Pemikiran Kalam Ulama Salaf
Sunday, April 28, 2019
Edit
PEMIKIRAN KALAM
ULAMA SALAF
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah
kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan
rohani sehingga kita masih tetap bias menikmati indahnya alam cipataanNya.
Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw yang
telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang
sempunya dengan bahasa yang sangat indah. Alhamdulillah saya sangat bersyukur
karena telah menyelesaikan makalah ini yang berjudul Pemikiran Kalam Ulama Salaf yang mana menjadi tugas mata kuliah
Ilmu Kalam.
Dalam Makalah ini kami
akan mencoba untuk menjelaskan Masalah Pemikiran Kalam Ulama Salaf yang mana
terdiri dari: Pemikiran ahl
al-sunnah wa al-jama’ah (salaf), Pengertian salaf Secara Umum dan Nilai dari
aliran salaf.
Palembang,
13-Desember-2018
Penyusun
Makhdad
Anugrah
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat
universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia.
Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi
Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global Perbedaan
penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara
umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional.
Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat
yang mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain
selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional
berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak
menginterpretasi ayat yang zhanni,
Dari sekian beragam jenis
mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum
yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) , dan di dalamnya
terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah),
mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf. Dan
disini kami hanya membahas masalah Pemikiran Salaf dan karena materi mata
kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini
diberikan judul: PEMIKIRAN KALAM ULAMA SALAF
B.
Rumusan Masalah
Terkait dengan judul makalah ini, maka pembahasan materi
makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf)?
2.
Jelaskan Pengertian dan Nilai Salaf
Secara Umum?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan perumusan masalah dari makalah ini, maka
tujuan dpenulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf).
2.
Pengertian dan nilai salaf Secara Umum
II. PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti
jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka
yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat,
tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti
itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka
untuk merujuk kepadanya lahir dan batin, dalam hal ini ada dua versi yaitu
Salaf dan Khalaf Baiklah disini kita akan membahas versi Salaf:
Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh
para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud
Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri
atas muhaditsin dan yang lainnya, sedangkan menurut
al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih(anthropomorphisme)
serta tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat mutasyabihat,
sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang
diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah
yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta
mengagungkan-Nya.
Konsep aqidah salaf atau
disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan
dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para
penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung
pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya. Hasan al-Banna kemudian
menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan,
hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan
kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf
bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus
diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk
mengimani Tuhan.
Konsepsi aqidah salaf menetapkan
semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai
dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau
interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna
dari sebagian atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau
penyerupaan dengan makhluk.
B. PENGERTIAN
SALAF SECARA UMUM
SALAF (IBN HAMBAL DAN IBN
TAIMIYAH)
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf
artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi
sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya
pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti
pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.[1]
Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan
ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham
tasybih (anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam
Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, tabi’in
yang dapat diketahui dari sikapnya menampak penafsiran yang mendalam mengenai
sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan
mengagungkan-Nya. Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama besar penganut Imam
Hambali yang ketat.
Karakteristik ulama salaf atau
salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat
(naql) daripada dirayah (aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama
(ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya
bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan As-Sunah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan
lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan makna lainnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula tokoh-tokoh yang [2]dikategorikan
oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1. Abdullah bin Abbas (68 H)
2. Abdullah bin Umar (74 H)
3. Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4. Az-Zuhri (124 H)
5. Ja’far Ash-Shadiq (148 H)
6. Para imam mazhab yang empat (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal)
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula
dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah,
kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang
di dunia islam secara sporadis. Di Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang
lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau
Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai
gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhui oleh pemikiran yang
dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri
mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam
membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dibawah ini adalah ulama salaf dan
pemikirannya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam sebagai berikut:
a) Imam Ahmad Bin Hambali
· Riwayat
Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad tahun 164
H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah
seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia dikenal dengan nama Imam Hanbali
karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti
Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan dari
Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin
Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah
bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam
keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad
SAW.
Ibn Hanbal dikenal sebagai
seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur
sebentar ketika malam hari.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal
adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah
Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-dunia, Abu Bakar As-Asram, Hanbal
bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan
adalah putra Ibn Hanbal.[19][6]
· Pemikiran
Teori Ibn Hanbal
1. Tentang ayat-ayat
mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat al-qur’an,
Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi(tekstual)
daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.
2. Tentang status Al-Qur’an[3]
Salah satu persoalan
teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa
kali adalah tentang status al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang
karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang
karenanya qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti
Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq
dalah faham Mu’tazilah, yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi
baru dan diciptakan. Faham adanya qadim di samping Tuhan,
berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia
kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang
status al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim,
Gubernur Irak:
Ishaq
: Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq
: Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya
tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan
Maha Melihat (Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang
faham anthropomorphisme.)
Ibn Hanbal : Tuhan menyifatkan
diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq
: Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan
adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang
status al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini
sejalan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat
Allah kepada Allah dan Rosul-Nya.
b. Ibn Taimiyah
Riwayat
Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah
Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari
senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam
Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada
seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya[4].
Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah
bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan Hakim di kotanya.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan
dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi
sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah
baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya
mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus wafat di
dalam penjara.
Pemikiran
teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah,
seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah sebagai berikut:
a. Sangat berpegang
teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b. Tidak memberi ruang gerak
yang bebas kepada akal.
c. Berpendapat bahwa
al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam islam yang
diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in)
e. Allah memiliki sifat
yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali
dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalam pasti
qadim pula.
Pandangan ibn taimiyah tentang
sifat-sifat allah sebagai berikut:
a. Percaya sepenuh
hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya menyifati.
Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1. Sifat salbiyah
2. Sifat ma’ani
3. Sifat khabariyah
4. Sifat dhafiah
b. Percaya sepenuhnya terhadap
nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan. Seperti;
Al-awal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir,
al-qayyum, as-sami, dan al-basir.
c. Menerima sepenuhnya
sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1.
Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min
ghair tahrif)[5]
2. Tidak menghilangkan pengertian
lafadz (min ghair ta’thil)
3. Tidak mengingkarinya (min ghair
ilhad)
4. Tidak menggambar-gambarkan bentuk
tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair
takyi at-takyif)
5. Tidak merupakan (apalagi menyamakan)
sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb
al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat
menyamai-nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui
penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut
sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan dan sebagaimana adanya, dengan
catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak
bertanya-tanya tentangnya.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan
dan ikhtiar manusia, yaitu:
1. Allah pencipta segala sesuatu
2. Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan
mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertnggung
jawab atas perbuatannya.
3. Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak menridhoi
perbuatan buruk.
Dikatakn oleh Watt bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai
klimaks dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya
terketak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh
sebab itu, masalah Tuhan katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional,
baik dengan metode filsafat maupun teologi.[6]
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan
di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah
mempertahankan aqidah secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan
akal dan wahyu sebagai mitra, karena akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu
meski dalam hal tertentu akal tidak dapat secara menyeluruh menjelaskan wahyu,
akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2. Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk
menilai sesuatu sebagai bid’ah, dan memang seharusnya untuk
mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat disimpulkan pada hakikatnya
antara aliran salaf dan yang lainya adalah hanya perbedaan ijtihad,
bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan
ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan pemahaman dalam
permasalahan hukum Islam.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat
menuntut subtansi Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan
pedoman dalam segala hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki
kekurangan, sehingga motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan
atas kekurangan yang ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf
yang sebesar-besarnya dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan
untuk membaca makalah sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua
orang.
DAFTAR PUSTAKA
· Anwar,
Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka
Setia, 2003.
· Dahlan,
Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I:
Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
· Nasution,
Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
· Qaradhawi,
Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari
judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar,2006.