CERPEN PRAMUKA ALUN ALUN JINGGA SUCI ARIANI


BELAJAR PRAMUKA - Aku memerangidingin pisau yang menjelajahi tubuhku meski sempat berfikir menyerah akan lebihmenenangkan, tapi nir lantaran kau menggenggam tanganku di ujung cahaya, bukanruang operasi pula bukan jas putih yg kau kenakan serta saya tak dikelilingitemanmu menjadi pasien yang memohon nyawa, akan tetapi sebagai pengantin menggunakan gaunputih yang mereka kelilingi ribuan doa selamat. Kelopak mawar bertaburandisetiap langkah kita, mengalirkan sensasi diluar dugaan. Mampu membuatjantungku berdetak, kuat.
.
.
Bola mataku sibuk mengelilingi setiap sudut ruangan ini. Baufarmasi yg menyengat membuatku sedikit pusing dan infus yg menggantung disamping kepalaku, sahih-sahih membosankan tempat ini.
Seorang hadir dari celah pintu, samar terlihat wajahnya serta semakin kentara. Iadi sampingku kini .
“Sudah kukatakan, kau akan baik saja”. Tangan halus itu menyentuh kepalaku.matanya jatuhkan buah pada keningku. Aku sedikit menggerakan kepala ke atas,ingin menyentuh tangannya dan menepis setiap titik disana.
.
.
Langit tidak lagimendung. Berganti mega yang indah. Menghadirkan cahaya jingga yang tampilmemesona pada ujung langit menggunakan surya yang siap pergi ke peraduannya.jaringan otakku bereaksi seketika, perlihatkan kau dan aku duduk beserta disini misalnya biasa, di bawah jingga dengan tawa spesial yg mengudara antarakita. Desir angin mendarat kasar di bagian atas kulit. Lenyapkan nuansa hitamputih itu.
.
.
Kurasa aku pula harus pergi melepas lelah serta sesak, meninggalkanangin yg memakin menusuk ke dasar jiwa. Aku menoleh serta seketika paras itutepat di hadapanku. Sedikit tidak sinkron, tak berbunga seperti taman yang menuairindu misalnya biasa. Rindu, apabila boleh kupinta cukuplah bersarang di hatiku,tidak perlu menembus ketika serta menyerang hatinya sebab setauku cintanya tak cukupkuat menikmati setiap pasukanmu yg berlabuh, meski waktu tidak jauhkan kitaterlalu lama , namun bukankah kebiasaan kita buat saling merindu? Bahkan meskidekat aku tetap ingin merindukanmu. Ya saya tau kau pun sama.
.
.
“3 jam saya menunggu” ucapku datar Aku tau mungkin kau sibukmencari pekerjaan baru, tapi mengapa wajib mengundurkan diri? Baiklah, mungkinkau punya alasan lain. Pekerjaan yang lebih menjanjikan serta mungkin kau jugasibuk meyakinkanku meyakinkanku tentang hal itu.
Dia hanya diam dengan tatapan yg tidak ku mengerti.
“Kiyya… Kita tak bisa menikah”
Apa?!, bagai ribuan petir menari di atas kepalanku yang siap menyambar kapansaja.
Kita masih membisu dengan posisi masing-masing.
Kau menunduk pelan, mundur perlahan semakin membangun jeda antara Kita.
Bukan hanya dapat dicermati dari berapa meter jarak kita saling berdiri, tapilebih pada menurut itu, jeda yang sebenarnya antara hati, asa serta kenyataan.hati kita saling terpaut bahkan semenjak pertama bertemu. Lalu kita menjalinhubungan dan memutuskan akan menikah. Harapan hidup damai bersama anak-anakkita kelak, sampai senja menggelapkan global kita. Bukankah kau yang memintakumenjadi teman hidupmu?.
Aku masih berharap ini sekedar lelucon, walau tidak lucu, saya akan sedikitmerajuk serta kau akan membujuk menggunakan gombalan aneh misalnya anak Sekolah Menengah Atas.
.
.
“Aku tak mampu menikah denganmu, kiyya. Maafkan saya”
Deeggg..!! Ini nyata!
Kau berbalik membanting setir dengan hebat sesudah sukses menuntaskan katayang telah meledakan jantungku.
Dan semenjak waktu itu senja antara kita sebagai gelap.
.
.
Kau! Seorang yang berjanji akan menjadi sahabat hidupku. Seorangyang tiba menghadap ayahku sebelum melempar mahar serta tetapkan hari bahagiaini. Hari ini. Bukankah kita harusnya duduk bersama menghadap para tamu yangdatang membawa undangan jingga serta memuji kita sebagai pasangan serasi?Bukankah akan kukenakan gaun yg membuat matamu tidak berkedip ketika akumencobanya di butik? Bukankah hari ini senang itu? Kau akan menjabat tanganayahku, menyebut mahar serta mengucap sumpah kemudian para tamu akan menjawab absah danaku akan sebagai milikmu selamanya.
Tapi tampaknya kau lebih senang hari ini menggunakan paras pucat yang kaku dansenyum tidak pudar mekar disana. Semua temanmu mendoakan, bukan untukpernikahan kita akan tetapi ketenanganmu. Aku pada barisan paling depan antara orangberseragam hitam beserta mama serta papamu. Menabur bunga pada atas jasadmu.menyentuh nisanmu serta membasahinya menggunakan airmata, penyesalan, rasa sakit dansegalanya.
Menimbun rindu yang berakhir tangis di ujung malam.
.
.
“Dia sakit apa?” gadis di depanku melipat tangannya, menatapserius sedari tadi. Aku menjawab senyum. Dia Alya, sepupuku.
“Kakak..” Alya menyentuh tanganku, kandas sekali terasa sentuhan itu di kulitini. Menjelajahi pandangan yg semakin menggambar perih.
“Bicaralah padanya, jangan menyiksa rindu yang semakin menggila. Karenabagaimanapun yang kau rindu masih sanggup kau lihat”. Mataku berkaca-kaca, bukankarena memberi solusi atas perkara Alya dan pasangannya yang bertengkar hebat.bukan lantaran saya menceritakan kisahku padanya. Bukan jua lantaran Alya menangismenahan keangkuhan buat bertemu kekasihnya. Melainkan karena saya merindukanya,serta saya tak mampu melihatnya. Lagi.
“Aku akan menemuinya” ucapnya mantap. Aku bisa merasakan rindunya.
“Kita harus pergi. Ada pekerjaan yg harus saudara tertua selesaikan” saya melihat kearah ventilasi caffe.
Mungkin sebentar lagi awan akan jatuhkan butir demi butir pada genggamannya.
“Baiklah, saya jua akan pulang sebelum hujan”. Ucapnya cantik. Kami meninggalkancafe dengan 2 cangkir cappuccino latte yg tersisa setengah.
Beberapa pelanggan cafe memperhatikan kami. Tepatnya aku . Tubuh kurusku memangmenyita banyak perhatian.
.
.
Hujan mengguyurku menggunakan hebatnya, menyisakan dingin yang dapatmembunuh. Bersin tidak henti menyerang, disusul batuk serta.. Darah?.
Tapi tunggu!, kertas lama pada sudut lemari lebih menarik perhatianku ketimbangdarah yg mengalir segar dari lisan. Kertas yg tak bosan dibaca meski sudahribuan kali disentuh. Masih tampak baru misalnya pertama kali sampai ditanganku.
.
.
“Kiyyalla mustika siddiq…
Akulah seseorang yang menyakitimu melebihi pisau operasi yg menyentuh tubuhmu,perih melebihi darah yg terus mengalir menurut manapun.
Aku ingin datang membawa ribuan mawar serta berlutut di kakimu.
Meski ku tau berjuta maaf pun tidak cukup mengobatinya.
Dan berjuta kesempatan darimu pun tak cukup bagiku memperbaikinya.
Aku pengecut terbesar di muka bumi ini, yang tak menetapi janji akanmenggenggam tanganmu menuju pelaminan kita.
Yang tidak berani jujur serta menentukan menyakitimu.
Aku sekarat kiyya. Aku ingin kau pada sampingku memeluk saat aku merasa dingin.
Namun lebih dari ini aku tak ingin kau tertular sedikitpun, serta menjauh darihidupmu secepatnya merupakan pilihan terbaik.
Saat virus ini menggerogoti tubuh serta hidupku. Aku masih bersyukur takkehilangan energi untuk menulis surat ini.
Takdir sebagai dokter membawa hidupku pada jalan ini.
Aku tertular HIV menurut keliru satu pasienku. Aku menangani serta berencana akanmenuntaskan kasusnya, akan tetapi jauh dari itu Sang Maha Kuasa tentu telah berencanalebih dulu. Rencana yg tak bisa elakan.
ini membunuhku Kiyya.
Kau lebih tau aku membawamu dalam hatiku menuju kehidupan lebih tak pernah mati.
Aku tidak bisa menahan lagi Kiyya
Aku mencintaimu.
Alzi”
.
.
Jariku bergetar hebat. Tetesan darah memenuhi kertas pucat itu.
Bertahun sudah terlewati. Aku pula lelah. Dalam cahaya tebal di atas sana kaupasti melihat dengan mata yang selalu kurindu. Harapan ini tidak sanggup lagimenahan tubuh kikisku. Tubuhku hanya berbalut kulit. Virus itu jugamenggerogotiku, kala darahmu mengalir sebagai donor ketika saya membutuhkannya.dan kali ini virus itu menyentuh dasar pertahananku. Darah seketika mengalirlambat, semakin dingin dan gelap. Merenggut mimpi, penyesalan serta duniaku.
Alzi Anas Baskara, saya melihatmu pada sana, membawa ribuan mawar serta berlutut dikakiku. Dan kau menggenggam tanganku. Kuat.
.
.
Cerpen Karangan :Suci Ariani


Facebook :Sucy Ariani

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel