DI SEBUAH BANGKU SEMEN IKA SEPTI CERPEN
Wednesday, January 9, 2019
Edit
BELAJAR PRAMUKA - Lara menatap bangku semen itu berdasarkan kejauhan, bangku yg selalu menjadi singgasananya yg nyaman. Ia merasa tentram duduk pada sana dalam kesendirian. Menikmati desau angin yg membelai belai wajah muramnya serta membaui wangi lembab rerumputan, ditemani sebuah novel yang baru saja beliau pinjam dari perpustakaan.
Suatu hari, seluruh itu buyar waktu ada seorang yang berani menduduki bangku semen yang lain di depan singgasananya. Seseorang yang sama sekali asing baginya. Seseorang yang entah tiba darimana. Seseorang yang telah merubah singgasananya yg nyaman pulang menjadi bangku semen seperti sedia kala.
Dia duduk disana. Bersandar pada tembok gedung sembari meluruskan kakinya yang terbalut sepatu kets merah menggunakan warna yang telah memudar. Rambut gondrongnya terlihat acak acakan misalnya tidak pernah tersentuh sisir.
Sebenarnya Lara ingin pergi berdasarkan sana, tapi egonya mendadak bagai paku paku yg menancapi sekujur kakinya dan memaksanya buat bertahan pada sana. Mempertahankan posisi nyamannya. Lara bergeming.
Sebenarnya Lara ingin pergi berdasarkan sana, tapi egonya mendadak bagai paku paku yg menancapi sekujur kakinya dan memaksanya buat bertahan pada sana. Mempertahankan posisi nyamannya. Lara bergeming.
Pemuda berkets merah itu masih di sana, dengan kalem memainkan gelang persahabatannya. Sesekali menggaruk garuk kepalanya yang mungkin tak gatal.
Lara memahami pemuda itu memandanginya, tapi Lara tak sedikit pun ingin kembali memandangnya. Lara kemudian memegang novelnya erat erat, beliau tidak ingin pemuda itu menganggu rutinitasnya.
Tiba tiba pemuda berkets merah itu mulai bersuara.
Lara memahami pemuda itu memandanginya, tapi Lara tak sedikit pun ingin kembali memandangnya. Lara kemudian memegang novelnya erat erat, beliau tidak ingin pemuda itu menganggu rutinitasnya.
Tiba tiba pemuda berkets merah itu mulai bersuara.
“Ternyata di sini memang enak jua ya untuk nongkrong, pantes aja kamu betah duduk berjam jam di sini.” Dia berbicara menggunakan pandangan lurus ke jalanan kampus yg sepi tanpa sedikitpun menengok ke arah Lara.
Lara meliriknya dengan lirikan kejamnya.
Memangnya siapa engkau yg telah berani beraninya mengobservasiku.
Pemuda itu seakan tidak terganggu dengan aksi bisu Lara, ia hanya tersenyum, mengeluarkan rok*k putihnya dan mulai menyalakannya menggunakan sebuah korek barah brand ternama.
Lara mendengus kesal, asap rok*k selalu menjadi musuhnya. Lara sudah relatif kenyang menggunakan asap knalpot bus kota dan angkot yg setiap hari mengantarnya ke kampus, beliau tak perlu menerima tambahan asap lagi menurut orang yang sekarang duduk bersila di atas bangku semennya.
Lara berkemas menggunakan segera, meninggalkan pemuda itu menggunakan asap rok*knya yang mulai mencemari udara sekitarnya.
Lara mendengus kesal, asap rok*k selalu menjadi musuhnya. Lara sudah relatif kenyang menggunakan asap knalpot bus kota dan angkot yg setiap hari mengantarnya ke kampus, beliau tak perlu menerima tambahan asap lagi menurut orang yang sekarang duduk bersila di atas bangku semennya.
Lara berkemas menggunakan segera, meninggalkan pemuda itu menggunakan asap rok*knya yang mulai mencemari udara sekitarnya.
—
Lara merasa lega, lantaran siang itu ia tidak melihat si kets merah berada di sana. Itu berarti beliau nir akan mendapat gangguan sedikit pun berdasarkan pemuda bertubuh kurus itu. Lara melangkahkan kakinya dengan ringan ke arah singgasananya, mendaratkan tubuhnya menggunakan elegan, serta mulai membuka novelnya.
Lara menghisap juz alpukat berdasarkan sedotan yg menyembul berdasarkan bungkusan plastiknya, ad interim ada beberapa tetes air yang membasahi halaman novelnya yang dia usap dengan segera.
Bagi Lara bangku semen itu merupakan sahabat baiknya, sahabat yg sangat mengerti dirinya. Teman yang tidak pernah berkeluh kesah akan gaya baju, gaya rambut, bahkan gaya berbicara. Teman yg nir pernah mewaspadai dan menyalahkannya.
Teman yg menemaninya secara lapang dada bukan hanya karena menginginkan sesuatu darinya. Teman yg tidak pernah meninggalkannya demi seseorang lainnya.
Lara menghisap juz alpukat berdasarkan sedotan yg menyembul berdasarkan bungkusan plastiknya, ad interim ada beberapa tetes air yang membasahi halaman novelnya yang dia usap dengan segera.
Bagi Lara bangku semen itu merupakan sahabat baiknya, sahabat yg sangat mengerti dirinya. Teman yang tidak pernah berkeluh kesah akan gaya baju, gaya rambut, bahkan gaya berbicara. Teman yg nir pernah mewaspadai dan menyalahkannya.
Teman yg menemaninya secara lapang dada bukan hanya karena menginginkan sesuatu darinya. Teman yg tidak pernah meninggalkannya demi seseorang lainnya.
Tiba datang pendengaran Lara menangkap bunyi suara gaduh yg dari dari gedung di seberang tempatnya berada. Lara mendongakkan wajahnya, terlihat poly orang yang mulai keluar berdasarkan gedung itu. Rupanya ada perkuliahan sore yang telah usai. Gelak tawa dan teriakan bersahut sahutan. Sudah usang Lara nir mengalami hal hal misalnya itu. Tawanya telah berganti menggunakan kemurungan. Teriakannya sudah berganti dengan kebisuan. Semuanya karena sebuah pengkhianatan menurut orang orang terdekatnya. Lara telah usang mengubur semua kebahagiaannya. Kebahagiaan yang telah mengaburkan semua makna yg terdapat di dalamnya. Kebahagiaan yang lalu menghempaskannya ke titik terendah akan sebuah arti kekecewaan.
Suara bunyi itu perlahan usai, Lara balik menekuri novelnya. Tatapan matanya hilir mudik mengikuti baris kalimat yang tertera pada sana. Tiba datang berdasarkan sudut matanya ia melihat sepasang sepatu kets merah berkelebat, Lara memicingkan matanya meyakinkan apa yang baru saja dilihatnya.
Lara mengikuti kemana si kets merah pulang. Ia berhenti di bangku semen di depannya. Alih alih balik menekuri novelnya, Lara diam membisu mulai waspada menggunakan eksistensi si kets merah di sana.
Lara mengikuti kemana si kets merah pulang. Ia berhenti di bangku semen di depannya. Alih alih balik menekuri novelnya, Lara diam membisu mulai waspada menggunakan eksistensi si kets merah di sana.
“Kamu memahami, tadi aku dibantai pak Iwan lantaran kamu”
Lara mengerutkan keningnya tatapannya masih tertuju ke lembar kertas berwarna kekuningan itu. Bahkan seorang yg tidak mengenalnya, telah menyalahkannya karena hal yg tidak diperbuatnya.
Lara mengerutkan keningnya tatapannya masih tertuju ke lembar kertas berwarna kekuningan itu. Bahkan seorang yg tidak mengenalnya, telah menyalahkannya karena hal yg tidak diperbuatnya.
Mengapa orang orang ini begitu gampang menuduhku.
Tanpa menunggu jawaban Lara, beliau pun melanjutkan istilah pungkasnya.
“Karena selama 30 mnt jam kuliah terakhir, kepalaku gak sanggup berpaling dari ventilasi.” Si kets merah tertawa tanggal.
“Pemandangan pada luar ventilasi lebih menarik di banding goresan pena tangan pak Iwan di whiteboard.” Si kets merah melirik Lara.
Kening Lara kembali berkerut, mulutnya terkunci rapat.
“Karena selama 30 mnt jam kuliah terakhir, kepalaku gak sanggup berpaling dari ventilasi.” Si kets merah tertawa tanggal.
“Pemandangan pada luar ventilasi lebih menarik di banding goresan pena tangan pak Iwan di whiteboard.” Si kets merah melirik Lara.
Kening Lara kembali berkerut, mulutnya terkunci rapat.
Mau apa kamu, mengapa kamu pura pura beramah ramah denganku, aku benar benar gak butuh itu seluruh.
“Lagi baca apa?”
Lara menatap pemuda yang tengah mengikat rambut gondrongnya itu sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya.
“Aku boleh tahu nama kamu?” Tanya si kets merah lagi. Tapi Lara mengacuhkannya, dia masih tertunduk di hadapan novelnya yg sekarang alfabet hurufnya telah berlarian entah kemana.
“Sorry ya jikalau aku poly nanya sama engkau .” Akhirnya si kets merah menyerah.
Lara menatap pemuda yang tengah mengikat rambut gondrongnya itu sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya.
“Aku boleh tahu nama kamu?” Tanya si kets merah lagi. Tapi Lara mengacuhkannya, dia masih tertunduk di hadapan novelnya yg sekarang alfabet hurufnya telah berlarian entah kemana.
“Sorry ya jikalau aku poly nanya sama engkau .” Akhirnya si kets merah menyerah.
Ya, menyerahlah karena aku nir akan pernah berbicara menggunakan engkau barang satu kata pun.
Tak usang si kets merah mengeluarkan sesuatu dari tas gendongnya. Sebuah kitab notes yg jilidnya berupa dawai berbentuk spiral. Ia membuka lembarannya dan mulai menuliskan sesuatu disana. Lara membisu membisu memperhatikannya. Kini si kets merah memejamkan matanya, jemarinya beranjak mobilitas begitu jua kakinya, seakan akan mengikuti irama musik yg bahkan tidak dia dengarkan. Lalu beliau kembali menuliskan sesuatu pada buku notes itu.
Ditengah aksi melirik diam diamnya, datang datang Lara dikejutkan menggunakan bunyi benda yg terjatuh, rupanya novel yang tadinya terdapat di pangkuannya sekarang sudah tergeletak di dekat kakinya. Si kets merah sekonyong konyong menatap Lara, serta tersenyum. Alih alih membalas senyumnya, Lara eksklusif berkemas dan berkecimpung pulang berdasarkan loka itu.
Ditengah aksi melirik diam diamnya, datang datang Lara dikejutkan menggunakan bunyi benda yg terjatuh, rupanya novel yang tadinya terdapat di pangkuannya sekarang sudah tergeletak di dekat kakinya. Si kets merah sekonyong konyong menatap Lara, serta tersenyum. Alih alih membalas senyumnya, Lara eksklusif berkemas dan berkecimpung pulang berdasarkan loka itu.
Ini adalah hari ketiga, dimana si kets merah duduk di bangku semen itu. Kekerasan hati Lara buat bertahan di bangku semennya, sudah membuatnya duduk diam pada sana sepanjang sore itu. Lara tidak akan menyerah buat menaruh singgasananya kepada pemuda itu, tidak sedikitpun.
“Kamu suka musik? Dengerin lagu?” Si kets merah mengeluarkan sebuah walkman dari pada tas gendongnya.
Ya, musik selalu membuatku merasa nyaman.
“Kamu mau dengar demo lagu yang saya buat?”
Ya, musik selalu membuatku merasa nyaman.
“Kamu mau dengar demo lagu yang saya buat?”
Ah, rupanya anak band.
“Gak poly sih, tapi tidak mengecewakan lah bisa pada bikin kecil album.”
“Tapi nanti aja deh. Ada satu lagu yang belum terselesaikan,” lanjut si kets merah tanpa beban.
“Tapi nanti aja deh. Ada satu lagu yang belum terselesaikan,” lanjut si kets merah tanpa beban.
Siapa jua yang mau dengerin demo musik engkau .
Kini si kets merah mulai mengoceh mengenai musik yg ia sukai, event musik yang beliau hadiri serta teman teman band yg telah mengkhianatinya demi sebuah popularitas.
Hmm.. Pengkhianatan memang selalu menyakitkan bukan?
Diantara ocehan si kets merah yg mengalir deras bagai pipa PDAM yang bocor, mata Lara menangkap dua sosok yg tengah berjalan kalem di kejauhan. Mantan teman dan mantan pacarnya. Mereka terlihat sangat bahagia seakan global hanya milik mereka berdua.
Dulu Lara sangat mempercayai Resti sahabatnya, semua hal selalu ia ceritakan pada gadis berparas ayu itu. Tapi ternyata, semua agama yg telah dia sematkan pada dada Resti itu sudah dibalas dengan kepahitan. Resti yg selama ini selalu anggun di depannya, mendadak berubah sebagai racun yg mematikan. Ya, mematikan kebahagiaannya. Mematikan seluruh pengharapan akan sebuah hubungan antara 2 anak insan. Rega sama saja, beliau tidak ubahnya hanyalah seonggok daging tanpa perasaan. Hati Lara musnah berkeping keping ketika mengetahui Rega menyatakan cintanya kepada Resti di belakang gedung kuliah mereka, bahkan sebelum terdapat istilah berpisah di antara mereka berdua. Dan Resti? Tentu saja Resti menyambutnya, lantaran itulah yang memang diinginkannya. Sejak peristiwa itu, nir ada lagi keceriaan yg tersisa pada diri Lara. Lara yg dulu sangat terbuka kini mulai menutup dirinya, dan selalu mencurigai setiap orang yg ingin mendekatinya. Baginya semua orang sama saja, berusaha dekat bila mereka menginginkan sesuatu darinya.
Lara menggigit bibirnya, sementara si kets merah memandangi dua orang yang sedang berjalan di kejauhan kemudian menatap wajah Lara yang terlihat kusut masai.
Lara menggigit bibirnya, sementara si kets merah memandangi dua orang yang sedang berjalan di kejauhan kemudian menatap wajah Lara yang terlihat kusut masai.
—
Lara kesal, mengapa si kets merah selalu datang sehabis beliau duduk nyaman di singgasananya. Mengapa ia tidak datang sebelum dirinya, sebagai akibatnya dia mampu mengacuhkan loka itu serta melenggang pulang. Bila si kets merah terdapat di sana sebelum dirinya, setidaknya bangku semen itu tidak akan terlihat menarik lagi.
Tidak seperti umumnya, sekarang Si kets merah duduk diam bagai patung Ganesha. Lara diam diam melirik wajah yg sekarang terlihat muram itu. Angin menyibakkan rambut gondrongnya yg terlihat lebih rapi berdasarkan umumnya, Lara sejenak membeku ketika melihat sebuah memar kebiruan pada kurang lebih pelipis matanya. Terlihat juga luka mengering pada sudut bibirnya. Si kets merah terlihat sangat kacau. Refleks Lara menutup mulutnya segera, lalu memalingkan kembali wajahnya ke hadapan balon balon berisi istilah kata di dalam komik yg sedang dia baca.
Sejenak Lara ingin tahu apa yg terjadi menggunakan si kets merah, akan tetapi apa untungnya. Dia bukanlah temannya, bahkan sebentuk nama pun tidak terdapat. Dia hanyalah orang asing yang sama sekali Lara tidak harapkan keberadaannya. Kalau pun beliau babak belur dikeroyok masa atau lantaran hal lainnya, apa pedulinya.
Sejenak Lara ingin tahu apa yg terjadi menggunakan si kets merah, akan tetapi apa untungnya. Dia bukanlah temannya, bahkan sebentuk nama pun tidak terdapat. Dia hanyalah orang asing yang sama sekali Lara tidak harapkan keberadaannya. Kalau pun beliau babak belur dikeroyok masa atau lantaran hal lainnya, apa pedulinya.
Hari ini terdapat yg tak biasa dengan si kets merah, dia telah duduk disana, menumpukan dagunya di kedua kakinya yang tertekuk. Alih alih melangkahkan kaki menuju singgasananya, Lara terpaku di balik pohon akbar yg melindungi tubuh kecilnya.
Matanya memperhatikan si kets merah menggunakan seksama. Banyak pertanyaan yang ada pada kepala Lara, mengapa si kets merah menduluinya duduk disana. Mengapa wajahnya balik tidak seceria umumnya, serta banyak mengapa lainnya. Tapi mengapa beliau jadi bertanya tanya tentangnya. Lara mengibaskan seekor semut yg merayapi tangannya. Lalu beranjak dari pulang pohon akbar itu buat kemudian pergi.
Matanya memperhatikan si kets merah menggunakan seksama. Banyak pertanyaan yang ada pada kepala Lara, mengapa si kets merah menduluinya duduk disana. Mengapa wajahnya balik tidak seceria umumnya, serta banyak mengapa lainnya. Tapi mengapa beliau jadi bertanya tanya tentangnya. Lara mengibaskan seekor semut yg merayapi tangannya. Lalu beranjak dari pulang pohon akbar itu buat kemudian pergi.
Lara menghentikan langkah lebarnya tiba tiba ketika beliau balik melihat si kets merah lagi lagi telah mendahuluinya duduk pada bangku semen itu. Mengapa selalu saja ada orang yg membuatnya kesal.
Mengapa beliau nir mencari bangku semen lainnya. Mengapa beliau wajib duduk pada sana. Lara menendangi kerikil di jalanan kampus serta berjalan memutar buat ke luar melalaui gerbang belakang.
Mengapa beliau nir mencari bangku semen lainnya. Mengapa beliau wajib duduk pada sana. Lara menendangi kerikil di jalanan kampus serta berjalan memutar buat ke luar melalaui gerbang belakang.
Genap dua hari ini Lara dapat bernafas lega, karena tidak ada indikasi tanda si kets merah di sekitaran bangku semennya. Dengan langkah ringan dia menghampiri bangku yang berada di depan jalan masuk gedung yang tidak pernah digunakan itu. Lara duduk menggunakan rapi serta mulai mengeluarkan perlengkapan perangnya. Setelah hampir satu jam disana, tiba tiba dia merasakan sebuah kesunyian yang sangat. Lara memandangi bangku semen pada seberangnya. Dia tidak muncul. Alih alih merasa lega, Lara malah merasa terdapat sesuatu yang hilang. Tapi cepat cepat Lara menepiskan seluruh pikiran anehnya. Bukankah ini yg diinginkannya, sebuah kenyamanan.
Tiba datang Lara menangkap sebuah wewangian yang sangat tajam, seolah olah ada botol parfum yang hinggap di cuping hidungnya. Lara mekar kempiskan hidung tidak mancungnya, wewangian beraroma kayu kayuan ini selalu mengingatkannya kepada Rega. Lara eksklusif menekan hidungnya menggunakan kuat, ad interim matanya mulai mencari darimana aroma itu dari. Sepasang manusia, lelaki serta perempuan kini telah berdiri di hadapannya. Lalu sekonyong konyong mereka duduk di bangku yang biasanya ditempati sang si kets merah.
Ada apa ini, mengapa mendadak banyak orang yang menginginkan bangku itu, bagai kursi pada parlemen saja.
Sebelum Lara berhasil memecahkan misteri akan orang orang itu, si lelaki mulai angkat bicara.
“Kamu Lara?”
Lara mengangguk ragu, matanya menatap laki laki itu tanpa berkedip.
“Kamu Lara?”
Lara mengangguk ragu, matanya menatap laki laki itu tanpa berkedip.
Dia tahu namaku, what a surprise!
“Damon dirawat di tempat tinggal sakit.” Lelaki bergaya pecinta alam itu merapatkan kedua tangannya, ujung kuku menggunakan potongan paripurna menyentuh hidungnya yg lancip.
Lara menatap lelaki serta wanita itu silih berganti sembari mengerutkan keningnya pertanda tak mengerti.
“Damon?” Lara bertanya dengan lirih.
“Iya, Damon, teman Dinda, sahabat engkau .” Perempuan yang ditunjuk menjadi Dinda itu menganggukan kepalanya membenarkan kata istilah si lelaki.
“Maaf, tapi seingatku hingga detik ini saya gak punya sahabat bernama Damon.”
Lelaki itu menatap Lara tidak percaya, lalu berganti menatap Dinda seakan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan yg berkumpul pada kepalanya.
“Jangan becanda ah, aku seringkali liat kalian duduk pada sini kok.” Dinda menunjuk loka yang mereka tempati sekarang.
“Oh, beliau.” Gumam Lara mulai menyadari ketidakpeduliannya.
“Iya, dia, Damon, kamu kenal kan?” Dinda bertanya menggunakan tidak tabah.
Lara mengangguk samar.
Lara menatap lelaki serta wanita itu silih berganti sembari mengerutkan keningnya pertanda tak mengerti.
“Damon?” Lara bertanya dengan lirih.
“Iya, Damon, teman Dinda, sahabat engkau .” Perempuan yang ditunjuk menjadi Dinda itu menganggukan kepalanya membenarkan kata istilah si lelaki.
“Maaf, tapi seingatku hingga detik ini saya gak punya sahabat bernama Damon.”
Lelaki itu menatap Lara tidak percaya, lalu berganti menatap Dinda seakan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan yg berkumpul pada kepalanya.
“Jangan becanda ah, aku seringkali liat kalian duduk pada sini kok.” Dinda menunjuk loka yang mereka tempati sekarang.
“Oh, beliau.” Gumam Lara mulai menyadari ketidakpeduliannya.
“Iya, dia, Damon, kamu kenal kan?” Dinda bertanya menggunakan tidak tabah.
Lara mengangguk samar.
Mengenal? Bahkan namanya saja ia tidak memahami, serta dia memang nir mau tahu.
“Aku Gorga kakaknya Damon, serta ini Dinda.”
Mereka lalu berjabat tangan.
“Maaf kalo Kami menganggu ketentraman engkau , kami hanya ingin ngobrol sama engkau .”
Mereka lalu berjabat tangan.
“Maaf kalo Kami menganggu ketentraman engkau , kami hanya ingin ngobrol sama engkau .”
Ngobrol? Jadi kita sekarang sudah akrab?
“Akhir akhir ini Damon sebagai sangat tertutup, ah, akan tetapi ini semua memang salahku.” Gorga menutup wajahnya dengan ke 2 belah telapak tangannya.
“Ini seluruh bukan keliru kamu.”
“Ini salahku Din, lantaran akhir akhir ini aku sibuk dengan diriku sendiri.”
“Dia itu telah akbar, sudah seharusnya sanggup urus dirinya sendiri dan gak bergantung lagi sama engkau .” Dinda membelai lengan Gorga lembut.
“Kalau beliau bisa mengurus dirinya sendiri, beliau gak akan berakhir di tempat tinggal sakit seperti sekarang ini.”
“Aku gak tau darimana dia menerima obat obatan itu, bahkan aku gak tau darimana dia memperoleh memar itu. Mungkin lagi lagi perbuatan papa, serta apabila sahih, aku memang telah keterlaluan. Mengacuhkan adikku sendiri demi interaksi yang belum jelas mau dibawa kemana.”
“Ini seluruh bukan keliru kamu.”
“Ini salahku Din, lantaran akhir akhir ini aku sibuk dengan diriku sendiri.”
“Dia itu telah akbar, sudah seharusnya sanggup urus dirinya sendiri dan gak bergantung lagi sama engkau .” Dinda membelai lengan Gorga lembut.
“Kalau beliau bisa mengurus dirinya sendiri, beliau gak akan berakhir di tempat tinggal sakit seperti sekarang ini.”
“Aku gak tau darimana dia menerima obat obatan itu, bahkan aku gak tau darimana dia memperoleh memar itu. Mungkin lagi lagi perbuatan papa, serta apabila sahih, aku memang telah keterlaluan. Mengacuhkan adikku sendiri demi interaksi yang belum jelas mau dibawa kemana.”
Memar itu.
“Kamu anggap interaksi kita gak jelas, iya? Kenapa engkau jadi nyalahin interaksi kita, aku gak suka .”
“Kita sudah membuat komitmen, Damon sahabatku, tapi aku rela jauh jauh berdasarkan dia demi kamu.” lanjut Dinda berapi barah.
“Kita sudah membuat komitmen, Damon sahabatku, tapi aku rela jauh jauh berdasarkan dia demi kamu.” lanjut Dinda berapi barah.
Hmm, insan insan ini sama saja.
“Aku gak nyalahin apa yg terjadi menggunakan kita, hanya saja ini sebagai sangat kebetulan.”
“Gak ada yang namanya kebetulan.” Dinda membuang mukanya.
“Ehem.” Lara berdehem menggunakan kerasnya, menyadarkan mereka yg tengah asik beradu argumen. Wajah keduanya langsung bersemu merah indikasi ada rasa memalukan yang berkelebat.
“Aku menemukan ini pada kamar Damon.” Gorga menyerahkan sebentuk kaset yang baru saja beliau ambil menurut tangan Dinda.
Lara memandangi kaset yang sekarang terdapat pada genggamannya. Di cover kaset itu ada sebuah tulisan tangan yg huruf hurufnya melengkung lengkung paripurna. Ada empat alfabet yang membangun kata Lara pada sana.
“Ada nama kamu di covernya.”
“Ah, ini mungkin judul lagu, bukan ditujukan untukku, mana mungkin dia tau namaku, kami belum pernah berkenalan.” Lara menyampaikan menggunakan ringan.
“Apa?” dua orang di hadapan Lara berseru bebarengan dengan paras yg terkejut.
“Tapi aku tak jarang liat Damon tertawa serta berbicara menggunakan kamu disini.” Dinda meyakinkan dirinya.
“Ah, kamu berhalusinasi.” Nada bunyi Lara terdengar ketus.
“Aku gak tau cerita mengenai engkau sama Damon, tapi aku konfiden yang dia tulis itu merupakan nama kamu.” Gorga terlihat sangat serius.
“Coba deh buka covernya.” Perintah Gorga.
Dengan pelan, Lara membuka kaset itu dan mengeluarkan covernya yg terdiri dari kertas yang dilipat-lipat. Di atas kertas berwarna khaki itu ada sebuah ukiran pinsil yg membentuk sebuah lukisan yg latif. Lara memicingkan matanya, dia melihat gambar seorang gadis tengah duduk bersila pada atas bangku dengan sebuah buku pada pangkuannya. Lara memperhatikan gambar itu lalu melayangkan pandangannya ke arah gedung, pohon, pagar tumbuhan, ini…
“Jelas banget itu engkau .” Dinda menyela.
“Gak ada yang namanya kebetulan.” Dinda membuang mukanya.
“Ehem.” Lara berdehem menggunakan kerasnya, menyadarkan mereka yg tengah asik beradu argumen. Wajah keduanya langsung bersemu merah indikasi ada rasa memalukan yang berkelebat.
“Aku menemukan ini pada kamar Damon.” Gorga menyerahkan sebentuk kaset yang baru saja beliau ambil menurut tangan Dinda.
Lara memandangi kaset yang sekarang terdapat pada genggamannya. Di cover kaset itu ada sebuah tulisan tangan yg huruf hurufnya melengkung lengkung paripurna. Ada empat alfabet yang membangun kata Lara pada sana.
“Ada nama kamu di covernya.”
“Ah, ini mungkin judul lagu, bukan ditujukan untukku, mana mungkin dia tau namaku, kami belum pernah berkenalan.” Lara menyampaikan menggunakan ringan.
“Apa?” dua orang di hadapan Lara berseru bebarengan dengan paras yg terkejut.
“Tapi aku tak jarang liat Damon tertawa serta berbicara menggunakan kamu disini.” Dinda meyakinkan dirinya.
“Ah, kamu berhalusinasi.” Nada bunyi Lara terdengar ketus.
“Aku gak tau cerita mengenai engkau sama Damon, tapi aku konfiden yang dia tulis itu merupakan nama kamu.” Gorga terlihat sangat serius.
“Coba deh buka covernya.” Perintah Gorga.
Dengan pelan, Lara membuka kaset itu dan mengeluarkan covernya yg terdiri dari kertas yang dilipat-lipat. Di atas kertas berwarna khaki itu ada sebuah ukiran pinsil yg membentuk sebuah lukisan yg latif. Lara memicingkan matanya, dia melihat gambar seorang gadis tengah duduk bersila pada atas bangku dengan sebuah buku pada pangkuannya. Lara memperhatikan gambar itu lalu melayangkan pandangannya ke arah gedung, pohon, pagar tumbuhan, ini…
“Jelas banget itu engkau .” Dinda menyela.
“Ah, ini mampu siapa saja, gak cuma aku yg acapkali duduk di sini kok.” Lara berkelit, akan tetapi matanya masih asik menatap lukisan kecil itu.
“Cuma kamu Ra, kelasku terdapat di seberang sana. Hanya kamu yg selalu duduk di sini, saya memahami pasti.” Dinda meyakinkan Lara serta dirinya sendiri.
“Lara, kemarin saya temukan Damon pada dalam kamarnya pada keadaan tak sadarkan diri.”
“Aku jua menemukan obat obatan yg entah jenis apa pada gengaman tangannya. Kata dokter, tersebut malam beliau telah sadar, akan tetapi saat kami datang, beliau gak mau membuka matanya sedikitpun.”
“Aku resah sekali, Mama menangis seharian disana, akan tetapi Damon masih tidak mau membuka matanya.”
“Ketika saya membereskan kamarnya, aku tertarik menggunakan kaset itu. Aku buka covernya dan mulai mendengarkan isinya.”
“Lalu aku tunjukan pada Dinda, ternyata gayung bersambut. Dinda meyakinkanku bahwa kaset ini adalah tentang kamu.”
“Ya, kebetulan aku tak jarang memperhatikan kalian, aku pikir Damon sudah menerima seorang sahabat, sahabat?”
“Cuma kamu Ra, kelasku terdapat di seberang sana. Hanya kamu yg selalu duduk di sini, saya memahami pasti.” Dinda meyakinkan Lara serta dirinya sendiri.
“Lara, kemarin saya temukan Damon pada dalam kamarnya pada keadaan tak sadarkan diri.”
“Aku jua menemukan obat obatan yg entah jenis apa pada gengaman tangannya. Kata dokter, tersebut malam beliau telah sadar, akan tetapi saat kami datang, beliau gak mau membuka matanya sedikitpun.”
“Aku resah sekali, Mama menangis seharian disana, akan tetapi Damon masih tidak mau membuka matanya.”
“Ketika saya membereskan kamarnya, aku tertarik menggunakan kaset itu. Aku buka covernya dan mulai mendengarkan isinya.”
“Lalu aku tunjukan pada Dinda, ternyata gayung bersambut. Dinda meyakinkanku bahwa kaset ini adalah tentang kamu.”
“Ya, kebetulan aku tak jarang memperhatikan kalian, aku pikir Damon sudah menerima seorang sahabat, sahabat?”
Teman? Sahabat? Semua sudah hilang pada kamus hidupku.
“Mungkin kehadiran engkau akan membantu pemulihannya, saya berharap sekali engkau mau tiba melihatnya.” Gorga kini tersenyum dengan lapang dada.
“Ini tempat dimana Damon dirawat.” Dinda menyerahkan secarik kertas yang berisi nama ruangan dan bangsal.
“Kami tunggu kamu disana ya.” Gorga menyalami Lara kemudian mengajak Dinda pulang berdasarkan tempat itu.
“Ini tempat dimana Damon dirawat.” Dinda menyerahkan secarik kertas yang berisi nama ruangan dan bangsal.
“Kami tunggu kamu disana ya.” Gorga menyalami Lara kemudian mengajak Dinda pulang berdasarkan tempat itu.
Baca Juga Cerpen Keren Lainnya :
1. Tragedi Salah Sambung - Bee Arti
2. Mawar Merah - Novita Rumi
3. Akhirnya Takdir Menjawabnya - Zikrunal Ulya
1. Tragedi Salah Sambung - Bee Arti
2. Mawar Merah - Novita Rumi
3. Akhirnya Takdir Menjawabnya - Zikrunal Ulya
Lara memandangi kaset itu, membolak-balikannya dengan gelisah. Lukisan itu begitu Indah, ukurannya yg kecil nir menghilangkan segala detailnya. Akhirnya Lara pun menyerah, mengeluarkan walkman yg selalu ia bawa dari tas gendongnya, memasukan kaset itu menggunakan hati hati serta mulai mendengarkan.
Sebuah suara yang jernih ada sehabis intro berdasarkan petikan gitar yg terdengar melow.
Lara,
Duduk sendiri
Mengais sepi
Merajam hari
Duduk sendiri
Mengais sepi
Merajam hari
Lara,
Aku disini
Berteman sunyi
Mencari diri
Aku disini
Berteman sunyi
Mencari diri
Lara,
Diam membisu
Meretas kalbu
Menuai rindu
Diam membisu
Meretas kalbu
Menuai rindu
Lara,
Aku menunggu
Satu kata darimu
Hilangkan raguku
Aku menunggu
Satu kata darimu
Hilangkan raguku
Lara,
Hidup ini tidak sempurna
Biarkan apa adanya
Kita hadapi bersama
Hidup ini tidak sempurna
Biarkan apa adanya
Kita hadapi bersama
Lara hati ini, sadar kau tak lagi pada sini.
Buang curigamu, saya hanya ingin menjadi temanmu.
Buang curigamu, saya hanya ingin menjadi temanmu.
Lara berulang ulang memutar lagu itu, lagi serta lagi. Bulir bulir bening keluar satu persatu membasahi pipinya yang tirus. Air mata yg telah usang dia lupakan, lantaran sebuah keangkuhan. Air mata yg telah dianggapnya menjadi sebuah kelemahan. Lara yg sebelumnya telah merobek robek seluruh rasa percaya di dalam hatinya, sekarang mulai berusaha mengumpulkan serpihan rasa itu serta mencoba membangunnya pulang. Isi kaset pada tangannya sudah merubah segalanya. Lara menghapus air matanya cepat cepat, membaca kertas yg Dinda berikan kepadanya kemudian menengok jam tangannya, beliau pun melangkah pulang.
—
Lara menatap wajah itu, baru kali ini Lara sahih sahih melihat wajahnya menggunakan jelas. Cairan infus jatuh satu persatu seirama dengan detakan jantungnya. Aroma tempat tinggal sakit sedikit menganggu hidung Lara. Ia sama sekali tidak menyukai seluruh hal yang ada pada dalam sebuah tempat tinggal sakit karena tempat itu sudah merenggut kebahagiaannya. Kebahagiaan seseorang anak akan kehadiran ibunya. Lara menatap paras pemuda di hadapannya yang matanya masih terpejam. Memar pada pelipisnya sudah mulai memudar.
Mengapa hatiku selalu diselimuti kecurigaan.
Semua lirik lagu yg pemuda itu nyanyikan balik menari nari pada kepalanya. Akhirnya Lara pun menetapkan.
“Hai, namaku Lara.” Lara berbicara dengan lirih seakan enggan mengganggu kedamaian pemuda di hadapannya.
“Selama ini saya merasa bahwa engkau akan merebut bangku itu dariku.”
“Aku merasa terancam oleh kehadiran engkau pada sana. Akulah orang pertama yang menemukan loka itu, mengapa kamu wajib ikut duduk disana, padahal masih poly bangku bangku lain yg lebih nyaman buat diduduki.”
“Bangku itu adalah temanku, serta aku gak ingin ada orang yang menjauhkannya dariku.”
Lara menatap beliau yang matanya masih saja terpejam.
“Aku sudah menetapkan bahwa saya nir ingin mempunyai teman lagi, teman sungguhan hanya membuatku merasa tidak nyaman.”
“Toh tanpa mereka, hidupku terasa lebih sempurna.” Lara menyibakkan helai rambut yg menganggu pipinya.
“Tapi hari ini, engkau sudah menciptakan segalanya berubah.”
Lara meletakkan kaset itu ke atas meja mini di samping loka tidur Damon.
“Aku balikin kaset engkau , cepat sembuh ya.” Lara berbalik serta melangkahkan kakinya menuju pintu.
“Selama ini saya merasa bahwa engkau akan merebut bangku itu dariku.”
“Aku merasa terancam oleh kehadiran engkau pada sana. Akulah orang pertama yang menemukan loka itu, mengapa kamu wajib ikut duduk disana, padahal masih poly bangku bangku lain yg lebih nyaman buat diduduki.”
“Bangku itu adalah temanku, serta aku gak ingin ada orang yang menjauhkannya dariku.”
Lara menatap beliau yang matanya masih saja terpejam.
“Aku sudah menetapkan bahwa saya nir ingin mempunyai teman lagi, teman sungguhan hanya membuatku merasa tidak nyaman.”
“Toh tanpa mereka, hidupku terasa lebih sempurna.” Lara menyibakkan helai rambut yg menganggu pipinya.
“Tapi hari ini, engkau sudah menciptakan segalanya berubah.”
Lara meletakkan kaset itu ke atas meja mini di samping loka tidur Damon.
“Aku balikin kaset engkau , cepat sembuh ya.” Lara berbalik serta melangkahkan kakinya menuju pintu.
Tapi langkahnya terhenti, waktu terdapat sebuah bunyi berbicara lirih pada belakangnya.
“Kalo aku sudah sembuh, maukah engkau mulai berbincang denganku di bangku itu?”
Mendadak tubuh Lara sebagai kaku saat mendengar kalimat itu, ia berhenti di ambang pintu.
“Kalo aku sudah sembuh, maukah engkau mulai berbincang denganku di bangku itu?”
Mendadak tubuh Lara sebagai kaku saat mendengar kalimat itu, ia berhenti di ambang pintu.
“Hai Lara, saya Damon. Maafkan aku jika aku lebih dulu tau nama engkau .”
Belum usai keterkejutan Lara akan bunyi itu, sekarang ia lebih dikejutkan lagi dengan sosok yg telah berdiri di sampingnya dan tengah mengulurkan tangan yang masih ditempeli selang infus itu kepadanya.
“Kita belum berkenalan.” Damon mengajak Lara berjabat tangan dan lalu sekonyong konyong menariknya buat pada dudukan di kursi mini pada samping loka tidurnya.
“Kamu tadi kan…” Lara tercekat.
“Belum sadar?”
Lara menganggukan kepalanya pelan.
“Sekarang telah, lantaran sadar serta gak sadar itu terdapat waktunya.” Damon tersenyum kocak.
“Ini sengaja aku buat untuk engkau , siapa yang kasih ke engkau ?” Damon mengacungkan kaset demo itu.
“Yang niscaya bukan jatuh dari langit.”
Damon mengerutkan keningnya.
“Kakak ya?”
Lara mengangguk sembari masih memandangi pemuda yang terdapat di hadapannya yg anehnya terlihat sangat segar bugar itu.
“Kakak memang selalu terdapat untukku, gak sepantasnya saya meragukannya, gak seharusnya saya ngetes beliau dengan berbuat sembrono, aku begitu picik.”
Lara mengerutkan keningnya.
“Ketika seorang Ayah nir bisa menciptakan anaknya merasa nyaman, maka dia mencari perlindungan pada bawah ketiak abang tertuanya.” Tatapan Damon menerawang jauh.
“Tapi, setiap orang punya kehidupan lain buat dijalani, begitu pula kak Gorga.”
“Kakak mulai sibuk dengan organisasi barunya, kuliahnya, usaha mini kecilannya, Dinda, dan saya? Aku sibuk merasa sendiri.” Damon tertawa.
“Kali itu saya sahih sahih merasa sendiri, dan kesendirian itu nyaris membuatku gila.”
Belum usai keterkejutan Lara akan bunyi itu, sekarang ia lebih dikejutkan lagi dengan sosok yg telah berdiri di sampingnya dan tengah mengulurkan tangan yang masih ditempeli selang infus itu kepadanya.
“Kita belum berkenalan.” Damon mengajak Lara berjabat tangan dan lalu sekonyong konyong menariknya buat pada dudukan di kursi mini pada samping loka tidurnya.
“Kamu tadi kan…” Lara tercekat.
“Belum sadar?”
Lara menganggukan kepalanya pelan.
“Sekarang telah, lantaran sadar serta gak sadar itu terdapat waktunya.” Damon tersenyum kocak.
“Ini sengaja aku buat untuk engkau , siapa yang kasih ke engkau ?” Damon mengacungkan kaset demo itu.
“Yang niscaya bukan jatuh dari langit.”
Damon mengerutkan keningnya.
“Kakak ya?”
Lara mengangguk sembari masih memandangi pemuda yang terdapat di hadapannya yg anehnya terlihat sangat segar bugar itu.
“Kakak memang selalu terdapat untukku, gak sepantasnya saya meragukannya, gak seharusnya saya ngetes beliau dengan berbuat sembrono, aku begitu picik.”
Lara mengerutkan keningnya.
“Ketika seorang Ayah nir bisa menciptakan anaknya merasa nyaman, maka dia mencari perlindungan pada bawah ketiak abang tertuanya.” Tatapan Damon menerawang jauh.
“Tapi, setiap orang punya kehidupan lain buat dijalani, begitu pula kak Gorga.”
“Kakak mulai sibuk dengan organisasi barunya, kuliahnya, usaha mini kecilannya, Dinda, dan saya? Aku sibuk merasa sendiri.” Damon tertawa.
“Kali itu saya sahih sahih merasa sendiri, dan kesendirian itu nyaris membuatku gila.”
“Lalu aku mulai melihat engkau di sana, duduk membisu sambil membaca kitab , sendiri tapi terlihat sangat damai.”
Lara tersenyum, baru kali ini ia rela menarik ujung bibirnya ke kiri dan ke kanan.
“Maafkan aku jika aku menganggu, aku hanya ingin mencicipi kedamaian yg engkau rasakan disana.”
Lara balik tersenyum sembari memainkan tali tasnya.
“Saat itu aku seakan menemukan sahabat, walaupun mungkin engkau gak mau bergaul denganku.”
“Maaf jua ya kalo aku bawel, bercerita ngalor ngidul padahal engkau pasti gak mau denger ceritaku. Setidaknya orang orang yang melihatku masih menganggap saya waras bicara dengan seseorang gadis bukan dengan seonggok gitar, walaupun sama sama gak didenger jua sih.” Damon tertawa tanggal.
Lara tersenyum, baru kali ini ia rela menarik ujung bibirnya ke kiri dan ke kanan.
“Maafkan aku jika aku menganggu, aku hanya ingin mencicipi kedamaian yg engkau rasakan disana.”
Lara balik tersenyum sembari memainkan tali tasnya.
“Saat itu aku seakan menemukan sahabat, walaupun mungkin engkau gak mau bergaul denganku.”
“Maaf jua ya kalo aku bawel, bercerita ngalor ngidul padahal engkau pasti gak mau denger ceritaku. Setidaknya orang orang yang melihatku masih menganggap saya waras bicara dengan seseorang gadis bukan dengan seonggok gitar, walaupun sama sama gak didenger jua sih.” Damon tertawa tanggal.
“Hari itu engkau gak tiba, entah kenapa, mungkin kamu gak senang dengan kehadiranku pada sana.”
“Kabar baiknya hari yang murung itu membuat ini.” Damon meletakkan kaset bikinannya itu ke atas pangkuan Lara.
“Hari selanjutnya kamu gak tiba lagi, hari yg kacau dan kekacauanku itu akhirnya membawaku kesini.”
“Lara, sekarang kita bergaul kan?”
Lara menganggukan kepalanya.
“Cepat sembuh ya, bangku itu menunggu kehadiran engkau .”
“Kabar baiknya hari yang murung itu membuat ini.” Damon meletakkan kaset bikinannya itu ke atas pangkuan Lara.
“Hari selanjutnya kamu gak tiba lagi, hari yg kacau dan kekacauanku itu akhirnya membawaku kesini.”
“Lara, sekarang kita bergaul kan?”
Lara menganggukan kepalanya.
“Cepat sembuh ya, bangku itu menunggu kehadiran engkau .”
Begitu pun saya.
Lara kembali memandangi bangku semen itu, seseorang bersepatu kets merah sekarang sudah duduk pada sana dan melambaikan tangan kepadanya. Lara sadar bahwa bangku semen itu sudah memberinya sebuah pelajaran tentang arti sebuah pertemanan yang sebenarnya.
Cerpen Karangan : Ika Septi