CERPEN PRAMUKA DIANTARA NADANADA DAN SPEKTRUM WARNA TIARA AMANDA


BELAJAR PRAMUKA - Gelap. Hitampekat. Tiada warna, tiada cahaya. Itulah pemandangan yg selalu menemaniku disetiap hari. Memang nir mudah terlahir menjadi tuna netra, terbiasa dengankegelapan yg mencekam, tanpa celah bagi cahaya buat masuk. Aku bencikeadaanku ini. Aku benci terlahir seperti ini. Ada poly hal yang inginkulakukan, banyak hal yg ingin kucoba, tetapi kekuranganku ini selalumenghambatku, selalu menghalangiku menurut mencapai apa yg ingin kucapai.
.
.
Sembari mengehela napas panjang, saya melanjutkan perjalanankumenyusuri lorong. Aku telah menghapal setiap belok dan likuk sekolahku itu,sehingga saya nir lagi membutuhkan siapapun buat memanduku di dalamlingkungan sekolah.
Aku mengulurkan tanganku ke samping, merasakan dinginnya bagian atas ventilasi yangberada dalam kiriku. Langkahku melambat.
.
.
Sunyi senyap. Aku nir tahu pasti jam menunjukkan pukul berapasaat itu, tapi saya konfiden mentari sudah terbenam. Kehangatan sinar matahari yangbiasa kurasakan berdiri pada samping ventilasi tersebut telah lama memudar.
Kegelapan. Gelaplah yg kulihat. Dingin pula yang kurasa. Aku benci perasaanini.
.
.
Ini benar-benartidak adil. Anak-anak lain seumuranku bisa melakukan banyak sekali hal yg merekasukai. Mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Aku? Berjalan darirumah ke sekolah saja aku masih wajib ditemani ibuku.
Kekosongan yang amat hebat sering kali menghantam dadaku. Kekosongan yangmuncul akibat kekuranganku ini. Sering terlintas dalam benakku, perubahan macamapa yg bisa terjadi pada hidupku apabila saya dianugerahi pengelihatan?Akankah aku menjalani keihdupan yang sahih-sahih tidak sinkron dari yg sedangkujalani sekarang? Dapatkah aku hidup seperti anak-anak lainnya seumuranku?Akankah saya sebagai lebih senang ?
.
.
Aku berhenti berjalan, menarik napas panjang dan berdiri mematunguntuk waktu yg lama . Saat itulah saya sadar bahwa langkah kaki serta napaskubukan satu-satunya bunyi yang mengisi kesunyian lorong tadi. Aku menajamkanpendengaranku. Mereka mengatakan, ketika seorang mempunyai kelemahan pada salahsatu inderanya, inderanya yang lain otomatis akan bekerja lebih tajam. Mungkinpernyataan tersebut benar, lantaran pendengaranku memang jauh lebih tajam danjelas dibandingkan pendengaran orang-orang lain di sekitarku.
.
.
Melodi yang indah memenuhi gendang telingaku, samar akan tetapi jelas.suara piano seketika meredam kesunyian yang hampir menelanku hidup-hayati. Nadayang dimainkan energetik dan bergairah, membuatku melupakan duka dankegelisahan yang baru saja kurasakan pada hitungan dtk. Aku menoleh kebelakang, terpancing oleh permainan yang begitu latif serta menyentuh hati.lekas, aku memutar tubuhku serta melangkah maju.
.
.
Satu-satunya ruangan dengan piano pada sekolah ini hanyalah ruangmusik serta naluriku berteriak agar aku segera berkiprah dan menemukan sumbermelodi tadi.
.
.
Apa yg akan kulakukan waktu aku menemukan asal suaratersebut? Akankah aku mendobrak masuk ruang musik serta memperkenalkan dirikepada oleh maestro yang bermain sebegitu indahnya? Atau akankah saya menunggudi depan ruangan dan mendengarkan permainannya diam-diam misalnya seorangpenguntit yang mempunyai terlalu banyak saat buat dibuang? Kedua ilham terdengarsangat buruk di benakku.
.
.
Kupercepat langkahku, menggunakan tangan kirku untuk menelusuridinding pada sebelahku sebagai satu-satunya pemandu yg bisa mengantarkanku keruang musik. Nada-nada piano terdengar semakin vibran serta jelas pada setiaplangkah yg kuambil.
.
.
Aku berhenti saat nada-nada tersebut terdengar begitu nyaring ditelingaku. Tanganku meraba permukaan pintu yg mengarah kepada asal meloditersebut. Ketika kukira lagu telah berakhir, jari-jari sang pianis kembalimenari-nari pada atas tuts piano, mengeluarkan bunyi-suara indah yg memikat.aku terpaku, mulut menganga takjub.
.
.
Sang pianismemainkan lagu yang tidak sama, lagu yang terdengar begitu melankolis serta indah ditelingaku. Dibandingkan lagu yang pertama, lagu ini jauh lebih lembut danlambat. Aku bisa merasakan hatinya, mencicipi perasaannya yg begitu lembutdan halus di setiap nada yang beliau mainkan. Permianannya menaruh kesan bahwaia sedang mencurahkan seluruh hatinya pada lagu yang dia mainkan. Kututupmataku perlahan, sebuah gerakan yg tentunya nir akan mengubah apapun.
.
.
Dari kecil, saya selalu menyukai musik, terutama musik klasik.musik merupakan satu-satunya hal yg bisa kunikmati sepenuhnya tanpapengelihatanpun.
.
.
Seketika, kegelapan yang seharusnya terasa akrab pada mataku berubahmenjadi sesuatu yg begitu asing. Lantunan melodi yang memenuhi telingakubegitu vibran, begitu berwarna. Jika kuberkata bahwa aku telah menemukandefinisi rona pada setiap melodi yang mengalun pada lagu ini, nir akan adayang percaya. Namun itulah yg kurasa, itulah yg kulihat. Lagu ini berbedadari lagu-lagu lainnya yg pernah kudengar. Semua aspek dalam lagu inidimainkan dengan begitu tulusnya, begitu indahnya. Lagu tadi diakhiridengan latif, mengundang kembali kesunyian.
.
.
Kubuka mataku. Kegelapan balik menyambutku, kegelapan yangkutahu nir akan pernah meninggalkanku, ditemani oleh sunyi yg membawasesak. Kekecewaan melanda waktu bunyi piano yg tadinya membanjiri lorongkembali ditelan kesenyapan.
.
.
“Hei.” Sebuah bunyi memanggil menurut pada ruangan. Aku membeku,jantung berdegup keras. “Aku udah lihat kamu, jadi kamu gak perlusembunyi-sembunyi lagi.” Suara tadi mengulang, pada serta serak. Akumematung di depan pintu, terkejut.
“Masuk aja.” Ujar bunyi itu, dingin. Bingung, aku memutar kenop pintu dihadapanku serta melangkah masuk ke ruangan tersebut. Aku berdiri dengan canggung,membelakangi pintu. Entah mengapa saya memilih buat mengikuti perkataan suaratersebut dengan patuh. Kesunyian memenuhi ruangan, membuatku menduga akulahsatu-satunya orang di ruangan tadi.
“Gimana?” Suara tersebut berkata, lebih lembut kali ini.
“Gimana apanya?” Tanyaku gundah.
“Gimana permainan pianoku?” Suaranya pada dan terdengar begitu kentara ditelingaku. Pertanyaan tersebut mengejutkanku. Aku membuka mulutku untukmenjawab, namun nir ada sepatah katapun yang dapat kulontarkan. Tak kutemukansatu katapun yg dapat menggambarkan permainannya yg begitu indah.
“Sebagus itukah permainanku? Sampai engkau nir bisa menyampaikan-istilah?” Suaratersebut datang-tiba terdengar ringan, serta saya bisa membayangkan senyum yangmerekah di bibir pemilik suara tersebut. Ia benar-sahih membacaku. Akumengangguk, degup jantungku melambat. Suara tadi tertawa, tawa hangat yangmemenuhi ruangan seketika. “Atau kamu terkejut seseorang cowok seperti aku bisamain piano seperti itu?” Candanya lagi. Aku menggeleng. Suara tersebut diamuntuk ad interim, aku mendengar langkah kaki dan bunyi piano menutup.
.
.
“Kamu sudah terselesaikan main?” Tanyaku canggung, kekecewaan terdengardalam suaraku.
“Ini telah jam berapa? Kamu mau aku tetap pada sekolah hingga malam? Aku mau pergi.”Ujarnya datar. Aku diam, canggung. Aku permanen berdiri misalnya patung pada dekatpintu, merasakan langkah kaki yang ringan mendekatiku.
“Aku main setiap hari kok. Jadi jikalau kamu mau, engkau sanggup datang lagi besok.mungkin saya mampu mengajarimu cara bermain juga.” Ia mengatakan, mengejutkanku. Akudapat merasakannya berdiri pada hadapanku. Ini pertama kalinya seseorangmenawarkan diri buat mengajarkanku cara bermain indera musik. Tawaran sepertiini nir pernah kujumpai sebelumnya. Siapa sih yg mau mengambil tanggungjawab buat mengajarkan seroang tuna netra bermain piano? Aku terkesiap.
“Aku tidak keberatan kok.” Suara tadi meyakinkanku menggunakan hangat.
Aku mencoba buat mengarahkan pandanganku menuju sumber suara tadi. Di saatitu jua, aku memutuskan bahwa saya menyukai pemilik suara tersebut.
“Bagaimana?” Ulangnya. Aku tersenyum menggunakan lebar, sebelum menganggukkankepalaku dengan antusias. Aku akan melakukan apa saja buat mendengarpermainannya sekali lagi. Ia tertawa kecil, sebelum menepuk pundakku danberjalan melewatiku, keluar dari ruang musik serta meninggalkanku sendiri.
.
.
Perasaanku bercampur campurkan dan kocok, sebuah dampak samping dari pertemuankudengan sang pianis tersebut dan permainan pianonya yg luar biasa. Aku bergerakmenuju grand piano yg bertengger pada tengah ruangan, meraba-raba sekitarku.aku membuka tutup piano serta duduk pada atas kursi di hadapannya. Perasaan inibegitu asing bagiku, yg nir pernah menyentuh indera musik apapun seumurhidup. Tidak sedikit orang yg memberitahuku untuk tidak membuang-buangwaktuku menggunakan bermain indera musik. Mereka tidak pernah memberitahuku mengapa,tetapi aku dapat mengira karena.
Kekuranganku ini memang seringkali kali menghambatku pada mencoba hal-hal baru danmelakukan hal-hal yang anak-anak lain seumuranku bisa lakukan. Pemikiranseperti inilah yg jua meyakinkanku bahwa saya nir mampu melakukan apa-apaakibat kekuranganku.
.
.
Aku meletakkan tasku pada lantai serta mengulurkan tanganku untukmenekan nada pada atas piano.
Rasa memalukan serta gugup membanjiriku, tetapi apa salahnya memainkan beberapa nadasecara sembarangan? Toh, telah nir terdapat orang pada sekolah. Aku memencet nada,satu persatu, mendengarkan bunyi yg dikeluarkan menggunakan penuh perasaan. Lalupikiranku pulang ke pemuda yg kutemui barusan, bagaimana permainan pianonyamenunjukkan perasaan yg paling pada, membuatku merasa seperti saya telah lamamengenalnya. Bagaimana permainannya menunjukkan banyak sekali spektrum rona untukmuncul dalam mata benakku yg hanya mengenal kegelapan.
Aku menelan ludah.
Aku ingin bermain tampaknya. Aku ingin mengutarakan perasaanku, mengutarakanisi hatiku melalui nada-nada yg kumainkan. Aku ingin membuat orang-orang disekitarku melihat warna-warna asing yg tidak pernah mereka lihat sebelummnya.jari-jariku menari lebih cepat pada atas piano, berusaha keras buat melahirkankembali nada-nada yang kudengar. Dunia pada sekitarku meluas menggunakan setiap nadayang kumainkan.
.
.
Aku mencoba buat mengingat nada-nada yang sang pianis mainkan,menurut nada tinggi yg energetik dan penuh gairah, hingga menggunakan nada rendahyang lembut dan melankolis. Aku mencoba setiap nada di piano dan menyamakannyadengan apa yg kudengar barusan. Benakku dipenuhi dengan perkataan orang-oranglain pada sekitarku yg seluruh mengatakan hal yang sama. Semua secara nir langsungmengatakan bahwa saya tidak bisa. Bahwa kekuranganku ini menghambatperkembanganku. Bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa.
.
.
Nada-nada yang kumainkan berantakan, jauh berdasarkan cara oleh pianisbermain. Namun aku tidak peduli. Kumainkan terus bagian-bagian yangmeninggalkan kesan terdalam pada hatiku. Ini kali pertama saya menyentuh sebuahpiano, tetapi nada-nada yg kukeluarkan tidak seburuk yg kukira.
.
.
Tiba-datang, pintu ruang musik terbuka, mengeluarkan suara nyaringyang mengagetkanku. Serentak, aku mengangkat kedua tanganku berdasarkan atas piano danmenoleh ke belakang, menajamkan pendengaranku. Entah siapa yg memasukiruangan, namun orang tersebut pribadi berjalan menuju tempatku terdudukdengan langkah yang lebar dan konfiden.
“Kamu.” Aku langsung mengenal suara tersebut, bunyi lelaki yg baru sajamenyentuh hatiku melalui permainan pianonya. Ia balik , entah buat apa.
“Ya?” Aku menggagap, mendadak kembali gugup. Apakah dia mendengarkan permainanpianoku barusan? Apabila iya, habis sudah diriku. Aku menunduk, berusaha untukmenyembunyikan wajahku.
“Kamu yang barusan main?” Tanyanya. Suaranya yg tadinya kalem dan hening,membuatnya terdengar sangat percaya diri, berubah total. “Kamu kan yang barusanmain?” Desaknya lagi, suaranya diwarnai keterkejutan. Aku mengangguk perlahan.
“Aku hanya ingin mencoba bermain sepertimu.” Aku mengungkapkan pelan, entah mengapamerasa seperti seorang anak yang sedang dihukum atau diceramahi.
“Ini bukan pertama kalinya engkau bermain piano kan?” Pertanyaannya mulai tidakmasuk logika.
“Iya, ini pertama kalinya saya menyentuh sebuah piano.” Aku menjawab, mengakhirijawabanku dengan tawa canggung. “Memangnya kenapa?” Separah itukah permainanku?Ia nir mengeluarkan sedikitpun suara buat sepersekian dtk, membuatkubertanya-tanya apakah dia telah pulang.
“Kok kamu sanggup eksklusif bermain misalnya itu?“ Ia terdengar terkesima, pujiannyamembuatku merasa jauh lebih baik.
“Aku hanya mengulang kembali permainanmu barusan pada kepalaku. Lalu aku cobauntuk mainkan di atas piano.” Jelasku, mencoba untuk nir terdengar sombong.apakah hal seperti ini jarang terjadi? Aku memang mempunyai telinga yangtajam dan ingatan yg baik.
“Kamu sahih-benar berbakat!” Ujarnya datang-datang. Membutuhkan waktu yg lamabagiku untuk mencerna istilah-ucapnya, diam dengan verbal menganga. Permainanasal-asalan barusan itu sebuah talenta pada matanya? Atau mungkin dia hanya inginmenyanjungku saja? Mungkin dia merasa iba dan mengasihaniku yang mencoba begitukeras buat bermain tampaknya?
Mungkin lantaran raut wajahku saat itu memberitahuakn ketidak-percayaan yg begituhebat, oleh pianis kembali melanjutkan istilah-pungkasnya.
“Aku tidak dusta . Kamu itu jenius ya? Aku membutuhkan lebih dari setahun untukmenyempurnakan lagu itu serta engkau hanya membutuhkan beberapa mnt sehabis mendengarkanlagu tadi buat memainkannya!” Ia berseru. Aku bisa mencicipi kekagumannyayang lapang dada menurut caranya berbicara, menciptakan jantungku berdegup lebih kencang.
“Terima kasih. Tapi permainanku tersebut… Memangnya sebagus itu? Perasaan masihsangat rancu dan berantakan.” Ujarku ragu. Pendengaranku yg setajampendengaran anjing bisa membedakan seberapa akbar disparitas antara permainankami berdua. Bagaikan langit dan bumi.
“Yah, levelnya masih jauh sih dari permainanku…” Ia berkata, nada suaranyapenuh canda. Kami tertawa ringan sebelum ia melanjutkan. “Tapi kan saya memangsudah dilatih bermain piano selama bertahun-tahun. Kamu! Kamu baru mendengarsekali saja sudah tahu nada-nada utama yang dimainkan! Bagaimana kaumelakukannya?” Pujinya sekali lagi. Aku hanya tersenyum mini .
“Aku tersebut mencoba-coba semua nada yg terdapat pada piano. Lalu saya ingat-ingatkembali beberapa bagian dari permainanmu tadi serta mencoba buat memainkan nadayang pas buat mengulang lagu tersebut.” Aku mendengar bunyi nyaring tepuk tangan lelakidi hadapanku.
“Kamu jenius!” Suara tersebut menggelegar. Dari caranya berbicara, caranyamengutarakan kekagumannya padaku, aku bisa menyimpulkan bahwa beliau sangatserius pada mendalami musik, serta bahwa yang kulakukan barusan bukanlah sesuatuyang biasa. “apabila kamu belajar dengan seseorang profesional, bayangkan apa yangbisa kamu lakukan!” Mendengarnya, saya seketika menggeleng-gelengkan kepalaku,tidak setuju.
“Lho? Mengapa nir?” Tanyanya bingung. Aku terdiam, mencoba buat mencarikata-kata yg tepat buat menjawab pertanyaan sederhananya. Kesunyian yangmemekakan indera pendengaran mengisi udara.
“Aku buta.” Ujarku dengan bodohnya, rasa memalukan serta benci yg ditujukan kepadadiriku sendiri mulai muncul satu persatu. Tentu saja ia mengetahui bahwa akubuta. Aku baru saja membuat situasi ini lebih canggung dan nir nyaman bagikami berdua dengan dua kata tadi. Aku kira pemilik suara itu akan memintamaaf, atau mulai memberitahuakn rasa iba terhadap kondisiku yang menyedihkan ini.aku galat.
“Apa kaitannya?” Tantang suara itu dengan lancang. Aku tidak bisa menemukansuaraku. “Jawab aku . Apa kaitannya?” Aku membuka lisan buat menjawab, namunmenutupnya lagi, berpikir keras. Apa kaitannya? Pertanyaan tersebut membuatkumerasa lebih udik. Ini benar-benar hari yang panjang dan melelahkan.
“Aku buta. Mana sanggup saya bermain piano seperti kalian seluruh yang memilikipengelihatan?” Jawabku, datang-datang kesal. Kesal terhadap apa, aku tidak tahu.aku benci kabar bahwa jauh di dalam hatiku, saya ingin bermain piano. Aku inginmenciptakan nada-nada yang melebur sebagai suatu melodi yg bisa menyentuhhati poly orang. Terlebih lagi, aku ingin jatuh cinta menggunakan musik itusendiri. Namun bagian diriku yg lebih secara umum dikuasai selalu mengatakan “Tidak. Kamutidak mampu.”
“Justru itu! Kamu mungkin nir mampu bermain piano seperti kita yg bisamelihat. Tapi itulah yang membuatmu khas!” Ia terdengar sama frustrasinyadenganku. “Kamu bisa main menggunakan gayamu sendiri. Gaya yg berbeda darikebanyakan orang pada luar sana. Aku telah mendengar caramu bermain barusan dankamu itu benar-benar berbakat.”
“Tapi, akan sangat sulit bagiku buat bermain piano. Aku nir bisa melihatnada-nadanya. Aku bahkan nir memahami seperti apa bentuk sebuah piano!” Bantahku.
“Kamu nir wajib melihat sebuah piano buat memainkannya. Ada banyak pianisbuta pada luar sana yg sanggup bermain piano berpuluh kali lipat lebih baikdibandingkan mereka yang bisa melihat. Apa yang membuatmu merasa kamu tidakbisa?” Kata-pungkasnya menumbuhkan rasa percaya diri di pada diriku.
“Menurutmu aku bisa?” Tanyaku, setengah nir konfiden. Belum pernah saya menemuiseseorang yg begitu konfiden akan kemampuanku. Belum lagi ia baru sajamengenalku.
“Ya jika saya pikir kamu tidak bisa, buat apa aku lari pulang ke ruang musiksetelah memutuskan buat pergi?” Tanyanya. Tanpa melihat raut wajahnya, akubisa menganggap bahwa beliau sedang tersenyum. Tanpa kusadari, sebagai sulit bagikuuntuk menahan senyuman di bibirku.
“Jangan abaikan kekuranganmu membatasi potensimu yang sesungguhnya.”Kata-ucapnya kuresapi satu persatu, membangun rasa percaya diri serta keberaniandi pada diriku. “Kamu mempunyai bakat yg nir seluruh orang miliki. Kamu harusyakin dengan kemampuanmu!” Mendengar hal itu, saya tidak bisa menyembunyikanrasa bangga yg datang-datang muncul dalam diriku, saya merasa aku mampu melakukanapa saja.
.
.
“Bagaimana? Maukah engkau coba bermain?” Ia bertanya sekali lagi,sekarang lebih berfokus.
Aku menoleh ke arahnya, senyuman lebar merekah pada bibirku.
Tak kusangka, satu rendezvous dapat membarui segalanya pada hidupku.
.
.
Cerpen Karangan : Tiara Amanda


Halaman Pengarang : www.cerpenmu.com/penulis/tiara-amanda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel