Berhentikah jadi Gelas
Monday, May 20, 2019
Edit
Berhentikah jadi Gelas
Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya waktu wajahnya
belakangan ini selalu tampak sedih.
"Kenapa kau selalu murung , nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" oleh Pengajar bertanya.
"Pengajar, belakangan ini hayati aku penuh masalah. Sulit bagi aku untuk
tersenyum. Masalah datang misalnya tak ada habis-habisnya," jawab sang
murid muda.
Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun bergerak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, kemudian balik lagi membawa gelas serta garam sebagaimana
yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, serta masukkan ke segelas air itu," kata
Sang Pengajar. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si anak didik pun melakukannya. Wajahnya sekarang meringis lantaran meminum air
asin.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.
"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid menggunakan wajah yg masih
meringis.
Sang Pengajar terkekeh-gelak tawa melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.
"Sekarang kau ikut saya." Sang Guru membawa muridnya ke danau pada dekat
tempat mereka. "Ambil garam yg tersisa, serta tebarkan ke danau."
Si anak didik menebarkan segenggam garam yg tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin berdasarkan mulutnya, tapi tidak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
"Sekarang, coba kau minum air danau itu," istilah Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar buat didudukinya, sempurna pada pinggir
danau.
Si siswa menangkupkan kedua tangannya, merogoh air danau, dan
membawanya ke mulutnya kemudian meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, "Bagaimana cita rasanya?"
"Segar, segar sekali," istilah si siswa sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini dari berdasarkan aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan telah pasti, air danau ini jua menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.
"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"
"Tidak sama sekali," istilah si anak didik sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau hingga puas.
"Nak," kata Sang Pengajar selesainya muridnya selesai minum. "Segala masalah
dalam hayati itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, nir lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya perkara serta penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu telah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap insan yang lahir ke global ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan kasus."
Si siswa terdiam, mendengarkan.
"Tapi Nak, rasa `asin' menurut penderitaan yg dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, agar
tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu pada dadamu itu
jadi sebanyak danau." (From : Suluk - Blogsome)
Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya waktu wajahnya
belakangan ini selalu tampak sedih.
"Kenapa kau selalu murung , nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" oleh Pengajar bertanya.
"Pengajar, belakangan ini hayati aku penuh masalah. Sulit bagi aku untuk
tersenyum. Masalah datang misalnya tak ada habis-habisnya," jawab sang
murid muda.
Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun bergerak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, kemudian balik lagi membawa gelas serta garam sebagaimana
yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, serta masukkan ke segelas air itu," kata
Sang Pengajar. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si anak didik pun melakukannya. Wajahnya sekarang meringis lantaran meminum air
asin.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.
"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid menggunakan wajah yg masih
meringis.
Sang Pengajar terkekeh-gelak tawa melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.
"Sekarang kau ikut saya." Sang Guru membawa muridnya ke danau pada dekat
tempat mereka. "Ambil garam yg tersisa, serta tebarkan ke danau."
Si anak didik menebarkan segenggam garam yg tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin berdasarkan mulutnya, tapi tidak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
"Sekarang, coba kau minum air danau itu," istilah Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar buat didudukinya, sempurna pada pinggir
danau.
Si siswa menangkupkan kedua tangannya, merogoh air danau, dan
membawanya ke mulutnya kemudian meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, "Bagaimana cita rasanya?"
"Segar, segar sekali," istilah si siswa sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini dari berdasarkan aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan telah pasti, air danau ini jua menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.
"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"
"Tidak sama sekali," istilah si anak didik sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau hingga puas.
"Nak," kata Sang Pengajar selesainya muridnya selesai minum. "Segala masalah
dalam hayati itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, nir lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya perkara serta penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu telah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap insan yang lahir ke global ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan kasus."
Si siswa terdiam, mendengarkan.
"Tapi Nak, rasa `asin' menurut penderitaan yg dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, agar
tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu pada dadamu itu
jadi sebanyak danau." (From : Suluk - Blogsome)