DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

PENDAHULUAN

   Pada akhir dasawarsa abad ke-20, demokratisasi sebagai salah satu info yg paling populer diperbincangkan. Indikasi konkret menurut kepopuleran info itu merupakan berlipat gandanya jumlah negara yg menganut sistem pemerintahan demokratis. Negara yang awalnya nir demokratis, dan merta merubah haluan negaranya sebagai demokratis.
     Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang buat mengangkat seorang yang berhak memimpin dan mengurus rapikan kehidupan komunal mereka. Dan tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yg mereka sukai. Mereka tidak boleh dipaksa buat menentukan suatu sistem ekonomi, sosial atau politik yg nir mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol serta mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya menggunakan orang lain bila menyimpang.
    Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi pada pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini lalu ada idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi insan), dst. Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota warga juga sebagai pemimpin negara. Doktrin tadi adalah prinsip Islam yang wajib ditegakkan dimana pun serta kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang kondusif dan sejahtera.
    Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip serta idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi pada negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington serta F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen utama yg mengkategorikan menjadi bagian terpenting dalam penegakan demokrasi.
     Secara historis, demokrasi muncul menjadi respon terhadap system monarchi diktator Yunani dalam abad 5 M. Dalam waktu demokrasi ditetapkan dalam bentuk systemnya dimana semua rakyat (selain wanita, anak serta budak) menjadi produsen undang-undang. Secara umum demokrasi itu kompatibel menggunakan nilai nilai universal Islam. Misalnya persamaan, kebebasan, permusyawaratan serta keadilan. Akan tetapi pada dataran implementatif hal ini nir terlepas menurut problematika. Sebagai contoh adalah waktu nilai-nilai demokrasi berseberangan menggunakan hasil ijtihad para ulama'. Contoh mini merupakan kasus tentang orang yg pindah agama dari Islam (baca: murtad). Menurut pandangan Islam menurut hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, apabila merekatidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam system demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, karena membunuh berarti melanggar kebebasan mereka serta melanggar hak asasi insan (HAM). Kemudian pada demokrasi ada prinsip kecenderungan antara masyarakat Negara. Tetapi dalam Islam terdapat beberapa hal yg sangat tegas diklaim dalam al-Qur'an bahwa ada disparitas antara laki-laki dan perempuan , contohnya tentang poligame. (QS. An-nisa' 33) mengenai hukum waris (QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282).
    Disamping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam ma'siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan pada Islam hal ini jelas jelas dihentikan dalam Al-qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak serta kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hali ini pada demokrasi nir boleh terjadi, karena nir lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya persoalan diatas, berarti nir semuanya demokrasi kompatibel menggunakan ajaran Islam. Pada dataran prinsip, inspirasi-inspirasi demokrasi ada yg sinkron serta selaras menggunakan Islam, tetapi dalam tingkat implementatif seringkali kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam pada al-Qur'an, Assunnah dan ijtihad para ulama'.

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


PENGERTIAN DEMOKRASI

     Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan pada  athena antik dalam abad ke-5 SM. Negara tersebut umumnya dianggap menjadi model awal berdasarkan sebuah sistem yg berhubungan dengan aturan demokrasi modern. Tetapi, arti berdasarkan istilah ini sudah berubah sejalan dengan saat, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18 , beserta perkembangan sistem demokrasi pada poly negara. Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal menurut kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yg ialah masyarakat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi eksklusif yang dipraktikkan pada beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi bisa bersifat pribadi seperti yg pada Yunani antik, berupa partisipasi eksklusif menurut rakyat buat membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi nir langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok buat negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
     Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang lahir dalam tahun 387 SM, yang menguraikan istilah demokrasi dalam hubungannya menggunakan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu orang, sekelompok orang atau poly orang. Jika orang yg memegang kedaulatan untuk kepentingan orang poly maka dianggap monarki. Kemudian apabila yg memegang kedaulatan sekelompok orang buat orang poly disebut aristokrasi.
     Kemudian ada juga ajaran dari Polybios, seorang pakar negara Yunani, yg pada Roma sebagai seorang tawanan perang. Polybios mengajarkan adanya bentuk negara tersebut merupakan terdiri menurut 3 (tiga) bentuk ideal, dan tiga (tiga) bentuk kemerosotan. Teorinya mengenai perkembangan, bentuk negara didasarkan atas asas serta dampak, sebab yg sama akan membawa akibat yang sama juga. Dia menguraikan proses pertumbuhan dan hancur (lenyapnya) bentuk negara secara psikologia, dan perkembangan dari bentuk negara yg satu ke bentuk negara yang lainya akan adalah suatu siklus (bulat).
    Di dunia barat, misalnya yg diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai “Pemerintahan sang rakyat, dari warga dan buat rakyat (terjemahan berdasarkan Government by the people, from the people and for the people).”
      Demokrasi pada global Barat, seperti pada Eropa Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran, Amerika Serikat dan negara-negara di daerah Skandinavia, dilaksanakan pada kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen yg dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab pada parlemen, seperti yg terjadi di Inggris dan Belanda, atau presiden yang bertanggung jawab pada warga misalnya yang terjadi di Amerika Serikat serta Prancis.

DEMOKRASI DAN ISLAM

     Banyak kalangan non-muslim (individual serta institusi) yg menilai bahwa tidak masih ada perseteruan antara Islam serta demokrasi serta mereka ingin melihat dunia Islam bisa membawa perubahan serta transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yg cukup populer menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
      Peraih Nobel Gunnar Myrdal pada karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan menggunakan kepercayaan secara umum dan Islam khususnya, dia mengungkapkan: Doktrin dasar berdasarkan agama-kepercayaan Hindu, Islam serta Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai model, doktrin Islam, dan nisbi kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju buat mendukung reformasi sejajar menggunakan idealisme modernisasi.
    Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam serta Budha bisa memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll serta John L. Esposito, 2 ahli yg menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi nir bisa ketemu. Menurut ke 2 pakar ini pada khazanah Islam terkandung konsep yang menaruh fondasi bagi muslim kontemporer untuk membuatkan acara demokrasi Islam yang otentik.
   Dalam mengungkapkan sejumlah miskonsepsi generik di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis pada Jurnal Foreign Affairs:
“Kebanyakan peneliti Barat cenderung buat melihat kenyataan politik Islam seakan-akan dia sebuah kupu-kupu pada kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yg menyelidiki literatur utama Islam menjamin bahwa Islam tidak kompatibel menggunakan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
    Banyak kalangan sarjana Islam yang pulang mempelajari akar dan khazanah Islam serta secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam serta demokrasi tidak hanya kompatibel; kebalikannya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah menurut dalam Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid  Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman serta Syaikh Yusuf Qardawi dan sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara global Islam dan Barat menuju saling pengertian yg lebih baik berkenaan dengan interaksi antara Islam dan demokrasi. Lantaran, kebanyakan diskursus yang terdapat tampak terlalu tergantung serta terpancang pada label yg dipakai secara stereotip sang sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi bisa didefinisikan sebagai “pemerintahan sang warga ; khususnya, oleh dominan; pemerintahan pada mana kekuasaan tertinggi permanen pada masyarakat serta dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yg umumnya dilakukan menggunakan cara mengadakan pemilu bebas yg diadakan secara periodik; warga generik khususnya buat mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese dari keturunan atau kesewenang-wenangan.
   Realitasnya merupakan bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau citra demokrasi di atas, namun yg lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Jika kita bisa melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, bila disaring berdasarkan semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang dari pada petunjuk serta visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) pada sisi lain.

PRINSIP DEMOKRASI DALAM ISLAM

   Sebagai agama yg sinkron menggunakan fitrah manusia, Islam menaruh prinsip-prinsip dasar dan rapikan nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur'an serta As-sunnah pada permasalahan ini sudah mengisyaratkan beberapa prinsip utama serta tata nilai yg berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tadi antara lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al-'merupakan (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan disertai tanggung jawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) serta lain sebagainya.

Prinsip Tauhid

   Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar pada kepemimpinan Islam (pemerintahan Islam). Sebab disparitas akidah yang mendasar dapat sebagai pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh karena itu, Islam mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang bisa diterima sang seluruh lapisan warga , yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan pada surat An-nisa' 48, Ali imron 64 serta surat al Ikhlas.

Prinsip Musyawarah (Syuro)

   Musyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam tetapkan keputusan yang berkaitan menggunakan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, paling nir mempunyai tiga cara: 
       a.keputusan yg ditetapkan sang penguasa.
       b.kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas.
       c.keputusan yang ditetapkan sang pandangan mayoritas

    Ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa "demokrasi tidak identik menggunakan syuro" walaupun syuro pada Islam membenarkan keputusan pendapat lebih banyak didominasi, hal itu nir bersifat absolut. Sebab keputusan pendapat lebih banyak didominasi nir boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap wajib menaruh ruang gerak bagi mereka yg minoritas. Lebih berdasarkan itu, dalam Islam bunyi lebih banyak didominasi tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran terdapat beberapa ayat yg berbicara mengenai musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan menggunakan tempat tinggal tangga dan anak-anak, misalnya menyapih (berhenti menyusui) anak. 
Hal ini sebagaimana masih ada dalam surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan serta musyawarah antar mereka, maka nir terdapat dosa atas keduanya". Kedua: musyawarah pada konteks menyampaikan problem-duduk perkara tertentu dengan anggota warga , termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana masih ada dalam surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah engkau (Muhammad) menggunakan mereka pada urusan tertentu. Kemudian apabila engkau sudah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt menyayangi orang-orang yg bertawakkal pada-Nya". 
    Meskipun terdapat beberapa Al-qur'an serta Assunnah yg memperlihatkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an sudah mendeskripsikan system pemerintahan secara tegas serta rinci, nampaknya hal ini memang disengaja sang Allah buat menaruh kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya buat berijtihad menemukan sistem pemerintahan yg sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini galat satu perilaku demokratis Tuhan terhadap hamba-hambanya.

Prinsip Keadilan (Al-'merupakan)

     Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk diantaranya agar tercipta masyarakat yg adil serta makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi memasukkan syarat yg pertama seorang pemimpin negara merupakan punya sifat adil. Dalam al-Qur'an, istilah al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang 2 puluh delapan kali. Paling nir terdapat empat makna keadilan yang dikemukakan sang ulama :
  1. Pertama, adil pada arti sama. Artinya tidak menbeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud merupakan persamaan hak. Ini dilakukan pada tetapkan aturan. Sebagaimana dalam al qur'an surat an-Nisa' 58. "jika engkau tetapkan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah kamu memutuskan menggunakan adil". 
  2. Kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilanidentik menggunakan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian serta keseimbangan nir mengharuskan persamaan kadar yg akbar serta kecilnya dipengaruhi oleh fungsi yang diharapkan darinya.
  3. Ketiga: adil pada arti perhatian terhadap hak-hak individu serta memberikan hak-hak itu pada pemiliknya. 
  4. Keempat: keadilan yang dinisbatkan pada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah mempunyai hak atas semuanya yg ada sedangkan semua yg terdapat, tidak mempunyai sesuatau disisinya. Jadi, system pemerintahan

    Islam yg ideal merupakan system yg mencerminkan keadilan yg meliputi persamaan hak didepan umum, ekuilibrium (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.

 Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)

     Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam memilih pilihan kepercayaan sekaligus. Tetapi demikian, kebebasan yg dituntut oleh Islam adalah kebebasan yg bertanggungjawab. Kebebasan disini jua kebebasan yang dibatasi sang kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yg tidak terpisahkan menurut kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik dan berjuang menggunakan segala cara asal konstitusional buat melawan atas semua bentuk pelanggaran.

KESIMPULAN

      Dari uraian pada atas bisa disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan serta nir sepenuhnya sejalan menggunakan Islam. Prinsip serta konsep demokrasi yang sejalan menggunakan islam merupakan keikutsertaan warga dalam mengontrol, mengangkat, serta menurunkan pemerintah, dan pada menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
      Adapun yang tidak sejalan merupakan waktu bunyi warga diberikan kebebasan secara absolut sehingga sanggup menunjuk kepada perilaku, tindakan, serta kebijakan yang keluar berdasarkan rambu-rambu ilahi. Lantaran itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai menggunakan ajaran Islam. Yaitu pertama, demokrasi tadi wajib berada di bawah payung agama. Kedua, warga diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat absolut meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya masalah Abu Bakr waktu mengambil bunyi minoritas yg menghendaki buat memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar nir mau membagi-bagikan tanah output rampasan perang dengan merogoh pendapat minoritas supaya tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya menggunakan relatif mengambil pajaknya.
     Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada problem ijtihadi; bukan pada dilema yg sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam produk aturan dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar berdasarkan nilai-nilai kepercayaan . Ketujuh aturan serta kebijakan tadi wajib dipatuhi sang seluruh rakyat.
      Akhirnya, supaya sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yg harus dilakukan pertama, semua warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yg sahih tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan nir keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan warga harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yg memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

DAFTAR PUSTAKA


Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik pada Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2007

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel