Kejujuran Si Penjual Amplop
Monday, May 20, 2019
Edit
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yg telah dibungkus pada dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang pada pasar kaget umumnya berjualan makanan, sandang, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu serta barang-barang asesori lainnya. Tentu relatif aneh beliau “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yg tidak terlalu diperlukan pada zaman yang serba elektronis seperti ketika ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional telah berlalu, namun bapak itu permanen menjual amplop. Mungkin bapak itu nir mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi berita yang serba cepat serta instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yg nir laku -laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yg mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yg lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah nir mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin saat hendak shalat Jumat pada Salman aku melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya aku nir terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, aku menghampiri bapak tersebut. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya menggunakan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yg isinnya sepuluh lbr itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup buat membeli 2 gorengan bala-bencana dalam pedagang gorengan pada dekatnya. Uang seribu rupiah yg nir terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat serta berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yg sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira lantaran aku membeli amplopnya dalam jumlah poly. Dia memasukkan sepuluh kemasan amplop yang isinya sepuluh lbr per bungkusnya ke pada bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar waktu memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya pulang kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal jika kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat 5 buah amplop. Bapak itu menunjukkan pada saya lbr kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 kemasan amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, beliau hanya mengambil keuntungan Rp250 buat satu kemasan amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban amanah si bapak tua. Apabila pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan meningkatkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya merogoh keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh kemasan amplop saja manfaatnya tidak hingga buat membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yg mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman kini ? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi buat dua puluh bungkus amplop supaya bisa membeli nasi.
Setelah terselesaikan saya bayar Rp10.000 buat sepuluh kemasan amplop, aku balik menuju kantor. Tidak lupa aku selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu buat membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih menggunakan bunyi hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini telah nir tahan buat meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seseorang teman pada facebook yang bunyinya begini:
“bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laris-laris, mak -bunda tua yg duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan buat membeli barang-barang berdasarkan mereka, meski kita nir membutuhkannya waktu ini. Jangan selalu beli barang pada mal-harta benda dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.
Si bapak tua penjual amplop merupakan keliru
satu menurut mereka, yaitu para pedagang kaki 5 yg barangnya tidak laku -laris. Cara paling mudah serta sederhana buat membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal serta toko, tetapi menggunakan membeli dagangan mereka insya Allah lebih poly barokahnya, lantaran secara tidak pribadi kita sudah membantu kelangsungan usaha serta hayati mereka.Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yg nir laku -laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yg mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yg lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah nir mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin saat hendak shalat Jumat pada Salman aku melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya aku nir terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, aku menghampiri bapak tersebut. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya menggunakan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yg isinnya sepuluh lbr itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup buat membeli 2 gorengan bala-bencana dalam pedagang gorengan pada dekatnya. Uang seribu rupiah yg nir terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat serta berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yg sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira lantaran aku membeli amplopnya dalam jumlah poly. Dia memasukkan sepuluh kemasan amplop yang isinya sepuluh lbr per bungkusnya ke pada bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar waktu memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya pulang kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal jika kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat 5 buah amplop. Bapak itu menunjukkan pada saya lbr kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 kemasan amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, beliau hanya mengambil keuntungan Rp250 buat satu kemasan amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban amanah si bapak tua. Apabila pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan meningkatkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya merogoh keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh kemasan amplop saja manfaatnya tidak hingga buat membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yg mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman kini ? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi buat dua puluh bungkus amplop supaya bisa membeli nasi.
Setelah terselesaikan saya bayar Rp10.000 buat sepuluh kemasan amplop, aku balik menuju kantor. Tidak lupa aku selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu buat membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih menggunakan bunyi hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini telah nir tahan buat meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seseorang teman pada facebook yang bunyinya begini:
“bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laris-laris, mak -bunda tua yg duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan buat membeli barang-barang berdasarkan mereka, meski kita nir membutuhkannya waktu ini. Jangan selalu beli barang pada mal-harta benda dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.
Si bapak tua penjual amplop merupakan keliru
Dalam pandangan aku bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak buat memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua nir mau mengemis, dia permanen kukuh berjualan amplop yg keuntungannya nir seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yg aku beli menurut si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu ketika ini, namun uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tersebut sangat diperlukan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tersebut saya simpan pada sudut meja kerja. Siapa memahami nanti aku akan memerlukannya. Mungkin dalam hari Jumat pekan-pekan selanjutnya aku akan melihat si bapak tua berjualan balik pada sana, duduk melamun pada depan dagangannya yang tidak laku -laris.
Saudaraku, "Di antara sekian jenis kemiskinan", kata KH. Rahmat Abdullah, "yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam". Walaupun kondisi fisiknya tak paripurna, walaupun pendidikannya rendah, walaupun usianya tak lagi belia.. Izzah (kehormatan) dirinya pada bekerja mencari penghasilan yg halal harus kita hargai daripada yg meminta-minta. Walaupun tidak salah bila kita menaruh sedekah kepada siapapun yang kita lihat saat dia orang-orang tadi membutuhkan uluran pertolongan kita.
Semoga menginspirasi kebaikan.
Source: //www.facebook.com/fitriana.nugraha