Sepatu Si Bapak Tua
Monday, May 20, 2019
Edit
Sepatu Si Bapak Tua
Seorang bapak tua dalam suatu hari hendak bepergian naik bus kota.
Saat menginjakkan kakinya ke tangga, galat satu sepatunya terlepas
dan jatuh ke jalan. Sayang, pintu tertutup dan bus segera berlari
cepat. Bus ini hanya akan berhenti pada halte berikutnya yg jaraknya
cukup jauh sehingga ia tak bisa memungut sepatu yang terlepas tadi.
Melihat kenyataan itu, si bapak tua itu menggunakan damai melepas
sepatunya yang sebelah dan melemparkannya ke luar jendela.
Seorang pemuda yg duduk pada bus tercengang, serta bertanya dalam si
bapak tua, ''Mengapa bapak melemparkan sepatu bapak yg sebelah
juga?'' Bapak tua itu menjawab menggunakan tenang, ''Supaya siapa pun yang
menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.''
Bapak tua dalam cerita di atas merupakan model orang yg bebas dan
merdeka. Ia sudah berhasil melepaskan keterikatannya dalam benda. Ia
berbeda menggunakan kebanyakan orang yang mempertahankan sesuatu semata-
mata karena ingin memilikinya, atau karena nir ingin orang lain
memilikinya.
Sikap mempertahankan sesuatu -- termasuk mempertahankan apa yang
sudah tak bermanfaat lagi -- merupakan akar dari ketamakan. Penyebab
tamak adalah kecintaan yang hiperbola dalam mal. Kecintaan
ini melahirkan keterikatan. Kalau Anda sudah terikat menggunakan sesuatu,
Anda akan mengidentifikasikan diri Anda dengan sesuatu itu. Anda
bahkan bisa menyamakan kebahagiaan Anda dengan memiliki benda
tersebut. Kalau demikian, Anda pasti sulit menaruh apapun yang
Anda miliki karena hal itu mampu berarti kehilangan sebagian
kebahagiaan Anda.
Kalau kita pikirkan lebih pada lagi ketamakan sebenarnya berasal
dari pikiran dan paradigma kita yang galat terhadap mal. Kita
sering menganggap harta kita sebagai milik kita. Pikiran ini keliru.
Harta kita bukanlah milik kita. Ia hanyalah titipan dan jujur yang
suatu saat wajib dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban kita
adalah sejauh mana kita mampu menjaga serta memanfaatkannya.
Peran kita pada hidup ini hanyalah sebagai media serta perantara.
Semuanya merupakan milik Tuhan serta suatu ketika akan balik kepadaNya.
Tuhan telah menitipkan banyak hal pada kita: mal, kekayaan,
pasangan hidup, anak-anak, dan sebagainya. Tugas kita adalah menjaga
amanah ini dengan baik, termasuk meneruskan pada siapa saja yang
membutuhkannya.
Paradigma yg terakhir ini akan menciptakan kita menyikapi masalah
secara tidak selaras. Kalau umumnya Anda merasa terganggu begitu ada orang
yang membutuhkan donasi, sekarang Anda justru merasa bersyukur.
Kenapa? Karena Anda melihat hal itu sebagai kesempatan untuk
menjadi ''perpanjangan tangan'' Tuhan. Anda tidak merasa terganggu
karena memahami bahwa tugas Anda hanyalah meneruskan ''titipan'' Tuhan
untuk membantu orang yg sedang kesulitan.
Cara berpikir seperti ini akan melahirkan hidup yang
berkelimpahruahan dan penuh anugerah bagi kita serta lingkungan
sekitar. Hidup misalnya ini merupakan hidup yg senantiasa bertambah dan
tak pernah berkurang. Semua orang akan merasa menang, tak ada yang
akan kalah. Alam semesta sebenarnya bekerja menggunakan konsep ini, semua
unsur-unsurnya bersinergi, membuat kemenangan bagi semua pihak.
Oleh: Arvan Pradiansyah, Republika
Seorang bapak tua dalam suatu hari hendak bepergian naik bus kota.
Saat menginjakkan kakinya ke tangga, galat satu sepatunya terlepas
dan jatuh ke jalan. Sayang, pintu tertutup dan bus segera berlari
cepat. Bus ini hanya akan berhenti pada halte berikutnya yg jaraknya
cukup jauh sehingga ia tak bisa memungut sepatu yang terlepas tadi.
Melihat kenyataan itu, si bapak tua itu menggunakan damai melepas
sepatunya yang sebelah dan melemparkannya ke luar jendela.
Seorang pemuda yg duduk pada bus tercengang, serta bertanya dalam si
bapak tua, ''Mengapa bapak melemparkan sepatu bapak yg sebelah
juga?'' Bapak tua itu menjawab menggunakan tenang, ''Supaya siapa pun yang
menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.''
Bapak tua dalam cerita di atas merupakan model orang yg bebas dan
merdeka. Ia sudah berhasil melepaskan keterikatannya dalam benda. Ia
berbeda menggunakan kebanyakan orang yang mempertahankan sesuatu semata-
mata karena ingin memilikinya, atau karena nir ingin orang lain
memilikinya.
Sikap mempertahankan sesuatu -- termasuk mempertahankan apa yang
sudah tak bermanfaat lagi -- merupakan akar dari ketamakan. Penyebab
tamak adalah kecintaan yang hiperbola dalam mal. Kecintaan
ini melahirkan keterikatan. Kalau Anda sudah terikat menggunakan sesuatu,
Anda akan mengidentifikasikan diri Anda dengan sesuatu itu. Anda
bahkan bisa menyamakan kebahagiaan Anda dengan memiliki benda
tersebut. Kalau demikian, Anda pasti sulit menaruh apapun yang
Anda miliki karena hal itu mampu berarti kehilangan sebagian
kebahagiaan Anda.
Kalau kita pikirkan lebih pada lagi ketamakan sebenarnya berasal
dari pikiran dan paradigma kita yang galat terhadap mal. Kita
sering menganggap harta kita sebagai milik kita. Pikiran ini keliru.
Harta kita bukanlah milik kita. Ia hanyalah titipan dan jujur yang
suatu saat wajib dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban kita
adalah sejauh mana kita mampu menjaga serta memanfaatkannya.
Peran kita pada hidup ini hanyalah sebagai media serta perantara.
Semuanya merupakan milik Tuhan serta suatu ketika akan balik kepadaNya.
Tuhan telah menitipkan banyak hal pada kita: mal, kekayaan,
pasangan hidup, anak-anak, dan sebagainya. Tugas kita adalah menjaga
amanah ini dengan baik, termasuk meneruskan pada siapa saja yang
membutuhkannya.
Paradigma yg terakhir ini akan menciptakan kita menyikapi masalah
secara tidak selaras. Kalau umumnya Anda merasa terganggu begitu ada orang
yang membutuhkan donasi, sekarang Anda justru merasa bersyukur.
Kenapa? Karena Anda melihat hal itu sebagai kesempatan untuk
menjadi ''perpanjangan tangan'' Tuhan. Anda tidak merasa terganggu
karena memahami bahwa tugas Anda hanyalah meneruskan ''titipan'' Tuhan
untuk membantu orang yg sedang kesulitan.
Cara berpikir seperti ini akan melahirkan hidup yang
berkelimpahruahan dan penuh anugerah bagi kita serta lingkungan
sekitar. Hidup misalnya ini merupakan hidup yg senantiasa bertambah dan
tak pernah berkurang. Semua orang akan merasa menang, tak ada yang
akan kalah. Alam semesta sebenarnya bekerja menggunakan konsep ini, semua
unsur-unsurnya bersinergi, membuat kemenangan bagi semua pihak.
Oleh: Arvan Pradiansyah, Republika