POLEMIK CANTRANG DAN SOLUSINYA

Polemik Cantrang Dan Solusinya - Jenis indera tangkap seperti ini sebenarnya telah dihentikan dari tahun 1980 yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl.  

Menteri Pertanian saat itu menyebutkan bahwa nama lain jaring trawl adalah pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring trawl ikan, pukat apolo, pukat langgasi, dan lain-lain.


Namun pada perkembangannya pemerintah nir konsisten menggunakan kebijakannya dimana dalam tahun 2008 jaring trawl diizinkan penggunaannya secara lokal melalui Permen-KP 6/2008 Tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela pada Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara.

POLEMIK CANTRANG DAN SOLUSINYA


Pada tahun 2011, pemberlakukan jaring trawl pulang dilegalkan secara nasional melalui Permen-KP 2/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  

Permen ini menyebutkan bahwa cantrang adalah salah satu jenis pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) yg menggunakan kapal motor ukuran lebih mini dari 30 GT.

Seiring menggunakan diangkatnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan serta Perikanan, cantrang dilarang digunakan diseluruh daerah pengelolaan perikanan Indonesia.  

Dengan berlakunya Permen-KP 2/2015, maka Permen-KP dua/2011 dicabut dan dinyatakan nir berlaku.  Konsekuensinya, pemerintah serta pemerintah wilayah tidak akan memberikan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) bagi nelayan yang menggunakan indera tangkap cantrang, baik izin baru juga biar perpanjangan. 


Penggunaan cantrang akan dipercaya sebagai tindakan illegal sehingga aparat penegak aturan pada bahari, polisi dan pengawas perikanan, dapat mengambil tindakan hukum terhadap nelayan yg menggunakan cantrang.

Pentahapan

Kebijakan pelarangan cantrang dalam dasarnya baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip internasional dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan misalnya yang diatur dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab.  

Tata laksana ini salah satunya mengatur bahwa setiap negara harus mengambil kebijakan buat mengurangi penangkapan ikan non-sasaran (by-catch) dan mengatur ukuran mata jaring buat melindungi juvenil ikan.

Kebijakan pelarangan cantrang juga nir bertentangan dengan UU 31/2004 jo UU 45/2009 tentang Perikanan yang menjelaskan bahwa setiap orang dihentikan memakai indera penangkapan ikan yang menganggu serta merusak keberlanjutan sumber daya ikan. 

Undang-Undang ini pula memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan serta Perikanan untuk tetapkan indera penangkapan ikan yang mengganggu serta Mengganggu keberlanjutan sumber daya ikan tersebut.

Namun persoalannya adalah penerapan kebijakan pelarangan cantrang terkesan tanpa perencanaan yg matang, sebagai akibatnya terjadi resistensi yg berkepanjangan.  

Selain itu, Menteri Susi nampaknya bekerja sendiri tanpa terdapat dukungan menurut kementerian lain.  


Padahal info cantrang merupakan gosip sensitif yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan hanya nelayan cantrang tapi jua orang-orang yg bekerja pada supply chain output tangkapan nelayan cantrang.

Pemerintah sebenarnya sanggup belajar berdasarkan mantan Presiden Soeharto waktu mengeluarkan kebijakan penghapusan jaring trawl tahun 1980. 

Soeharto ketika itu menyusun pentahapan yg mantap dimana setiap tahap terdiri dari sasaran penghapusan jumlah kapal jaring trawl.  


Dalam pelaksanaannya pun melibatkan beberapa kementerian, selain Menteri Pertanian yg waktu itu bertanggungjawab mengurusi bidang perikanan.

Cara kerja Soeharto dalam menyusun planning pentahapan ini sama dengan saat menyusun Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) serta hasilnya, 

menurut evaluasi Dwiponggo (1992), pada akhir Desember 1981 perikanan jaring trawl telah tidak terdapat lagi di Indonesia.

Belajar dari pengalaman tadi, maka saran sederhana buat pemerintahan sekarang merupakan Presiden merogoh alih kebijakan pelarangan cantrang dan menyusun planning pentahapannya dengan melibatkan menteri lain, 

selain Menteri Susi, seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Sosial, Menteri BUMN, serta Kapolri.

Hal ini krusial dilakukan lantaran cantrang bukan saja tentang teknis pengelolaan perikanan, tapi menyangkut kewenangan pemerintah wilayah, perdagangan output laut, industri perikanan, tenaga kerja, pemberdayaan nelayan, permodalan bisnis perikanan, serta penegakan hukum di laut.

Dengan komando Presiden, maka kebijakan pemerintah akan lebih terintegrasi dan Menteri Susi menerima dukungan penuh dari kementerian lain pada pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.


*Rony Megawanto, Pengamat Kelautan dan Perikanan. Artikel ini merupakan opini penulis.

 Baca Juga


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel