CERPEN PRAMUKA BAKPAO NIA PUTRI


BELAJAR PRAMUKA -
“Dia nerimalamaran gue, Va.”
Haiva membisu. Terpukul.
“Kasih selamat dong buat saudara tertua lo ini.”
“Selamat ya Kang.”
Kang, begitu panggilan Haiva pada pria bernama Arya itu. Mereka memangsudah berteman sangat akrab, misalnya saudara termuda-abang. Itu mengapa beliau memanggillelaki itu Akang. Ironisnya, hanya Arya yg menduga Haiva menjadi saudara termuda.haiva sendiri selalu mencintai lelaki itu, semenjak awal.
Beruntung Arya mengungkapkan warta itu lewat telepon. Haiva tidak perluberpura-pura tersenyum selagi ia sama sekali tidak ingin tersenyum.
“Makasih ya Va.”
Haiva nir menjawab.
“Sekarang gue wajib menyiapkan taktik berikutnya buat bilang ke Ibu gue danorangtuanya.”
“Hmm.”
“Doain agar lancar ya. Nanti pasti gue undang.”
“Iya.”
Tiba-datang Haiva sadar, pipinya sudah basah. Ia harus segera memutus pembicaraantelepon itu.
“Eh, saya dipanggil bos nih Kang,” Haiva buru-buru memutus. “Udah dulu ya.”
“Oke deh. Met kerja lagi ya Va.”
“Daaah.”
Tanpa menunggu balasan Arya, Haiva sudah mematikan ponselnya.
Beruntung ketika itu telah tanggal jam kerja. Tidak ada siapapun pada ruang kerjanya.mas Bram sudah pergi semenjak jam 5 sore tadi. Kalau tidak, Haiva akan sangatkesulitan menutupi kesedihannya. Ia sudah jatuh.
.
.
Sebenarnya telah sewajarnya dalam saat semalam itu semua orang difactory sudah pulang. Haris memang terbiasa pergi paling akhir. Ia tidak sukamelakukan pekerjaan di tempat tinggal , jadi ia terbiasa menuntaskan semua pekerjaan dikantor sebelum pergi ke rumah. Toh pulang jam berapapun tidak terdapat yangmenunggunya pada rumah selain kura-kura peliharaannya. Ia nir merasa keberatanselalu menjadi yang paling akhir pulang. Lagipula sebagai seseorang pemimpin,telah seharusnya ia tiba lebih pagi daripada anak buahnya serta pergi lebihakhir setelah semua anak buahnya pulang. Lantaran itulah ketika melewati ruangQA, Haris relatif terkejut karena ruangan itu masih terperinci-benderang. Entah karenamasih terdapat orang pada sana atau lantaran yang paling akhir pergi lupa mematikanlampu.
Haris memutar langkahnya. Mengurungkan niatnya buat pergi, dia berbalik keruangan QA. Ia mencoba membuka pintunya serta ternyata memang tidak dikunci. Tapiketika pintu terbuka, tidak ada siapapun pada ruangan itu.
Bram serta Haiva wajib dimarahi besok lantaran pulang tanpa mengunci pintu danmematikan lampu, pikir Haris pada hati.
Tapi lalu ia mendengar suara pelan, misalnya bunyi tangis. Bulu kuduknyaberdiri. Ruangan itu kosong, mengapa ada suara seperti itu? Desas-desus tentanghantu yang paling tak jarang tersebar merupakan penampakan di gowning room production(ruang gati baju sebelum menuju ruang produksi obat.red). Jadi harusnya tidakdi ruangan ini kan?
Perasaan Haris makin nir lezat ketika beliau melihat sepotong tangan terjulur daribawah meja kerja Haiva. Haris baru saja hendak bergegas kabur waktu akal sehatmenguasainya. Memberanikan diri, beliau masuk ke ruangan itu serta perlahan mengintipke bawah meja kerja Haiva.
.
.
“Ya ampun Iva!” Haris membentak dengan keras. Membuat Haiva kaget.tangisnya segera terhenti. “Kamu seperti setan saja! Bikin aku jantungan.ngapain sembunyi pada bawah kolong meja begini? Saya kira setan. Dan itu apatadi? Kamu nangis? Suaranya misalnya kuntilanak sedang menangis!”
Haris memarahi Haiva dengan bunyi keras. Dia kesal lantaran anak ini sudahmembuatnya ketakutan hingga hampir tewas.
Haiva dan-merta membisu. Berhenti menangis. Ia kaget dibentak seperti itu. Sudahsering ia dimarahi atau ditegur Haris. Tapi Haris selalu menggunakan bunyi yangpelan serta tajam alih-alih bentakan menggunakan bunyi keras seperti yg barusandilakukannya. Ini pertama kalinya Haiva mendengar bos besarnya itu membentaknyadengan bunyi keras.
Belum cukup cita rasanya ia mendengar pria yang dicintainya akan menikahi perempuanlain, yg ironisnya adalah temannya pula. Ternyata nasib sialnya hari inimasih wajib ditambah menggunakan amarah bosnya. Terima kasih Tuhan.
Meski anak itu duduk di kolong meja misalnya itu, penerangan ruangan masih cukupuntuk membuat Haris melihat keanehan dalam paras Haiva. Matanya sembab danwajahnya basah. Hal itu menciptakan paras Haris melunak. Mata Haiva yangberkaca-kaca itu membuat Haris jadi gugup dan merasa bersalah lantaran membentakgadis itu.
.
.
“Iva nangis ya?”Haris bertanya hati-hati.
Haiva buru-buru mengeringkan pipinya.
“HP aku jatuh, Pak. Pas mau ngambil, kepala saya kejedot. Sakit banget.”
Haiva menggoyang-goyangkan ponselnya pada depan Haris dan berupaya memasang wajahlucunya. Meski begitu Haris nir percaya. Tapi demi menghargai bisnis Haivauntuk menutupi tangisannya, Haris berpura-pura percaya.
“Ayo berdiri!”
Sedikit terhuyung, Haiva merangkak keluar berdasarkan rongga di bawah rumah meja dan bangkit berdiri.lalu dengan paras riang, beliau bertanya dalam bosnya “Bapak kok belum pulang?”
“Saya memang biasa pergi jam segini. Seharusnya aku yang tanya, kenapa kamubelum pergi?”
Gugup karena malah diintrogasi, Haiva berlagak sok sibuk mematikan laptopnya.
“Er… tersebut ada yang wajib aku kerjakan, Pak.”
Mengerjakan apa? Menangis pada kolong meja?, Haris nyaris mengatakannya. Tapi iamenahannya lantaran merasa tidak bijak meledek gadis yang bunyi tangisnya sepertikuntilanak ini. Haris merasa nir akan tahan mendengar bunyi tangisnya lagi.
“Sekarang sudah terselesaikan kerjaannya? Sudah mau pulang?”
“Hmmm.” Haiva bergumam serta mengangguk.
“Apa Iva buru-buru pergi?”
“Eh?”
“Saya belum makan malam. Iva jua belum kan?”
Haiva melirik bingung.
“Iva mau temani aku makan?” tanya Haris lalu.
.
.
“Iva mau pesan apa?”
Haris membuka-buka pilihan menu makanan di resto seafood itu serta menggunakan bersemangatbergumam ingin memesan ini dan itu. Haiva menggaruk kepalanya yang sebenarnyatidak gatal. Dia sedang berusaha menemukan makanan yang bisa dimakannya daridaftar pilihan menu itu. Tapi belum lagi Iva menemukan yg dicarinya, Haris sudahmemanggil waitress restoran itu.
“Kepiting saos padang. Cumi goreng tepung. Cah kangkung…” Haris menyebutkanpesanannya dengan bersemangat. Lalu dia menoleh pada Haiva. “Iva?”
“Tumis buncis …”
Sang waitress mencatat pesanan Haiva. Lama ia menunggu, akan tetapi gadis itu tidakmenyebutkan pesanannya yg lain. Haris memandang Haiva menggunakan mendesak.
“Apa lagi? Masa pesan itu aja? Di sini ada udang mayonaise, kerang panaskan.”
Haiva balas memandang bosnya dengan tatapan meminta maaf. “Saya sebenarnyaalergi seafood, Pak.”
“Hah!” desah Haris, separuh kaget dan separuh kesal, “Kenapa Iva baru bilang? Kalaugitu kita …”
“Saya makan itu aja, Pak,” istilah Iva buru-buru. Ia khawatir bosnya akan mulaimemarahinya lagi.
“Apa kita makan di loka lain?”
Sang waitress tampak nir rela kehilangan calon pelanggannya. Ia segeramemotong dialog kedua tamunya itu.
“Kami punya gurame. Ikan air tawar, Mbak,” kata waitress itu, memberikan kepadaHaiva.
“Kalau gitu, kami pesan itu,” kata Haris cepat.
Sang waitress tersenyum. “Guramenya bumbu apa? Dibakar? Lada hitam? Atau …”tanyanya lalu.
Haiva menatap Haris. Tidak memahami harus menentukan yang mana.
“Kepiting saos padang pada sini enak banget,” Haris menjawab tatapan Haiva. Ialalu menoleh dalam waitress. “ Apa mampu guramenya gunakan saos padang?”
Sang waitress mengangguk. “Bisa, Pak.”
Ia kemudian mengkonfirmasi pesanan kedua tamunya sebelum pulang meninggalkanmereka berdua.
“Harusnya Iva bilang jika nggak mampu makan seafood. Untung di sini adagurame.”
“Iya, maaf Pak. Saya nggak tahu bahwa kita mau makan pada sini.”
“Hmmm. Iya sih, aku juga nggak bilang ya?”
.
.
Haiva memerhatikan berkeliling. Hampir seluruh meja penuh. Hampirsemua kursi diduduki oleh pria berkemeja rapi serta perempuan berpakaian modis,misalnya para eksekutif muda. Mereka seluruh tampak seperti orang-orang yang barupulang kerja. Lagipula restoran ini berdiri pada wilayah perkantoran elit.tampaknya beliau sedang makan pada restoran seafood yg terkenal dan mahal. Well, itlooks fit with the boss anyway.
.
.
Semua orang tampak sedang menikmati makanan di piringnyamasing-masing menggunakan bersemangat. Tidak ada satupun yang nir menikmatimakanannya. Dilihat berdasarkan kuliner-makanan yang disajikan pada tiap piring di semuameja, mereka memang tampak menggiurkan. Tidak heran bila bosnya mengajak kesana.
.
.
Eh? Oh, mungkin hanya sepasang belia-mudi yang berada di mejasebelah yg nir tampak sedang menikmati makanannya. Laki-laki ganteng danperempuan cantik itu keduanya berwajah keras. Mereka mengacuhkan sepiringkerang menggunakan kuah yg tampak pedas serta seekor gurame besar yg bertaburpotongan mangga di hadapan mereka. Mengacuhkan kuliner-makanan yg tampakmenggiurkan itu, mereka pasti sedang mengungkapkan masalah yang berfokus. Haivatidak sengaja mencuri dengar pembicaraan ke 2 orang pada meja sebelah.
“Kenapa?” Si gadis bertanya pada pemuda pada hadapannya.
“Kita udah nggak cocok lagi,” kata si pemuda menggunakan wajah kaku. Pemuda itutampak nir peduli pada paras nelangsa gadis pada hadapannya. Haiva mendugagadis itu sementara waktu lagi akan mulai menangis.
Tapi ternyata nir. “Jangan bercanda!” Gadis itu malah tersenyum mencemooh,“Nggak cocok lagi adalah alasan basi. Kamu … apa terdapat perempuan lain?”
Cih!, gumam Haiva dalam hati, masalah perselingkuhan. Nggak heran, cowok inipunya wajah yang ganteng . Pasti poly gadis yg menyukainya.
“Sorry. Kita putus.” Haiva mendengar si pemuda menjawab tanpa basa-basi.
Si gadis mendelik. “Apa?! Putus?!” Gadis itu mendesis dengan marah. “Kamu yangselingkuh, kenapa engkau yg mutusin saya? Hah?!”
Si pemuda tampak agak stress berat.
“Kita putus! I’m tho one who dump you, jerk!”
Si gadis, meski menggunakan mata berkaca-kaca, tetapkan pacarnya menggunakan sangattegas. Ia menenggak es jeruknya dalam segali teguk. Dan selagi si pemuda masihtampak syok, gadis itu berkata “Lo yang bayar!”
Lalu gadis itu pergi.
Sebelum gadis itu membuka pintu restoran serta keluar, Haiva melihatnya menghapusair mata. Tidak terdapat gadis yang nir murung diselingkuhi, tapi toh gadis itumenghadapinya menggunakan gaya yang keren. Haiva tersenyum diam-diam, mengagumiketegaran gadis itu. Ia berharap mampu setegar gadis itu menghadapi perasaanpatah hatinya.
“It’s like today is not good day for relationship,” Haiva bergumam muram.
Haris melirik ke arah yg sama dengan tatapan gadis pada hadapannya. “Apa?”
Haiva tersenyum. “Nggak apa-apa, Pak.”
.
.
Haris bukan nir mendengar gumaman pelan Haiva barusan. Dia jugajelas-kentara melihat Haiva memperhatikan pasangan pada sebelah mereka. Ditambahlagi, berdasarkan sikap Haiva sesorean ini, Haris menduga bahwa gadis ini baru sajaputus menggunakan pacarnya. Itu mengapa si kelinci yg umumnya sukameloncat-loncat ini terlihat lesu sore ini. Itu mengapa gadis itu menangis saatia tersebut memergokinya. Tapi jika Haiva tidak berniat memberitahunya, bukankahdia tidak berhak memaksa?
.
.
“Orang-orangdatang dan pulang pada hidup.”
Haiva mendengar Haris bergumam. Dia tidak yakin apakah Haris sedang bicarapadanya atau hanya bergumam sendiri. Haiva menoleh dan memperhatikan bosnya.
“Setiap hari, orang-orang datang serta pergi dalam hidup kita,” Haris mengulang.kali ini sembari menatap eksklusif ke mata Haiva. Haiva merasa si bos sedangbicara padanya. “Tidak perlu terlalu bergantung pada satu orang. Toh dia akanpergi juga.”
Haiva curiga, jangan-jangan si bos sedang menyindirnya. Tapi sebelum Haivamembuka lisan, seorang waitress mengantarkan pesanan mereka. Berpiring-piringmakanan disajikan pada meja mereka dalam beberapa mnt saja.
.
.
“Makan yang poly, Iva.”
Haris tersenyum lebar. Haiva menganggapnya sebagai perintah. Ia mengangguk danmendekatkan piring berisi seekor gurame akbar yg disiram kuah merah kearahnya. Ia melirik sesaat ke meja sebelah. Gurame bertabur rabat manggamasih utuh disajikan. Piringnya bahkan belum tersentuh. Si pemuda sudah pergimeninggalkan makanan-makanan itu tersia-sia.
“Sayang banget, kenapa mereka harus putus sebelum makan malam dimulai,” kataHaiva dalam Haris sembari mengerling meja sebelah, “Makanan yang telah merekapesan jadi tersia-sia kan?”
Haris tertawa. “Jangan memperhatikan hal-hal lain. Perhatikan yang terdapat pada depanmata.” Haris mengendikkan ketua pada piring berisi gurame saos padang dihadapan Haiva. “Kalau Iva berhasil menghabiskannya, aku belikan gurame saosmangga jua untuk Iva.”
Perhatikan yg terdapat di depan.
Haiva menatap ke depan. Ada Haris pada sana. Haiva tertawa.
.
.
“Apa rasa sakitnya sudah berkurang?” tanya Haris.
Lampu-lampu jalanan berkelebat pada kiri-kanan mereka saat kendaraan beroda empat Haris melajumembelah jalanan Jakarta. Selesai makan malam, Haris mengajak Haiva pulangbersamanya. Rumah mereka searah sebagai akibatnya Haris tidak keberatan mengantar Haiva.toh sebenarnya Haris nir repot sama sekali. Dia kan punya supir langsung.
Haiva menoleh cepat. Kaget. “Apa?”
Penerangan pada pada mobil nir begitu jelas. Haiva tidak mampu melihatekspresi bosnya dengan jelas. Ia tidak tahu apa maksud pertanyaan bosnya itu.
“Yang tersebut bikin Iva nangis, apa rasa sakitnya telah berkurang sekarang?”
Haiva hanya mengerjap. Apakah bosnya mengetahui alasan sebenarnya ia menangis?Apa acting HP-jatuh tersebut kurang meyakinkan? Lalu bagaimana dia harus mengalihkanpembicaraan sekarang supaya dia tidak perlu menjawab.
“Meski makanan enak tidak bisa mengobati sakit ketua yg terbentur tadi…”Haris menoleh pada Haiva, “… setidaknya Iva sudah lupa rasa sakit terbenturyang sampai bikin Iva nangis tadi kan?”
Haiva bengong sesaat. Tapi kemudian ia tertawa.
“Makasih ya Pak,” kata Haiva, masih tertawa, “Kata orang perut kenyang, hatisenang. Kepala aku nggak sakit lagi sekarang.”
Tinggal hati aku aja yang masih sakit, lanjut Haiva pada hati. Masih sambiltertawa.
Tapi hatimu masih sakit kan?, tanya Haris pada hati, sembari ikut tertawabersama gadis itu. Dasar anak belia.
Ini pertama kalinya Haiva ngobrol menggunakan Haris, di luar jam kantor, dan selainmembicarakan validation report serta deviation report.
.
.
Dear Boss,
Aku mau mengaku, bos. Selama ini pada belakangmu, saya memanggilmu “Hulk”. Kalausaja kau tahu panggilanku ini, seharusnya kau pula tahu alasannya adalah kan? Itukarena badanmu yang tingi akbar serta tiap murka waktu meeting selalu seperti Hulkyang ditakuti seluruh orang. Jadi jangan salahkan saya karena memanggilmu begituya, bos :p
Tapi bos, misalnya halnya Hulk, pada kembali tubuh hijau-besar -menakutkan itu adaDr. Bruce Banner yg tampan, pintar dan baik hati. Aku pikir, misalnya itulahdirimu. Di pulang sosok menakutkan ketika meeting itu, ada sosok lain. HarisHananjaya yg nir kalah tampan, pintar dan baik hatinya menggunakan Bruce Banner.
Setelah selama ini saya melihat sosok Hulk-mu, akhirnya aku sanggup bertemu denganBruce Banner pada dirimu.
.
.
Sejak hari itu, Haiva tidak lagi kaku serta ketakutan bila bertemudengan Haris. Betapa seringnyapun Haris memarahinya soal pekerjaan, diluar jamkerja Haris balik bersikap seperti Bruce Banner. Beberapa kali saat Haivalembur serta pergi malam, Haris bahkan menawarinya nebeng sampai terminal busterdekat. Haiva jua mulai memberanikan diri menyapa bosnya itu setiapberpapasan pada koridor, nir lagi hanya menundukkan kepala dengan kikuk. Dihari lain saat dia dan bosnya, oleh Supervisor QA, berencana makan seafoodbersama, Haiva pula sudah berani mengajak bos besarnya itu ikut bersama merekaketika mereka bertemu di laman parkir.
.
.
“Kami mau pergimakan seafood, Pak! Bapak ikut aja,” kata Haiva bersemangat.
Tapi Nala, sambil tertawa, melarang Haiva. “Jangan ajak Bapak,” ucapnya, “Bapakpasti nggak mau.”
Haris pulang bertanya. “Kenapa saya pasti tidak mau?”
“Karena kami nggak akan makan pada restoran seafood. Ini warung pinggir jalan,”Nala menjawab sembari tersenyum mengejek.
Mata Haris mengerjap.
“Jadi kenapa?” Haiva bertanya, “Kepiting saos padang di sana lezat banget kanMbak? Bapak pasti suka .”
“Saya baru ingat, saya wajib langsung pergi,” kata Haris tiba-tiba.
“Eh?” Haiva bengong. Sikap Haris berubah menggunakan sangat cepat.
“Kalau gitu kami duluan, Pak,” kata Nala cepat. Tersenyum dan menarik tanganHaiva buat segera ke mobilnya.
Sampai pada mobilnya, Nala baru menjelaskan alasan mengapa bos besar mereka tidakakan mau diajak makan di Seafood Ayu.
“Bapak punya penyakit alergi.”
“Alergi kuliner laut? Itu mah aku , Mbak. Saya pernah lihat Bapak makankepiting serta beliau baik-baik aja kok.”
“Bukan,” jawab Nala santai. “Penyakit Bapak itu namanya Cheap-Food Alergy.”
“Food Alergy apa, Mbak?”
“Cheap-Food Alergy,” Nala mengulangi sambil nyengir sendiri, “Alergi samamakanan murahan dan makanan pinggir jalan. Percaya deh, beliau bakal langsungsakit perut bila makan kuliner murah atau pada pinggir jalan. Harus di restoran.”
Haiva bengong. Tapi lalu ia tertawa. Tidak tahan mendengar hal yang luculuar biasa itu.
.
.
Haiva hingga lupa rona matahari. Dia berangkat kantor pagi-pagisekali sebelum surya terbit. Pulang malam-malam sehabis matahari terbenam.bahkan makan siangpun tidak bisa dia lakukan dengan tenang. Semua itu gara-garaproyek akbar perusahaannya tahun ini. Semua karyawan pada tempat kerja itu, takterkecuali Haiva, kentara kena imbasnya.
Tapi meski Haiva nyaris tidak sanggup melihat matahari, beliau selalu mampu menemukanmataharinya sendiri. Hari itu mataharinya tiba ke ruangannya.
“Iva tadi nggak makan siang? Saya cari Iva. Ada yg harus diperbaiki menurut APRreport ini,” kata sang matahari ketika membuka pintu serta menemukan Haiva terdapat didalamnya.
Haiva mengalihkan pandangannya menurut kotak sampel. Dengan pipi yg menggembung,dia kaget sampai nyaris tersedak melihat si mentari yg begitu menyilaukan.
Buru-buru dan hati-hati Haiva berusaha secepat mungkin menelan kuliner yangmemenuhi mulutnya. Si mentari tertawa mini melihat tingkah Haiva.
“Kenapa nggak titip messenger aja, Pak?” tanya Haiva selesainya makanannyatertelan.
Sang matahari nir menjawab. Ia malah balik bertanya, “Iva makan apa?”
“Pak Haris mau?”
“Apa itu?” tanya Haris sembari meletakkan odner APR report di atas meja kerjaHaiva sambil melirik sepiring makanan pada atas meja itu.
“Bapak nggak memahami ini apa? Ini bakpao.”
“Saya memahami itu bakpao. Iva beli di mana?”
Teringat istilah-kata Nala bahwa bos besar mengidap Cheap-Food Alergy, Haiva jadimalas memberitahu si bos dimana ia membeli bakpao itu sebenarnya.
“Enak lho, Pak. Ini isi coklat. Ini isi daging ayam. Ini isi kacang ijo,” Haivamenunjuk satu per satu bakpao yang dibelinya. “Bapak mau yg mana?” Ia lalumengulurkan semuanya ke hadapan Haris.
“Iva beli di mana?”
Dengan cepat Haiva memutar otak dan menjawab dengan gaya cool, “Di toko roti diKelapa Gading. Tadi aku nggak sempat makan siang, jadi nitip sama Mbak AsriRegulatory yg lagi lunch-out untuk beliin ini.”
“Oh.”
Haris tampak mulai tertarik melihat bakpao-bakpao yang masih panas-mengepulitu.
“Ambil aja Pak.”
Sekali lagi Haiva menggoda Haris dengan menyodorkan bakpao-mengepul itu tepatdi depan paras bos akbar. Dan beliau berhasil. Haris terpesona serta mengambil sebuahbakpao isi daging ayam.
Tersenyum, Haiva meletakkan piring berisi bakpao-bakpao itu pada mejanya sambilberkata “Kalau Bapak suka , nanti ambil lagi aja. Jangan membuat malu-malu. Dihabiskanjuga nggak apa-apa. Saya tinggal dulu ya Pak.”
“Iva mau kemana?”
“Saya mau sampling cleaning validation (validasi terhadap proses pembersihanperalatan produksi obat.red) lagi Pak ke Produksi.”
Haiva merogoh sebuah bakpao coklat. Dan tanpa diduga Haris, gadis itu mampumemasukkan bakpao itu bulat-bulat ke mulutnya. Membuat Haris takjub.
Haiva menyambar kotak berisi sampling vial lalu pulang dengan pipi yangmenggembung. Gadis itu bergumam pamit pada bosnya menggunakan suara yang tidakjelas.
“Di Produksi tidak boleh makan, Iva! Telan sebelum masuk sana!” kata Haris sokgalak saat Haiva membuka pintu ruangannya serta keluar.
Haiva bergumam tak kentara. Di kembali punggung gadis itu, Haris tidak lagimenyembunyikan senyumannya. Ia takjub bahwa gadis berbadan kurus-mini ituternyata pipinya sanggup menggembung hingga sebanyak itu sehingga mampu memakansebuah bakpao sekaligus. Tidak heran gadis itu punya pipi yg tembem.
Dasar bakpao, gumam Haris sambil tersenyum memandang punggung yg menjauh itu.
Sementara itu, berjalan memunggungi Haris, Haiva mengunyah bakpaonya sambiltertawa pada hati. Kita lihat, gumamnya pada diri sendiri, apa besok pagi PakHaris sakit perut? Kalau nggak, berarti beliau nggak alergi sama makananpinggir jalan. Beliau cuma alergi sama makanan yg beliau memahami dibeli pada pinggirjalan. Selama dia nggak tahu darimana asalnya, dia nggak akan sakit perutkan?
Setelah menelan bakpaonya serta masuk ke gowning room (ruang ganti baju sebelummasuk ke ruang produksi obat-obatan), Haiva tertawa puas. Bakpao itu tadidibelikan oleh Rizal, si office boy, di tukang bakpao keliling yg sukamangkal pada belakang tempat kerja mereka.
.
.
“Kenapa?” tanya seorang lelaki yg sedang menyetir pada sebelahnya.
“Nggak apa-apa,” Haiva menjawab singkat.
Lelaki itu kentara tidak percaya.
.
.
Sudah lewat enam bulan sejak Arya memberitahu Haiva bahwa Lindamenerima lamarannya. Haiva mengira sesudah sekian lama , hatinya telah membaik.tapi ternyata ketika dua minggu kemudian ia mendapat undangan pernikahan berwarnahijau itu, ternyata hatinya tetap sanggup merasa perih. Bahkan sampai hari itu.hari pernikahan mereka.
.
.
Haiva sudah berdandan rapi hari itu. Mengenakan gaun birunya. Diaberharap tidak akan tampak mengenaskan nanti.
“Iva nanti makannya jangan banyak-poly ya!” perintah lelaki itu sambilmelirik Haiva. Berusaha mengalihkan perhatian gadis itu dari undanganpernikahan di tangannya.
Haiva memandang undangan itu buat terakhir kali, lalu memasukkannya kedalam tas tangannya.
“Kenapa, Pak?”
“Habis ini kan Iva harus temani saya makan malam.”
Haiva melirik Haris yg sedang fokus menyetir.
“Masa Iva aja yang makan malam. Saya tidak bisa tidur bila nir makan malam.”
“Lho? Bapak ikut masuk ke gedung resepsi kan? Kita makan malam di situ.”
“Nanti saya tunggu pada luar aja.”
“Kenapa?”
“Saya nir senang tiba ke program pernikahan.”
“Kenapa?” Haiva terus menuntut.
“Tidak suka saja.”
“Kalau gitu kenapa mau mengantar aku ?”
“Saya cuma mau mengantar Iva saja.”
“Buat apa mengantar aku kalau nggak ikut masuk? Saya pikir minggu kemudian Bapakmenawarkan diri buat menemani saya ke pesta pernikahan ini, bukan sekedarmengantar serta menunggu pada loka parkir?”
“Pokoknya aku menunggu pada parkiran.”
“Kalau tahu begitu saya nggak akan mau diantar Bapak.”
“Jadi Iva tidak mau menemani aku makan malam?”
“Ya nggak begitu, Pak. Tapi kan aku merasa nggak lezat . Masa Bapak udah jemputdan antar saya ke sini, akan tetapi cuma nunggu di loka parkir.”
Haris tertawa.
“Kalau gitu Bapak nggak usah nungguin saya. Saya pergi sendiri aja.”
.
.
Mobil Haristepat berhenti pada depan ballroom sebuah hotel tempat resepsi pernikahan Aryaberlangsung. Dengan kerlingan matanya, Haris menyuruh Haiva turun menurut mobilnya.
“Telepon aku kalau Iva sudah selesai. Saya jemput Iva pada sini lagi. Oke?”
“Pak?”
“Saya tunggu Iva,” begitu jawaban terakhir Haris. Tegas. “Iva masuk aja. Ingat,jangan makan banyak-poly.”
Haiva cemberut, menggembungkan pipinya.
Haris tertawa dan membelai pelan kepala Haiva. “Bakpao,” dia bergumam.
Haiva tersenyum kecut. Dia melangkahkan kakinya ke luar mobil sambil menggerutudalam hati Memangnya gue bisa punya nafsu makan pada pesta pernikahan laki-lakiyang gue cintai?
.
.
“Gimana tersebut?” tanya Haris sehabis Haiva kembali ke mobilnya.
Haiva tersenyum. Meski cahaya pada dalam kendaraan beroda empat pada malam hari hanya samar-samar,Haris yakin itu bukan senyum senang .
“Kenapa sih nggak mau masuk, Pak?” Haiva mengalihkan pembicaraan. Ia masihpenasaran.
“Saya nir senang saja.”
“Kenapa?”
“Ya nir kenapa-napa. Saya cuma tidak senang tiba ke program pernikahan. Sudahlama saya nir pernah tiba ke undangan pernikahan.”
“Pasti terdapat alasannya?”
Ada. Tapi saya nggak mau kasih memahami engkau . Kamu cuma akan mengasihani aku .
“Pak?”
Saya sudah muak dengan pertanyaan “kapan nikah” yg ditanyakan seluruh orangsaat pesta pernikahan. Dan bila saya tersebut ikut masuk, pertanyaan “kapannikah?” yang acapkali mereka tanyakan padamu akan berubah menjadi pertanyaan“datang sama ayahnya ya?”. Pertanyaan semacam itu akan membuat engkau memalukan beradadi samping aku .
“Jadi kalau nanti saya nikah, Bapak pula nggak mau tiba meski aku undang?”
Haris menoleh cepat. Untung saat itu sedang lampu merah. Lelaki itu kehilangankonsentrasinya sesaat. Dia tidak menganggap Haiva akan bertanya begitu.
“Tidak,” jawab Haris tanpa basa-basi.
Haiva juga nir menduga bosnya akan menjawab sefrontal dan setegas itu. Danmenerima jawaban itu, Haiva merasa ada yang berdesir pada rongga dadanya danmenekan paru-parunya.
Tanpa bisa dicegah, dan tanpa memahami kenapa, Haiva murung mendengar jawaban Haris.
Kalau nanti kamu menikah, semoga tidak mengundang saya. Semoga saya yang beradadi samping kamu.
.
.
Dear Boss,
Maaf. Aku sama sekali tidak berniat mengundangmu ke resepsi pernikahanku. Akuberharap engkau serta aku yg mengirimkan undangan itu kepada orang-orang. Apa akuketerlaluan?
.
.
Cerpen Karangan : Nia Putri


Blog Pengarang : niechan-no-sensei.blogspot.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel