PRAMUKA GUE BANGET

Pramuka, Gue Banget

Harun Mahbub
Wartawan Tempo
Di sebuah pojok pada Cikini Raya, kami mendiskusikan sesuatu yg “hilang” dari gerakan pramuka. Seminggu sekali, para pelajar memang masih mengenakan seragam cokelat-cokelat, menggunakan kacu merah putih pada leher. Bahkan, kurikulum modern sudah mengamanatkan gerakan pramuka sebagai program ekstrakurikuler harus. Namun, siapa pun memahami, beliau misalnya pasien yang sekarat, mencoba bertahan hayati dengan dukungan indera-indera medis di sekelilingnya.
Semasa masih duduk pada bangku sekolah dasar di daerah pegunungan pada selatan Yogyakarta, saya serta sahabat-sahabat satu angkatan selalu tidak sabar menunggu Jumat sore yang istimewa itu. Saat itu, Pramuka begitu asyik serta seru. Jumat berganti Jumat, sampai saya akhirnya menapaki karier tertinggi pada Pramuka sebagai Ketua Regu Banteng di level Penggalang.
Cerita mulai berubah saat saya melanjutkan pendidikan pada sekolah menengah pertama pada kota. Pramuka mendadak jadi kegiatan yang tidak menarik, pula nir keren. Teman-sahabat satu angkatan juga menilai demikian. Kami lebih suka bermain bola basket, sepak bola, main dingdong, atau baris-berbaris. Saya menjumpai hal yang sama setiap pulang ke desa pada pekan ke 2 serta keempat. Pramuka sepi pendaftar di kalangan remaja.
Di Sekolah Menengah Atas, Pramuka semakin terasing menurut kami, kaum ABG saat itu. Kami lebih menentukan nge-band, bermain basket, atau ikut “cabang” Pramuka, semacam aktivitas pencinta alam yg justru melampaui popularitas Pramuka itu sendiri.
Tentu ini sangat disayangkan. Pramuka adalah wahana yg dahsyat buat pendidikan anak-anak Indonesia. Pramuka tak hanya menjanjikan olah pikir serta raga, akan tetapi pula hati. Saya masih ingat betul keliru satu “mantra” yang kami daraskan setiap mengawali kegiatan Pramuka sekitar 25 tahun kemudian: “kudus pada pikiran, perasaan, serta perbuatan”. Bukankah itu puncak berdasarkan pencapaian diri?
Dengan kondisi Pramuka hari ini, lantas apa yg wajib dilakukan? Intervensi negara berupa “paksaan” ikut Pramuka tampaknya tidak relatif. Diskusi mengenai Pramuka di Cikini Raya itu menyepakati perlunya rebranding Pramuka. Itu memang keniscayaan di era pasar ini. Para pemangku kepentingan wajib melakukan konsolidasi dan merapikan gerakan Pramuka, seraya menegaskan target jangka pendek, menengah, serta panjang.
Pramuka jua harus berfokus dalam target audiensnya. Target pasarnya merupakan anak-anak kita, yg semenjak mini telah akrab dengan gadget, acapkali curhat di media sosial, dan memastikan gaya hidupnya mengacu dalam tokoh idola di layar kaca.
Kalau nir mau ditinggalkan., Pramuka wajib mengalah serta mengikuti kemauan mereka, atau menggunakan kata lain mengikuti kesukaan pasar. Selanjutnya, baru lalu pelan-pelan memasukkan nilai-nilai mulia Pramuka ke diri mereka. Nah, seturut pola pikir ini, cara supaya generasi Twitter masa sekarang tertarik dalam Pramuka merupakan menjadikannya simbol bukti diri dan pujian mereka. Istilah anak belia kini , PR-nya adalah bagaimana berakibat Pramuka itu “gue banget”.
Kesimpulannya, gerakan Pramuka wajib memperkuat diri ke pada, kemudian memasarkan diri dengan cerdik. Masih butuh diskusi sangat keras dan panjang buat menurunkannya pada program-acara konkret berikut pelaksanaannya. Tapi, apabila dilakukan dengan lapang dada serta sungguh-benar-benar sang aneka macam pihak, anak-anak kita mampu jadi tak tabah menanti Jumat tiba. Selamat Hari Pramuka. (Dimuat pada Koran Tempo, 14 Agustus 2014)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel