DPRD DAN DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN DAERAH PENGERTIAN DAN PERAN

     DPRD dan demokratisasi pemerintahan daerah merupakan topik pembicaraan sangat relevan dengan keadaan dewasa ini dimana tuntutan warga meluas agar pemerintah dengan segala bentuk kegiatan apapaun wajib demokratis. Namun, pada fenomena banyak sejumlah perkara yang menandakan pada kita bahwa sebagian anggota dewan :
  • Pertama, belum memiliki kemampuan yang bisa diandalkan untuk mengemban tugas perwakilan/legislatifan. Jika seorang anggota dewan nir punya kemampuan dalam mengemban tugas legislasi, bagaimana mungkin beliau bisa beragumentasi mengenai suatu kasus buat memperjuangkan aspirasi rakyat yg diwakilinya itu.
  • Kedua, anggota dewan waktu ini juga sangat akrab menggunakan keterangan money politics mulai berdasarkan proses pemilihan ketua wilayah, proyek, meloloskan perda sampai minta kenaikan honor . Dewan nir pernah memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi hanya memperjuangkan kepentingan eksklusif serta parpol (PK, 13/12-01).
  • Ketiga, anggota dewan jua sering sekali mengecewakan rakyat lantaran dinilai kurang bisa menyelesaikan permasalahan internal maupun eksternal. Beberapa ketika yang kemudian ada permasalahan yg relatif menarik perhatian rakyat yaitu antara sekretaris wilayah di tingkat II dengan wakil bupati terkait dengan pengumuman hasil testing CPNS. Keeempat, rakyat pada hal ini mahasiswa, menilai anggota dewan kita malas. Ungkapan malas tersebut sangat erat kaitannya dengan  muatan politis.
      Dalam goresan pena kali ini saya akan sedikit poly mengupas mengenai apakah DPRD itu dan seperti apakah kiprah DPRD pada kaitannya dengan demokratisasi pemerintahan daerah. Pada bagian pertama kita harus mengerti terlebih dahulu: (1). Pengertian Pemerintahan Daerah, (dua). Mengetahui hak serta kewajiban Pemda, (tiga). Hingga lalu mengenal DPRD menjadi institusi demokrasi daerah.

DPRD serta Demokratitasi Pemerintahan Daerah


PEMERINTAHAN DAERAH

Pengertian 

    Pemerintah Daerah sebagai akibat dianutnya prinsip desentralisasi, dipahami secara tidak sama sang para pakar. Namun secara garis akbar, pengertian Pemerintah Daerah terkait dnegan seberapa besar dan luas pendelegasian Pemerintah Pusat kepada daerah demi aneka macam alasan serta pertimbangan. Semakin besar wewenang yang diberikan pada wilayah, semakin besar jua peluang daerah menggali potensi yang terdapat untuk pembangunan sesuai menggunakan kehendak masyarakatnya. Peletakan otonomi daerah pada Kabupaten/Kota (d/h Dati II) jua didasari pertimbangan buat mendekatkan Pemerintah Daerah pada masyarakatnya. Selain pelayanan dapat diberikan secara optimal, jua kehendak dan aspirasi masyarakat dapat didengar “lebih kentara” oleh DPRD serta Pemerintah Daerah. 

Hak dan Kewajiban Daerah ( Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004)

a.Dalam rangka penyelenggaraan swatantra, wilayah memiliki hak :
  1. Mengatur serta mengurus sendiri rumah tangganya
  2. Memilih pimpinan daerah
  3. Mengelola aparatur daerah
  4. Mengelola kekayaan daerah
  5. Memungut pajak daerah serta retribusi daerah
  6. Mendapatkan bagi output berdasarkan pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya lainnya yang ada pada daerah
  7. Sumber-sumber pendapatan lain yg absah;
  8. Mendapat hak lainnya yg diatur pada peraturan perundang-undangan
b.Kewajiban wilayah dalam penyelenggaraan otonomi daerah
  1. Melindungi warga , menjaga persatuan dan kesatuan, kerukunan nasional dan keutuhan NKRI
  2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
  3. Mengembangkan kehidupan demokrasi
  4. Meningkatkan pelayanan pendidikan
  5. Menyediakan fasilitas kesehatan
  6. Menyediakan fasilitas umum yg layak
  7. Mengembangkan asal daya produktif pada daerah
  8. Menjaga lingkungan
  9. Mengelola administrasi kependudukan
  10. Membentuk peraturan perundangan sesuai kewenangan

DPRD SEBAGAI INSTITUSI DEMOKRASI DAERAH



Kedudukan DPRD

     Kedudukan dan wewenang DPRD dari konstitusi di Indonesia mengalami pasang surut. Pada awal kemerdekaan, UU No. 1 Tahun 1945 yg diterbitkan tanggal 23 November 1945 mengungkapkan DPRD yang ketika itu bernama Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) dipimpin oleh kepala wilayah. DPRD berwenang memilih badan eksekutif yg juga dikepalai oleh ketua wilayah, yg sekaligus aparat pusat. Jadi terlihat kentara bagaimana lemahnya kedudukan DPRD waktu itu, begitu jua kewenangannya.

    Barulah pada UU No. 32 Tahun 2004, kedudukan DPRD berkembang pesat. Dalam UU 32 Tahun 2004 Pasal 40 mengungkapkan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan masyarakat daerah serta berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah serta memilik fungsi menjadi lembaga legilasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam pemerintahan demokratis dari Robert Dahl, rakyatlah yg memberi kedaulatan. Prinsip lain yg terkait dnegan demokrasi merupakan adanya pemisahan kekuasaan, supremasi aturan, adanya persamaan serta kebebasan. Secara spesifik, demokrasi membuka peluang warga mendapatkan pemimpin yg legitimate, merupakan rakyat diberi kesempatan buat mendapat atau menolak orang-orang yang akan memerintah mereka (Ryaas, 1996, 17). Selain itu pada demokrasi terdapat peluang yang lebih besar bagi warga buat telibat dalam perbuatan kebijakan.

    DPRD sebagai forum legislatif wilayah yang anggota-anggotanya dipilih sang rakyat daerah, adalah tumpuan rakyat agar apresiasinya diakomodasikan. Dalam pasal 45 UU No. 32 Tahun 2004 buah b, d, e disebutkan kentara bahwa DPRD mempunyai kewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Dengan pasal ini demokratisasi pemerintahan daerah terbuka lebar. Masalahnya kini merupakan terpulang pada kemauan dan itikad baik para wakil masyarakat itu sendiri. Partisipasi rakyat pada daerah tidak ada masalah. Mereka sangat santer menyuarakan keinginan para wakilnya, lantaran kesadaran politik rakyat sudah relatif tinggi.

     Dengan wewenang supervisi, DPRD bisa mengontrol kinerja eksekutif agar bisa terwujud good governance seperti yang dibutuhkan masyarakat. Demi mengurangi beban masyarakat DPRD dapat menekan eksekutif buat memangkas biaya yang tidak perlu, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Antara asa serta kenyataan

Tujuan diberikannya otonomi pada wilayah, adalah buat lebih mendekatkan pemerintah daerah kepada rakyat, supaya kepentingan-kepentingannya bisa lebh terakomodasikan. Namun pada faktanya benarkah demikian?Sebagian ada yg menjawab “ya” dan sebagian terdapat yang menjawab “nir”. Bahkan terdapat kecenderungan otonomi wilayah dirasakan lebih memberatkan masyarakat setempat. Ini ditimbulkan lantaran adanya swatantra, setiap wilayah wajib berupaya bisa membiayai dirinya sendiri dengan mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya. Untuk itu Pemda selalu berusaha melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak/retribusi wilayah, yang pada akhirnya rakyat juga terbebani. Jika seluruh dana yang terkumpul itu digunakan buat kepentingan rakyat mungkin akan mau memikulnya. Tetapi, bila dana yg dikutip menurut rakyat itu kemudian dialokasikan buat menaikkan uang kehormatan anggota DPRD yang jumlahnya sudah nisbi tinggi, maka otonom bukan mendekatkan warga dalam Pemerintah Daerah dan DPRD, namun sebaliknya.

     Di Jakarta misalnya, tidak semua warga yg tinggal di sana tidak semuanya hidup lezat . Masih poly warga yg kesulitan mencari makan serta mendapatkan air bersih buat minum serta mandi, ad interim pada Jakarta justru berencana menciptakan sauna, fitness room dikantornya dengan dalih melemaskan otot yang tegang. Di ketika warga sedang merenungi kenaikan tarif angkutan kota yang hanya beberapa ratus rupiah, terdengar informasi anggota DPRD meloncong ke luar negeri buat “studi banding” dengan dana ratusan juta rupiah.

     Tidak dimilikinya kepekaan sang para wakil warga ini secara perlahan akan mengikis demokrasi yang akan diwujudkan pada daerah. Akibatnya swatantra wilayah hanya akan memindahkan kekuasaan yg otoriter ke daerah, seperti yg selama ini dikhawatirkan oleh poly orang tentang dampak otonomi. Kewenangan yg diberikan UU No. 32/2004 pada DPRD yang begitu besar . Begitu besarnya kewenangan DPRD ini malah digunakan buat menekan hak masyarakat buat kepentingannya sendiri, sebagai akibatnya kepentingan masyarakat tepinggirkan. Ketika Jakarta dilanda banjir, donasi pun mengalir melalui kelurahan. Di kantor donasi nir segera disalurkan. Konon terbesit warta bahwa pada sejumlah kelurahan terjadi penjualan beras donasi banjir secara diam-membisu, ad interim korban banjir setengah meninggal kelaparan. Setelah diungkap media, barulah Gubernur jingkrak-jingkrak marah, serta oleh lurah menggunakan enteng, bahwa hal itu dilakukan buat membeli sarana kebersihan.

     Dimanakah saat itu DPRD? Apa gerangan yang dilakukan sang DPRD? Berpihak kepada siapakah DPRD? Mengapa Gubernur baru murka setelah media mengungkapnya? Bagaimana kontrol atas bawahan dilakukan? Inilah pertanyaan yang wajib didengar serta diurus oleh Pemda yg telah diberi otonomi. Demokratisasi Pemerintahan Daerah juga dalam hal mengelola potensi wilayah, demi kepentingan masyarakat setempat. Ini dimaksudkan supaya pembangunan bisa berjalan optimal yg pada gilirannya buat mensejahterakan warga sebagai akibatnya terwujud demokrasi yg berdasarkan rakyat, oleh masyarakat dan buat rakyat. DPRD merupakan loka demokrasi di daerah bermuara, seharusnya dapat memainkan kiprahnya lebih baik andai saja saja mereka mempunyai kepekaaan yg tinggi serta bersedia menjauhkan kepentingan-kepentingan pribadinya.

Demokrasi di Daerah dalam Wawasan Negara Kesatuan

  Banyak orang berpendapat bahwa demokrasi pada daerah merupakan hak yg mutlak terlepas berdasarkan konsep Negara Kesatuan, sebagai akibatnya dalam mengimplementasikan otonomi wilayah, cenderung mengarah dalam disintregasi. Memang tak mampu diingkari bahwa kerusuhan-kerusuhan yg timbul di daerah disebabkan sang kesenjangan dan ketimpangan dalam seluruh segmen kehidupan. Itu sebabnya mengapa otonomi kemudian diberikan supaya daerah bsia mengoptimalkan potensi dan sumber daya daerah untuk kepentingan warga serta daerah itu sendiri. Tapi bukan berarti daerah terlepas sama sekali menurut pemerintah pusat serta tidak juga dalam genggaman pemerintah sentra.

     Secara fundamental, demokrasi mengakui adanya kehidupan yg serba plural, karena kemajemukan merupakan realitas sosial. Oleh karena itu diharapkan toleransi. Kemajemukan justru merupakan aset yg wajib diwadahi pada tatanan politik yang kondusif. Toleransi bukan saja oleh sentra terhadap wilayah, akan tetapi juga kebalikannya. Betapapun, swatantra daerah dilaksanakan masih permanen dalam kerangka Negara Kesatuan. Jiaka nir, maka egoisme kedaerahan yg akan mencuat sehingga mengaburkan eksistensi negara. Kasus Bekasi, Tangerang, Bogor, serta masih banyak lagi akan bermunculan sebagai akibatnya tujuan utama pemberian swatantra wilayah tak mencapai target. Partisipasi warga berkurang, pembangunan di daerah gagal serta Negara tercabik-cabik.

Kesimpulan

  1. Dengan diterbitkannya UU No. 32/2004 sudah memberi banyak perubahan dalam pelaksanaan swatantra wilayah, lantaran kedudukan DPRD tidak lagi sebagai bagian dari Pemda, melainkan sebagai Badan Legislatif Daerah. Ini berarti peluang buat menciptakan demokrasi semakin berkembang dan terbuka lebar. Kepentingan masyarakat setempat bisa terwadahi serta potensi wilayah bisa dimanfaatkan secara optimal. Campur tangan pusat dikurangi, sebagai akibatnya daerah lebih mandiri.
  2. Untuk mewujudkan good governance, diperlukan beberapa instrumen, antara lain kualitas anggota DPRD. Dalam kenyataan, anggota DPRD yang diberi peluang serta kewenangan sang UU buat mewujudkan demokrasi pada daerah itu ternyata lebih banyak memikirkan kepentingan diri sendiri daripada rakyat. Akibatnya partisipasi warga yg semula tinggi menjadi rendah. Harapan rakyat buat demokrasi pada daerah tak sepenuhnya terwujud.
  3. Otonomi wilayah menyebabkan setiap wilayah harus membiayai dirinya, lantaran dana menurut pusat terbatas sekali. Untuk itu harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya yg akhirnya membebani masyarakat menggunakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak serta/atau retribusi daerah. Lebih menyebalkan lagi jika penggunaan dana tersebut nir terdapat kaitannya eksklusif dengan kebutuhan warga .
  4. Pelaksanaan otonom wilayah ternyata cenderung memindahkan korupsi berdasarkan pusat ke daerah. Ini disebabkan lantaran kewenangan DPRD yg begitu akbar ini nir digunakan buat kepentingan rakyat, tetapi buat kepentingan diri sendiri.
  5. Pelaksanaan swatantra wilayah cenderung membentuk egoisme wilayah yg tinggi serta cenderung melupakan kerangka yang lebih akbar yaitu Negara Kesatuan yg wujudnya adalah Pemerintah Pusat. Campur tangan sentra pada wilayah memang wajib dibatasi, namun bukannya hilang sama sekali. Paling tidak, pusat ibarat conductor dalam sebuah orkes simphoni supaya setiap musisi menggunakan instrumennya nir bunyi semaunya sendiri,namun tetap mengacu pada partitur. Baik conductor (sentra) juga para musisi (wilayah) bermain bersama mengikuti partitur, yang wujudnya berupa UU.
     apabila ini tidak dapat dilakukan dalam aplikasi otonomu daerah, maka disintregasi akan sebagai ancaman, terutama pada waktu pemerintah pusat melemah.

Daftar Pustaka

Katalog pada terbitan
Desentralisasi serta Otonomi Daerah : Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemda/Syamsudin Haris (Ed.). Jakarta : LIPI Press, 2007.

Dalam bentuk diktat
Subarjo, S.H, M.hum, Prof. Dr, Hukum Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, 2010

Dalam bentuk buku
Rasyid, Muhammad Ryass, Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta, Yarsif Watampone, 1996.


     Demikian sobat pembaca pembahasan tentang peran DPRD dalam Demokratisasi Pemerintahan Daerah. Silahkan sobat yang menilai dan mempelajari sendiri, seberapa baguskah peran DPRD sejauh ini sebagai agen demokrasi wilayah. Semoga artikel/makalah ini mampu membantu sobat pembaca semua serta share bila ada sobat lain yg membutuhkan...

Salam, def+

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel