itu!” pungkasnya pelan.
Aku menghembuskan nafas.

“Senja..” ia memanggil ragu. ”Aku tau kau tidak menyukaiku lantaran namaku, kan?”dia menatapku sedih.

“Lupakan! Pasti Ridwan yang sudah memberitahukanmu kan? Sudahlah! Malas akudisini bersamamu!” saya berjalan menjauh darinya menggunakan langkah cepat.
Bel pulang sekolah berdentangdengan keras. Aku sedang marahan dengan Ridwan. Jadi, beliau nir duduk disebelahku kini . Tentu saja seluruh ini lantaran gadis itu.
Akuberjalan keluar kelas, tetapi lagi-lagi langkahku terhenti. Memang, ini karenagadis itu akan tetapi, kali ini lain perkaranya karena kulihat beliau sedang diseret oleh3 orang siswi yg selalu menyebut diri mereka itu cantik serta selalu membuatkumuntah menggunakan gaya mereka yg menurutku norak! Sekarang, apa yang sedangmereka rencanakan menggunakan membawa gadis itu bersama mereka?

Ah, semenjak kapan saya sebagai begitu peduli pada gadis itu? Itu bukan urusanku!Tapi, kakiku sama sekali tidak sanggup kuajak buat menjauh dari sini. Sesenti punaku tidak mampu berpindah berdasarkan tempatku berdiri, sedangkan mataku terus memotretgerakan mereka setiap inci.

“Ehm..”aku berdehem keras begitu aku hingga di depan pintu gudang. Tentu saja akumelakukannya menggunakan sengaja.

“Se.. Senja?!” mereka bertiga dengan kompak membelalakkan mata.

“Mmm.. Para gadis yang menjijikkan! Mau nir apabila perbuatan yg kalianlakukan ini diketahui oleh ketua sekolah? Hukuman apa ya, yg pantasdiberikan kepada siswi yang senang melakukan kekerasan?” saya menatap merekadengan senyum menyindir. Tanganku beranjak perlahan ke pada saku celana.mereka menatapku ketakutan, “Oya.. Satu lagi! Aku punya bukti rekaman soalperbuatan kalian barusan, akan kutunjukkan menggunakan bahagia hati apabila kalianmenginginkannya!”

Aku menatap mereka hening dan hanya membiarkan mereka lewat ketika mereka berlarikeluar gudang dengan ketakutan. Aku tersenyum lega. Entah kenapa saya bisaberada di sini, kakiku terkadang memang berkecimpung sendiri.

“Senja, terimakasih!” terdengar suaranya yang lemah.

“Bukan untuk menolongmu!” saya menjawab ucapannya tanpa menoleh ke arahnya.
“Ridwan?”panggilku. Dia menoleh dengan seulas senyum tipis pada bibirnya.

“Hai, Nja!” balasnya singkat. Aku duduk pada depannya. Dia memegang sebuah suratber-amplop putih pada tangannya.

“Mau apa ke rumahku? Kalau minta maaf saya juga..”

“Nja..” beliau memotong ucapanku, lalu beliau menatapku dengan sedih. “Pelangi..”

“Jangan nama itu!” aku ganti memotong ucapannya. Aku mulai gelisah.

“Yah.. Beliau..” kata-katanya menggantung. Aku semakin gelisah melihat gelagatnyayang nir biasa itu.

“Kau menemukannya pada gudang?” saya mencoba buat menebak inti pembicaraanya.

“Ya! Bukan itu!” dia benar-sahih membuatku mangkat bertanya-tanya.

“Ada apa?” tanyakun tidak sabar.

“Ini!” dia menyerahkan amplop yg sedari tersebut digenggamnya padaku, tanpabanyak bicara kubuka serta kubaca surat di dalamnya.

‘UntukSenja,
Maaf telah membuatmu kembali teringat akan masa lalumu. Tapi, bukankah itu jugabukan kehendakku? Aku akan pergi! Aku meminta buat sekolah pada Singapura saja.maaf buat seminggu yg mengganggumu. Kukira, kita akan bisa bergaul baiksaat pertama kali saya melihatmu. Tapi, kau membenciku.
Tidak apa-apa! Aku nir menyalahkanmu. Dan buat kakakmu, aku turut berduka.
Pelangi’

Akumenatap surat singkat itu dengan tangan gemetar. Aku tidak sanggup menahankegelisahanku sesudah membaca isi surat itu.

“Dia pulang, kan? Kau niscaya nir mendengarnya tadi pagi! Kau terlalu cuekpadanya! Sekarang dia pergi, bagaimana? Kau puas?” saya hanya menunduk mendengarucapannya, “Kupikir kau akan bahagia dengan kedatanganya lantaran dengan begitukau akan punya kesempatan buat menjaga 1 pelangi lagi!”

Akumasih menunduk tak percaya. Tubuhku semakin gemetar. Kau akan punya kesempatanuntuk menjaga 1 pelangi lagi! Kata-kata Ridwan itu terus terngiang ditelingaku. Panas aku mendengarnya.

“Tapi, kini kau membuang kesempatan itu! Apa yg seharusnya bisa kaulindungi malah kau campakkan! Kau telah kehilangan semuanya sekarang!” Ridwanmengatakannya dengan penuh penekanan pada setiap istilah-pungkasnya. Aku menutupwajahku, butiran keringat dingin telah memenuhi seluruh dahiku.

“Jika..” beliau melanjutkan. Aku telah nir sanggup mendengarkan kalimatselanjutnya. Rasa apa ini? Rasa yg perlahan-huma menyusup ke pada hatiku.“Dia baru berangkat! Apa kau masih ingin meraih pelangimu?” sehabis itu diamenyebutkan bandara serta jua jadwal embarkasi pesawatnya. Perlahan, akumembuka kedua tanganku dan menatap wajahnya yg menyunggingkan senyum.“Kejarlah langitmu!” imbuhnya.
Ya, aku menyukainya! Sejak pertama kali aku menatapmatanya. Akan namun, mengapa selama ini aku sama sekali tidak menyadarinya?Pikiran dan hatiku sudah tertutup oleh kebencian yg tak beralasan hanyakarena namanya yg mengingatkanku dalam kakakku. Aku udik! Benar-benar ndeso!Dan sekarang, saya akan kehilanganya bila saya nir cepat-cepat sampai dibandara buat mencegahnya.
Aku berlari secepat yg kubisa, sempurna pada depanbandara itu saya berhenti. Langit berubah kelabu dan hujan turun dengan deras.aku berlari masuk. Aku baru sadar, harus kemanakah aku mencarinya? Aku melihatjam di tanganku. Kurang 5 menit lagi. Oh, Tuhan! Dimana dia?
Aku nir mampu menemukannya pada antara orang-orangberkoper akbar ini. Bodohnya diriku! Mengapa saya tersebut berlari seakan aku masihmemiliki asa? Tidakkah aku berpikir bahwa dia takkan balik ? Akubenar-sahih menyesal sudah menyia-nyiakannya.
Pandangku buram serta otot kakiku tampaknya telah takmampu lagi menopang berat tubuhku. Aku terduduk. Tak kupedulikan pandanganorang-orang yang menatapku aneh. Air mataku mulai menetes dengan perlahan.tiba-tiba, kudengar suara pesawat yg tanggal landas. Air mataku takhenti-hentinya mengalir. Payah! Aku memukul lantai menggunakan kepalan tanganku.tubuhku berguncang karena tangis.
Semakin deras air mataku mengalir. Aku tidak kuasamenahannya dan dadaku mulai terasa sesak. Aku kehilangan semuanya kini !Disaat saya mampu mendapatkanya saya membuangnya! Dan disaat aku membutuhkanya,dia berbalik pulang! Selamanya!
Akuberdiri dengan langkah gontai. Aku berbalik serta melangkah keluar bandara. Akumenatap sayu dalam hujan. Selesai sudah! Semua telah selesai disaat saya barumenyadarinya!

“Senja?” panggil orang yg baru keluar menurut pada sebuah taksi heran, “Mengapakau terdapat disini?” beliau menatapku galau. Aku menatapnya tak percaya. Aku samasekali tak percaya pada mataku sendiri.

“Pelangi?” saya ganti memanggilnya tak percaya.

“Hei! Ada apa denganmu?” dia bertanya menggunakan nada cemas melihat keadaanku.dalam pikiranku terjadi kegaduhan rumit. Padahal, saya baru saja menangiskarenanya tapi, sekarang beliau sedang berdiri menatapku.

“Pelangi..” kali ini, suaraku terdengar bergetar. “Jangan, kumohon jangan..”aku menggigit bibirku. “Jangan pulang! Kumohon jangan pergi!” aku mengeraskansuaraku sampai membuatnya terkejut. ”Ya, saya pikir saya membencimu! Tapi,ternyata aku galat! Ternyata.. Aku .. Saya.. Menyukaimu!”

Dia menatapku tak percaya. “Tapi, akan tetapi saya..”
Bagiku itu merupakan sebuah jawaban. ‘tapi’-nya itu telah membuatku sadarsekaligus menciptakan hatiku hancur berkeping-keping. Aku tak memandang matanyauntuk sesaat.

“Hm..” aku memaksakan buat tersenyum, “Ya! Itu pantas untukku! Aku sahih-benarorang yg ndeso! Pergilah! Aku nir berhak buat memintamu balik setelahaku mencampakkanmu!” saya menangis lagi. Aku baru sadar betapa cengengnya saya.”Maaf..” Bibirku semakin bergetar, ”Aku, benar-sahih menyesal!”

Aku berbalik. Melangkah lagi menggunakan langkah pelan dan mengubur semua kenangansemu. Hujan berhenti turun. Harapanku telah runtuh, luluh jadi debu. Akumerasakan sakit yang luar biasa pedih. Bagus. Aku kehilangan semuanya kini .

“Kaumau pergi?” suara itu terdengar murung . Aku menoleh pelan. “Pesawatnya bahkansudah meninggalkanku.. Kini kau?” air matanya mulai turun perlahan. “Aku kanbelum terselesaikan bicara, bodoh!” dia terisak.
Jantungku berdebar keras.
“Jangan campakkan aku lagi!” dia mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Aku sejenak ragu.

“Kau mau pergi, Pelangi? Bersamaku?” pertanyaan itu keluar begitu saja daridalam mulutku, saya mengulurkan tangan padanya.

“Mmm!” dia mengangguk, “Senja,” dia memanggil.

“Ya?”

“Menurutmu pelangi itu apa?” aku kaget mendengarnya. Pertanyaan ndeso yg samadenganku dulu dalam kakakku.

“Pelangi, ya? Mm..” aku sengaja menggantungkan kalimatku, “Di mataku..”lanjutku,

“Pelangiitu biasan cahaya yang sangat latif! Bahkan, kreasi terindah yang pernahkulihat! Tapi, pelangi itu akan terlihat lebih latif lagi apabila beliau bersamadengan senja..”
Dia memandangku. Aku tidak mengerti apa arti tatapanya itu. Namun, sedetikkemudian, beliau menyambut uluran tanganku.


Karya                  : Ratna Juwita
Sumber               : cerpenmu.com
File Editing          : M. Rizki Riswandi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel