SEJARAH ATAU KISAH AWAL TERJADINYA PERANG BUBAT

Sejarah atau Kisah Awal Terjadinya Perang Bubat - Perang Bubat adalah perang dimana Raja Pajajaran datang buat menyampaikan pernikahan antara Raja Hayam Wuruk menurut Majapahit dan Putri Diah Pitaloka berdasarkan Pajajaran. Perang Bubat ini berakibat peristiwa sejarah yang sebagai kontroversi di antara budaya Sunda serta Jawa, serta melahirkan aneka macam prasangka di antara keduanya.
Banyak terdapat warta penting sebenarnya menurut Kitab Kidung Sunda jikalau kita analisia, buku ini adalah keliru satu sumber surat keterangan penguat adanya perang Bubat selain buku Pararaton, walau kitab resmi kerajaan Majapahit yaitu buku Negarakertagama, yang sama sekali tidak menyinggung peristiwa besar itu.
Pupuh I berdasarkan kitab kidung Sunda disebutkan nama raja kerajaan Majapahit yaitu Hayam Wuruk, nama Hayam Wuruk ini diangkat juga oleh buku Pararaton, inilah kaitannya dan kenapa dikatakan bahwa kitab Kidung Sunda serta Pararaton merupakan dua buku saling menguatkan yaitu pada peristiwa perang Bubat. Teramat aneh bila masyarakat mendapat sebutan raja Majapahit Sri Rajasanagara dengan Hayam Wuruk, Hayam merupakan istilah pada bahasa Sunda yang memiliki arti Ayam, sedang Wuruk sama kata pada bahasa Sunda yg mempunyai arti jago lebih kearah jagoan kelahi. Inilah hebatnya yang mempromosikan buku Pararaton sehingga nama Hayam Wuruk seolah-olah sahih nama sebutan atau panggilan dan tidak tanggung-tanggung nama seorang raja besar kerajaan Majapahit. Bahkan pemerintah pun mengakui sebutan itu.
Informasi lainnya seperti hal-hal yg tidak mungkin, tidak masuk akal dan berbau mistis, misalnya petikan ini:
"Maka beliau (red-Gajah Mada) mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara serta melakukan yoga samadi. Setelah itu dia menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala)”
Kitab Kidung Sunda dipandang menurut seluruh isinya berupa narasi buat sebuah kisah, lebih kearah fiksi fantasi artinya terdapat hayalan imaginer menurut si pembuat atas insiden yg diceritakan . Tentu saja kebenaran sejarah buat narasi seperti ini sangat diragukan mampu jadi tidak ada nilai sejarahnya, bisa jadi jua bawa perang Bubat ini hanyalah rekayasa mengikuti cerita sebelumnya, karena buku Kidung Sunda ini diterbitan selesainya buku pertama yang memuat kejadian serupa mengenai perang Bubat diterbitkan terlebih dahulu yaitu buku Pararaton.
Baiklah pada hal initidak diperdalam lebih lanjut mengenai keaslian, kebenaran atau kepalsuan dari buku Kidung Sunda dan Pararaton, tetapi lebih penekanan menganalisa isi yg disampaikan oleh kitab Kidung Sunda mengenai insiden perng Bubat, mari perhatikan petikan menurut kitab Kidung Sunda:
Petikan sebagian kitab Kidung Sunda (terjemahan) Pupuh I :
“ Maka Madhu balik ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama lalu mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah dua.000 kapal, berikut kapal-kapal mini . Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini. Namun waktu mereka naik kapal, terlihatlah pratanda jelek. Kapal yg dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) misalnya banyak digunakan sejak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)”.
Informasi penting yang diperoleh dari sebagian petikan buku Kidung Sunda diatas keliru satunya yaitu mengenai jumlah armada rombongan berdasarkan Kerajaan Sunda Galuh, yang terdiri menurut 200 buah kapal berukuran kecil, jumlah total armada itu kurang lebih 2.000 buah bahtera terdiri berdasarkan sebagian akbar jumlah kapal pada ukuran besar ditambah 200 kapal dalam berukuran mini .
Hitungan matematis sederhana, bila dimisalkan 1 butir perahu homogen-homogen memuat atau membawa awak 10 orang, berarti jumlah rombongan lebih kurang 20.000 orang, ini jumlah yang terlalu over dosis atau berlebihan buat sebuah acara perkawinan. Bayangkan lagi bila muatannya dalam 1 buah perahu minimal mengangkut rata-homogen awak 20 orang, berarti jumlah rombongan mampu mencapai sekitar 40.000 orang, dan itu pula bukan jumlah sedikit, jumlah itu cukup buat sebuah planning menggempur atau menyerang suatu negara atau kerajaan lain dalam saat itu.
Perjalanan berlayar dari tanah Sunda ke tanah Jawa ujung timur dengan menggunakan bahtera-perahu, pasti bukanlah jenis perahu kecil-kecil yang dipakai. Perahu-bahtera ini mestinya wajib sanggup memuat jumlah personil atau awak perahu lebih dari 30 orang dalam 1 butir perahu, kalau dihitung lagi dan dijumlahkan berdasarkan homogen-rata 1 buah bahtera memuat awak 30 orang, maka total jumlah orang akan mencapai jumlah kisaran lebih menurut 60.000 orang, jumlah yang relatif fantastis dan ideal buat sebuah planning penyerangan, sekaligus membumihanguskan kerajaan seperti Majapahit yg notabene mereka sedang sibuk melakukan invasi ke luar wilayah kerajaannya.
Teknologi maritim atau tehnologi pembuatan perahu, lalu lalu disesuaikan dengan keberadaan kerjaan Sunda Galuh yang masa perdamainya ratusan tahun lamanya, tentunya pembuatan bahtera dan tehnologi akan sangat dimungkinkan, bisa jadi output membeli menurut negara lain seperti yang diungkapkan bahwa bahtera-perahu besar yang dipakai mirip menggunakan perahu-perahu tentara Mongol saat menyerang kerajaan Kediri masa pemerintahan Jayakatwang, terlebih punya interaksi kedekatan sejarah dengan kerajaan Sriwijaya yg populer mempunyai teknologi maritim yang unggul, ditambah lagi pendanaan yg relatif buat membeli atau menciptakan kapal atau perahu sejumlah itu.
Tradisi Jawa atau dimana pun pada pernikahan, laki-laki yg harus datang ke tempat si calon istri, bukan malah sebaliknya. Seandainya raja Sunda Galuh dan pasukannya dalam kisah kitab Kidung Sunda itu dikatakan merasa terhina menjadi alasan buat berperang dalam saat itu, dengan diceritakan bahwa mereka wajib serta diminta takluk secara militer sang Gajah Mada, maka secara akal logika sehat sebenarnya itu tidak mungkin, jika alasanya seperti itu, adalah menurut awal beliau sudah menghinakan diri menggunakan tiba mengantar oleh putri Citraresmi menjadi calon istri raja Majapahit Hayam Wuruk (atau Sri Rajasanegara), kisah ini lawan asas tentunya, tidak mampu diterima. Walau pun mungkin dalam daerah-wilayah eksklusif atau kondisi spesifik terdapat yang seperti itu yaitu si pihak calon istri yang tiba ke pihak laki-laki akan tetapi itu nir bisa disebut kebenaran generik.
Dalam kitab Kidung Sunda itu juga dibahas mengenai Gajah Mada yg disalahkan oleh para seniornya (para penguasa Wilayah Daha serta Kahuripan) dikeraton kerajaan Majapahit yg merpakan paman Hayam Wuruk, yaitu saat berakhirnya perang Bubat, tapi mengapa dalam buku kidung Sunda dinyatakan bahwa diantara pimpinan Sunda Galuh termasuk rajanya yg terbunuh, bahwa merekalah (para senior) yg melakukannya. Ketika insiden itu berlangsung, suatu hal yg nir singkron satu sama lain yaitu Hayam Wuruk ikut dan pada peperangan itu. Disini realistik juga, kelihatan jelas sisi fantasi si pengarang, dalam fenomena perang sesungguhnya siapapun bisa saling membunuh nir hanya pembesar dengan pembesar, prajurit biasa pun mampu membunuh seseorang raja, atau sanggup jadi mereka nir terbunuh eksklusif akan tetapi karena terkena panah atau tombak jeda jauh.
Walau pun ada sisi sentimentil dari Kidung Sunda itu yg mengatakan Hayam Wuruk menyesalkan kematian Dyah Pitaloka atau Citraresmi yg dikisahkan bunuh diri. Padahal kematian misalnya itu bagi yang telah acapkali mengalami peperangan merupakan sesuatu hal biasa apalagi ajaran yg dianut memungkinkan si istri atau keluarga mengorbankan diri sesudah suami atau orang tuanya tiada, atau memang secara humanisme walaupun perang merupakan suatu pilihan, melihat ribuan orang melayang jiwanya, tentunya sebagai kesatria perang semua melakukan penghormatan kepada pihaknya sendiri ataupun pihak lawan menggunakan rasa duka mendalam.
Dalam kitab Kidung Sunda juga dijelaskan terdapat utusan dari Majapahit ke kerajaan Sunda Galuh, yg diceritakan dan diterangkan membawa maksud menurut raja Hayam Wuruk untuk melamar puteri kerajaan. Analisa yg mungkin buat kejadian atau ketika insiden datangnya utusan dari Majapahit, adalah bahwa utusan kerajaan Majapahit itu sebenarnya utusan kerajaan buat meminta raja Sunda Galuh buat tunduk serta takluk dibawah kerajaan Majapahit, pola utusan-utusan misalnya itu hal biasa bila galat satu kerajaan punya cita-cita buat menaklukan kerajaan yg lainnya, semacam peringatan nir menyerang datang-datang tanpa alasan. Pada akhirnya jikalau diterima berarti ke 2 belah pihak berdamai dengan syarat-kondisi ditentukan beserta, bila sebaliknya ke 2 belah pihak harus sudah mempersiapkan diri buat memulai peperangan.
Seandainya perang itu telah diniatkan oleh Raja Sunda Galuh, pertanyaannya adalah mengapa pramesuri dan putri keraton ikut dan. Hal ini mudah dijawab, lantaran asumsinya perjalanan panjang, sebuah rencana operasi militer dari tanah Sunda ke Majapahit setidaknya memerlukan ketika yang lama . Pastinya terdapat kapal-kapal primer yang nyaman buat mereka, dikapal-kapal akbar sudah tentunya sanggup buat anggota keluarga kerajaan melakukan kegiatan yang tidak terganggu oleh kondisi perjalan perang dari prajurit-prajuritnya yang lain, bisa dibentuk senyaman mungkin.
Keikutsertaan mereka pada perjalanan pertempuran adalah hal biasa, seperti halnya pasukan Mongol yang melakukan perjalanan panjang (long march) ke negara lain, mereka seringkali membawa dan keluarganya, sekaligus mereka sanggup dimanfaatkan dalam persiapan upacara keagamaan sebelum memulai peperangan dan lain sebagainya. Dalam saat-saat eksklusif mampu jadi buat motifator bagi pasukan serta sang raja, menambah semangat tempur prajuritnya.
Jumlah lebih kurang 2000 butir kapal adalah kemegahan yang sangat luar mampu, wajar bagi kerajaan Sunda Galuh yang hidup makmur dan akbar secara luas daerah kekuasaannya, ingin menerangkan superioritas perekonomian dan kemampuan dana mereka. Pasukan besar yg dipimpin raja Sunda Galuh itu merupakan hal wajar, adonan menurut koloninya, daerah-daerah kerajaan bawahan kekuasan kerajaan Sunda Galuh pada waktu itu. Jumlah itu adalah jumlah pasukan tentara adonan dan pasti terdapat keyakinan dari mereka bisa mengalahkan pasukan tentara kerajaan Majapahit yg kemungkinan sebagian akbar pasukanya masih melakukan ekspedisi atau pencaplokan keluar wilayah ke negara atau kerajaan lainya.
Sumber sejarah lain yg menjadi pendukung kisah terjadinya perang Bubat yaitu buku Pararaton (kitab para raja), yang galat satu petikan tentang insiden antara lain :
"Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan sang bangsawan bangsawannya, mereka ini bisa gugur dimedan perang pada Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya."
Petikan diatas memberikan keterangan yaitu adanya pemberitahuan dari Raja Sunda Galuh kepada para bangsawannya, mengenai pilihan penyerahan puteri raja sebagai persembahan bagi Raja Majapahit. Para bangsawan menolak pilihan itu tersebut, ini adalah teori rencana penyerahan atau iring-iringan buat mengantar oleh puteri yg akan dinikahkan menggunakan raja Majapahit Hayam Wuruk itu tidak pernah terjadi, yg terdapat merupakan raja Sunda Galuh beserta para pembesar kerajaanya putusan bulat buat menyatakan perang terhadap Majapahit. Kesimpulan yang mampu ditarik merupakan bahwa peperangan ini telah direncanakan sebelumnya, sedang dipilih wilayah Bubat merupakan lantaran lokasi dan pilihan strategi mereka yg sudah mereka menetapkan buat menggempur atau menyerang kerajaan Majapahit.
Petikan menurut buku Pararaton :
" Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka dalam fihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang menurut Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, seluruh rakyat Sunda bersorak.
Bercampur menggunakan bunyi bende, keriuhan sorak tadi misalnya guruh.
Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh beserta sama dengan Tuhan Usus.
Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, dia nir memahami bahwa orang orang Sunda masih banyak yg belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yg terkemuka kemudian menyerang, orang Majapahit rusak.
Adapun yg mengadakan perlawanan serta melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya.
Semua menteri araman itu berperang menggunakan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju loka Gajah Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah misalnya samudera , bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tidak terdapat yg ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279."
Petikan diatas seperti gayung bersambut, seirama atau sinkron menggunakan warta yang diberikan buku Kidung Sunda tentang jumlah pasukan tentara Kerajaan Sunda Galuh yg ikut berperang, yaitu dengan skala jumlah pasukan tentara yg luar biasa besar .
Tambahan warta yg menguatkan menurut petikan diatas tentang adanya pernyataan suara bende dan keriuhan sorak misalnya gemuruh, serta dinyatakan jua bahwa pasukan tentara Sunda Galuh yang gugur digambarkan dengan situasi bahwa sebaran aliran darah akibat banyaknya prajurit yang gugur diibaratkan seperti samudera , bangkai-bangkai insan atau tentara misalnya gunung, dan kehancuran total tanpa bersisa.
Seandainya jumlah mayat sampai menggunung itu bukanlah jumlah sedikit dan kematian seperti itu pada perang jaman seperti itu mungkin sudah biasa serta sering terjadi, soalnya ketika pasukan Jenghis Khan menyerang kesultanan Kwarizmi, terjadi pembantaian luar bisa yg mencapai nomor jutaan jiwa insan. Konon katanya penggambaran situasinya waktu itu, kepala yg dipenggal saja dalam saat itu jika digambarkankan membentuk bukit-bukit piramida akbar, belum badan yg bergelimpangan dan berserakan dimana-mana. Sungguh pemandangan yg mengerikan, tetapi ini warta sejarah serta peristiwa ini jua yang mampu terjadi ketika itu.
Pertanyaan lalu adalah mengapa pasukan akbar tentara kerajaan Sunda Galuh bisa dikalahkan pada perang itu, terbantai habis tidak bersisa. Hal ini dikarenakan sudah ratusan tahun lamanya kerajaan Sunda Galuh nir pernah lagi berperang dalam sekala akbar serta panjang, setelah masa-mas kedamaian serta kemakmuran (abad ke-10 sampai ke-14 Masehi), walau pun setatusnya kerajaan akbar yang adalah salah satu negara adidaya ditataran pulau Jawa bahkan nusantara. Kondisi kebalikannya buat pasukan tentara kerajaan menurut Majapahit yang dalam ketika itu monoton melakukan pencaplokan milter ke negara-negara lain dan itu ialah selalu berselimut menggunakan pengalaman perang hingga waktu itu.
Pasukan tentara Majapahit dalam waktu itu diasmunsikan masih gencar-gencarnya melakukan invasi atau ekspedisi ke negara-negara lain, tentunya pasukan-pasukanya sebagian nir terdapat diposisi wilayah kerajaan. Logika jumlah keterlibatan pasukan tentara Majapahit pada saat itu sendiri niscaya berkurang dari jumlah keseluruhan total pasukan kerjaan secara keseluruhan, asumsi paling sekitar 1/dua atau dua/3 menurut pasukan tentara kerajaan Sunda Galuh yang ada disana. Tetapi dengan jumlah misalnya itu pun bisa mengalahkan pasukan tentara Sunda Galuh, mengapa? Hal ini dikarenakan meraka telah terlatih, terbiasa, tertempa serta berpengalaman dalam kehidupan perang selama itu.
Sekenario perang sanggup saja diumpamakan 3 tahapan yaitu :
Perang permulaan antar armada dilautan, pasukan armada samudera Majapahit terdesak karena kekurangan armada, tapi itu tujuannya bukan perang total lebih ke arah gangguan
Perang pantai, disini hanya buat melemahkan pasukan kerajaan Sunda Galuh lantaran yg hanya sanggup dilakukan oleh pasukan perang Majapahit hanya bisa menahan melalui agresi panah dan itu ada batas pasokan panah, tapi ini paling efektif dalam mengurangi jumlah musuh.
Perang darat yang terjadi dilapangan luas Bubat, disinilah perang total, dengan aneka macam taktik, serta yang lebih lebih banyak didominasi pada perang seperti ini merupakan pengalaman serta strategi.
Gajah Mada serta Hayam Wuruk punya prototipe atau sumber pandangan baru metode pembentukan pasukan tentara perang, yaitu dari bangsa Mongol menggunakan panglima perang kaligus kaisar Imparium akbar daratan Mongol yaitu Jenghis Khan, Sang Penakluk dengan priode kekaisarnya jua berkembang dalam masa itu pula, walau dalam masa mereka kaisar Mongol di pegang sang penerusnya yaitu Kubelai Khan, ini juga adalah contoh bagi negara-negara lain diseluruh global buat sebuah hasrat pemersatuan suku bangsa-bangsa menuju bangsa yg besar .
Gagasan primer atau ide pemersatuan ini dipelopori pertama kali sang Sri Rajasa Sang Amurwabhumi (Ken Arok – versi nama Kitab Pararaton), pendiri Wangsa Rajasa, yg berawal sebagai penguasa kadipaten Tumapel, bagian menurut kerajaan Kediri, selanjutnya merogoh alih kekuasaan kerajaan Kediri serta membentuk kerajaan baru yang populer dengan nama kerajaan Tumapel (Singhasari versi buku Pararaton). Kematian raja Tumapel Sri Rajasa sama dengan kematian Jenghis Khan tahun 1227 Masehi. Keberadaan kerajaan Tumapel sudah ada pada catatan berdasarkan Dinasti Yuan berdasarkan Cina dengan sebutanatau pelafalan “Tu-ma-pen”. Artinya memang interaksi perdagangan sudah dilakukan sebelumnya antara kerajaan nusantara menggunakan daerah Cina, serta dari hal seprti inilah peta perpolitikan global tersampaikan ke daerah nusantara.
Raja Majapahit masih keturunan pribadi Wangsa Rasaja, yang pendirinya tiada lain raja Tumapel atau lebih terkenal sebutan Singhasari pertama, Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Ide atau gagasan perluasan daerah Sri Rajasa lalu ditindaklanjuti oleh turunan ke-4 yaitu raja Kertanegara, sehingga kekuasaan Tumapel yg lebih terkenal dengan sebutan Singhasari dalam waktu itu telah meluas menggunakan adanya misi yg populer menggunakan sebutan “Ekspedisi Pamalayu”.
Ide dan gagasan pemersatuan serta ekspansi daerah ini sebenarnya dalam akhirnya bertujuan buat menghadang gempuran kekuatan besar pasukan tentara Mongol itu sendiri, yang kemungkinan akan menunjuk ke daerah Asia bagian tenggara, tanpa kecuali daerah-daerah nusantara. Ide atau gagasan pemersatuan ini pula dibuat untuk sistem pertahanan semesta dan pembentukan aliansi atau tentara adonan pasukan tentara semua kerajaan di nusantara menghadapi terjangan badai akbar menurut pasukan tentara Mongol.
Pasukan tentara Mongol bahkan sanggup memporakporandakan serta membantai sejumlah pasukan yang sanggup jadi 5 kali lipat jumlah pasukanya, tentunya ini output butir strategi dan pengalaman perang mereka didaratan Mongol, perang antar klan (suku) menyebabkan meraka teruji buat model perang seperti apapun.
Begitu pula pada mengadapi pasukan akbar tentara Sunda Galuh walaupun tentara yg dibawa sebegitu banyak, laksana air bah, mungkin tentara Majapahit hanya terkumpul 30.000 – 45.000 orang, tapi posisi meraka yg menguasai medan tempur serta pakar-ahli perang semua, akan dengan gampang membikin porak-porandakan gugusan tentara Sunda Galuh.
Perang Bubat ini niscaya perang yg sangat heroik serta penuh cerita kepahlawanan bagi kedua belah pihak (jika asumsinya sahih-benar terjadi), karena bukti prasati peninggalan jaman itu tidak pernah dibahas tentang kepahlawanan perang Bubat, logikanya bila itu terjadi niscaya didirikan monumen bersejarah bagi kedua belah pihak, lantaran insiden ini nir mungkin terlupakan dalam sejarah kebangsaan.
Pasukan tentara Majapahit akan bertempur menggunakan strategi jitu, sedangkan Sunda Galuh selain taktik mengandalkan jumlah besarnya, walaupun dalam akhirnya kalah serta pasti ada yang menyerah, pasukan majapahit niscaya nir akan menerima, soalnya ini mengadopsi berdasarkan kebijakan perang Genghis Khan, apa lagi posisi musuh menyerang duluan logikanya wajib dibantai habis memang kalau kita terdapat dalam emosi perang misalnya itu, kejadian terbalik kalau pasukan Majapahit jika mereka pada posisi menang, niscaya pasukan Majapahit gantian yang akan dibantai habis.
Tapi mungkin yang lebih mengena adalah sifat kepahlawanan berdasarkan pasukan tentara Sunda Galuh sendiri, yang nir mengenal kata menyerah, mereka melakukan perang seperti model perang Puputan yaitu perang sampai habis-habisan, menggunakan semangat perang yaitu sampa darah penghabisan alias gugur menjadi pahlawan perang.
Tentunya semangat kepahlawanan ini yg sangat membanggakan dan menciptakan siapa pun terharu termasuk pihak versus, serta tradisi perang umumnya punya tradisi penghormatan luar biasa bagi pihak lawannya yang gugur. Itulah gambaran raja Hayam Wuruk yg merasa terharu sang syarat perang semacam itu, melihat kepahlawanan dari semua prajurit yang gugur termasuk seluruh famili raja serta para bangsawan.
Beda halnya jikalau raja Sunda Galuh melarikan diri menurut peperangan, tentunya ini akan mencedrai nilai kepahlawanan itu. Perang hingga titik darah penghabisan ini akan sebagai kebanggan jua bagi seluruh rakyat Sunda Galuh dalam waktu itu. Kalah memang tapi kalah secara terhormat serta membanggakan, tidak terdapat alasan bagi mereka merasa terhina atau malu.
Kalau metoda perang hingga paripurna oleh pasukan Majapahit, yg kemungkin akbar kerajaan-kerajaan di Nusantara diperlakukan sama pula sang cara-cara misalnya ini yaitu perang total hingga higienis, diteror menggunakan cara yang serupa yaitu habisi dengan sempurna. Itu juga, sekali lagi kalau telah dalam situasi perang, bagi meraka yang menyatakan tidak tunduk dan mengakui kerajaan kerajaan Majapahit, sebagai akibatnya itu pula pada saat singkat serta cepat yang menyebabkan kerajaan-kerajaan Nusantara bisa disatukan serta ditaklukan.
Apa yg dilakukan raja Sunda Galuh bersama pasukan tentaranya adalah hal lumrah, karena mereka mencoba mempertahankan diri kerjaannya menggunakan melakukan penyerangan duluan, teori agresi dadakan, daripada mereka diserang duluan, akan tetapi galat perhitungan serta nir didukung atau dibarengi menggunakan pengalaman perang pasukan.
Pada akhirnya meraka wajib mengakui kekalahan itu. Sang raja Sunda Galuh beserta menggunakan seluruh pasukan tentara serta pengikut kerajaan Sunda Galuh sebagai para pahlawan yg gugur menggunakan gagah berani mengadapi resiko kematian menjadi output akhir dalam peperangan tersebut.
Gajah Mada terkenal memiliki pasukan elit intelejen yang bernama Bayangkara, yang telah telatih serta terdidik mendekati sempurna, informasi penyerangan kerajaan Sunda Galuh misalnya ini itu pasti akan telah meraka terima sebelumnya dan telah dipersiapkan antisifasinya walaupun dengan sumber daya seadanya.
Mahapatih Gajah mada, raja Hayam Wuruk dan pasukan militernya wajib bekerja keras dan dengan taktik yang brilian buat menghadapi jumlah musuh yg begitu akbar, walaupun kemenangan diraih akan tetapi jumlah pasukan yg selamat hanya tinggal beberapa ribu orang saja pastinya.
Setelah perang Bubat, pasukan Kerajaan Majapahit nir memobilisasi pasukan akbar ke pusat kerajaan Sunda Galuh sehabis kemenangan itu, itu dikarenakan secara hitung-hitungan kerajaan Sunda Galuh bukan lagi kekuatan yang mampu menghadang dimasa yg akan tiba dan mereka jua perlu ketika buat memulihkan syarat akibat yg disebabkan sang perang besar tersebut.
Kitab Kidung Sunda menyatakan Gajah Mada moksa (menghilang ditelan bumi menggunakan cara-cara mistis), tetapi dalam Negarakertagama tentang Gajah Mada yaitu lantaran usianya telah uzhhur telah waktunya digantikan dan menikmati masa-masa tua, serta dalam diri Gajah Mada sendiri telah merasa relatif, apa yang beliau usahakan yang terakhir dengan mengalahkan pasukan besar tentara kerajaan Sunda Galuh artinya semua nusantara bisa ditaklukan, perjalanan penaklukan yang sempurna.
Gajah Mada berusia 71 tahun saat terselesaikan menjabat Mahapatih di kerajaan Majapahit dari tahun 1313 M sejak dia menjabat patih pada kerajaan Kediri, bawahan kerajaan Majapahit hingga menggunakan tahun 1364 M, terhitung 51 tahun masa menjabatnya, ditambah dia sudah menjabat prajurit senior sebagai pemimpin pasukan Bayangkara, asumsi katakanlah 25 tahun berarti kisaran usianya kurang lebih 76 tahun, usia yang lumrah sekiranya Gajah Mada tutup usia, atau Gajah Mada menggunakan umur segitu sudah sebagai insan lanjut usia (red - aki-aki rempong), lumrah buat purna tugas serta menikmati hidup apalagi keinginan serta pengabdian besarnya telah dirasa relatif.
Hayam Wuruk jika merujuk tahun perang Bubat berdasarkan Kitab Pararaton yaitu tahun 1357 M, maka diubahsuaikan dengan masa menjabat Hayam Wuruk sebagai raja berdasarkan tahun 1334 sampai menggunakan tahun 1389 M dihitung tahun yang dalam awal dinobatkannya disebut menjadi raja muda, katakanlah usia pada ketika itu 10 tahunan, adalah umur Hayam Wuruk pada ketika perang Bubat terjadi merupakan 33 tahun dan umur segitu Hayam Wuruk sudah menikah serta punya anak perempuan umur 14 tahun yg sudah dijodohkan menggunakan anak sepupunya yang nantinya akan sebagai raja Majapahit sehabis raja Hayam Wuruk. Teori persembahan Dyah Pitaloka kayanya mubazir, lantaran Sang Prabu Raja Galuh pasti nir mau anaknya jadi selir yang tidak menurunkan putera mahkota.
Cerita perang Bubat ini tidak sama dengan kondisi cerita-cerita yang tersebar secara generik,. Perangan antara rombongan para pengantar calon penganten puteri berdasarkan kerajaan Sunda Galuh buat raja Majapahit Hayam Wuruk. Ini hanyalah analisa menurut keberadaan buku Kidung Sunda yg dipercaya referensi buat kejadian atau insiden perang Bubat.
Kitab Kidung Sunda itu sendiri seperti halnya kitab Pararaton dan kitab Sundayana harus dipastikan ke absyahannya, kebenaran kandungan ceritanya. Soalnya ini sejarah, jangan hanya terjebak dan terpaku kepada cerita anak manusia, sekelompok orang atau pihak tertentu yang punya kepentingan tidak baik bagi kehidupan bangsa Indonesia, yang kemudian cerita itu malah dianggap sebagai kebenaran umum. Artinya kita akan salah kaprah dan riset sejarah dari pemerintah Indonesia sendirilah yang harusnya bertanggung jawab meluruskan kebenaran sejarah, dengan membentuk Dewan Sejarah Nasional.
Apa yg penulis ceritakan hanya berdasar asumi yaitu jika perang itu benar-benar terjadi, silakan masing-masing pembaca yang budiman untuk menganalisa sendiri kitab Kidung Sunda. Logika dan syarat-kondisi realistiklah yang menjadi dasar bagi si penulis.
Satu hal yg jadi pertanyaan akbar pada kidung Sunda ini, pengarangnya nir menyebut nama kentara prameswari dan puteri raja Sunda Galuh yaitu Citraresmi atau Dyah Pitaloka dan bahkan nama Raja Sunda Galuh pada saat itu jua nir disebut, logikanya orang yang mengarang buku (buku) Kidung Sunda adalah orang yag terbatas pengetahuannya tentang sejarah itu sendiri, atau ini hanyalah fiksi berdasarkan cerita-cerita sebelumnyaan yg mana puteri Citraresmi atau Dyah Pitaloka sendiri hanya terdapat di buku Pararaton, buku yang dipercaya sahih sang masyarakat generik, walau sebenarnya buku Pararaton ini banyak keanehan dan kebenarnya yang sama-sama wajib dibuktikan.
Akhir istilah, Sri Rajasa (Ken Arok - versi Kitab Pararaton), Kertanegara, Gajah Mada serta Hayam Wuruk adalah para penganut pola serta metoda Jenghis khan, serta diterapkan sinkron kehidupan ditataran tanah Jawa serta Nusantara pada pencapaian lebih jauh. Masalah perang bubat bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan lantaran jastifikasi sejarah belum ada, namun kalau itupun benar banyak sekali pelajaran yang mampu diambil. Semoga seluruh pihak ikhlas menerima sesuatu yg terjadi dikehidupan masa lampau umat manusia, lantaran itulah jalan dan taqdir IILAHI.
Referensi:
//www.goodreads.com/book/show/6369138-perang-bubat
//www.merdeka.com/peristiwa/gajah-mada-kisah-perang-bubat-serta-politik-majapahit.html
//ajiraksa.blogspot.com/2012/05/teori-perang-bubat-analisa-buku-kidung.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel