Pemikiran Kalam Ulama Salaf

PEMIKIRAN KALAM
ULAMA SALAF

KATA PENGANTAR

       Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bias menikmati indahnya alam cipataanNya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah. Alhamdulillah saya sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah ini yang berjudul Pemikiran Kalam Ulama Salaf yang mana menjadi tugas mata kuliah Ilmu Kalam.
Dalam Makalah ini kami akan mencoba untuk menjelaskan Masalah Pemikiran Kalam Ulama Salaf yang mana terdiri dari: Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf), Pengertian salaf Secara Umum dan Nilai dari aliran salaf.

Palembang, 13-Desember-2018
Penyusun

Makhdad Anugrah

I. PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global Perbedaan penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni,
Dari sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) , dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.  Dan disini kami hanya membahas masalah Pemikiran Salaf dan karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul: PEMIKIRAN KALAM ULAMA SALAF

B.     Rumusan Masalah

Terkait dengan judul makalah ini, maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf)?
2.      Jelaskan Pengertian dan Nilai Salaf Secara Umum?

C.    Tujuan  Penulisan

Berdasarkan dengan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan dpenulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf).
2.      Pengertian dan nilai salaf Secara Umum

II. PEMBAHASAN

A.    Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin, dalam hal ini ada dua versi yaitu Salaf dan Khalaf Baiklah disini kita akan membahas versi Salaf:
Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri atas muhaditsin dan yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih(anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta mengagungkan-Nya.
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.  Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau penyerupaan dengan makhluk.

B. PENGERTIAN  SALAF SECARA UMUM

 SALAF (IBN HAMBAL DAN IBN TAIMIYAH)
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.[1] Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme).  Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampak penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hambali yang ketat.
Karakteristik ulama salaf atau salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:
1.    Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.    Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan As-Sunah.
3.    Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4.    Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lainnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula tokoh-tokoh yang [2]dikategorikan oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1.    Abdullah bin Abbas (68 H)
2.    Abdullah bin Umar (74 H)
3.    Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4.    Az-Zuhri (124 H)
5.    Ja’far  Ash-Shadiq (148 H)
6.    Para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal)
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara sporadis. Di Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhui oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dibawah ini adalah ulama salaf dan pemikirannya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam sebagai berikut:
a)      Imam Ahmad Bin Hambali
·      Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan dari Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar ketika malam hari.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-dunia, Abu Bakar As-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan adalah putra Ibn Hanbal.[19][6]
·      Pemikiran Teori Ibn Hanbal
1.      Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat al-qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi(tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. 
2.      Tentang status Al-Qur’an[3]
            Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalah faham Mu’tazilah, yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
            Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq               : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan
Ishaq               : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
                     Ishaq   Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan Maha Melihat (Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphisme.)
Ibn Hanbal      : Tuhan menyifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq               : Apa artinya?
Ibn Hanbal      : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
            Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini sejalan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rosul-Nya.
b.      Ibn Taimiyah
       Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya[4]. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan Hakim di kotanya.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
       Pemikiran teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah sebagai berikut:
a.       Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b.      Tidak memberi ruang gerak yang bebas kepada akal.
c.       Berpendapat bahwa al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d.      Di dalam islam yang diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalam pasti qadim pula.
Pandangan ibn taimiyah tentang sifat-sifat allah sebagai berikut:
 a.       Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1.      Sifat salbiyah
2.      Sifat ma’ani
3.      Sifat khabariyah
4.      Sifat dhafiah
b.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan. Seperti;
Al-awal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-qayyum, as-sami, dan al-basir.
c.       Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1.    Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghair tahrif)[5]
2.    Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghair ta’thil)
3.    Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4.    Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takyi at-takyif)
5.    Tidak merupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan dan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu:
1.   Allah pencipta segala sesuatu
2.   Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertnggung jawab atas perbuatannya.
3.   Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak menridhoi perbuatan buruk. 
Dikatakn oleh Watt bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai klimaks dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terketak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi.[6]

III. PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra, karena akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal tidak dapat secara menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2. Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah, dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat disimpulkan pada hakikatnya antara aliran salaf dan yang lainya adalah hanya perbedaan ijtihad, bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan pemahaman dalam permasalahan hukum Islam.

B.     Saran

            Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang. 

DAFTAR PUSTAKA


·         Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
·         Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
·         Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
·         Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel