KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE BARU
Saturday, April 16, 2016
Edit
KONFIGURASI POLITIK
Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yg secara dikotomis dibagi atas 2 konsep yg bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis serta konfigurasi politik otoriter. Pengertian konseptual dan indikator-indikator variabel bebas ini adalah (Moh. Mahfud MD, 2011 : 30) :
- Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yg membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh buat ikut aktif memilih kebijakan umum. Partisipasi ini dipengaruhi atas dasar dominan sang wakil-wakil rakyat pada pemilihan-pemilihan bersiklus yang berdasarkan prinsip kesamaan politik serta diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.
- Konfigurasi politik otoriter merupakan susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir sleuruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai sang dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, penguasaan kekuasaan politik sang elite politik yg kekal, serta dibalik seluruh itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.
KARAKTER PRODUK HUKUM
- Produk hukum responsif merupakan hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu juga berbagai kelompok sosial pada rakyat, sebagai akibatnya lebih mampun mencerminkan rasa keadilan di dalam rakyat.
- Produk Hukum Konservatif/Ortodoks ialah aturan yg karakternya mencerminkan politik pemegang kekuasaan mayoritas, sehingga pembuatannya nir mengundang serta mengandung partisipasi dan aspirasi warga secara benar-benar-benar-benar.
KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM
Dengan memakai perkiraan dasar bahwa aturan menjadi produk politik, maka politik akan sangat memilih aturan sebagai akibatnya studi ini meletakkan politik sebagai variabel bebas serta aturan sebagai variabel terpengaruh (Mahfud MD, 2011 : 22).
Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya yang dilahirkan merupakan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan bila pada negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks. Jadi perubahan konfigurasi politik berpengaruh terhadap produk hukum yg dihasilkan. Secara lebih mudan akan digambarkan pada bagan berikut :
KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE BARU
Sejarah Lahirnya Orde Baru
G30 S/PKI tahun 1965 adalah perebutan kekuasaan yang gagal menyebabkan merosotnya kekuasaan Soekarno secara tajam. Saling tarik tambang antara Soekarno, PKI, Angkatan Darat (AD) sebagai putus dan diakhiri dengan tampilnya AD menjadi pemenang. Hancurnya PKI serta rezimnya Soekarno merupakan akibat menurut kiprah-kiprah yang dimainkan oleh keduanya dalam masa demokrasi terpimpin.
Krisis politik yang terjadi menciptakan Soeharto mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1965 yg isinya merupakan pelimpahan pada Soeharto buat mengambil tindakan yg diperlukan untuk mengklaim kedamaian serta stabilitas nasional. Kemudian Pemerintahan Soeharto yg menggantikan Pemerintahan Soekarno tahun 1967 menamakan pemerintahannya menjadi pemerintahan Orde Baru yaitu suatu nama buat tatanan rakyat Indonesia.
Konfigurasi Politik Periode Orde Baru
Berakhirnya masa demokrasi terpimpin kemudian digantikan menggunakan rezim orde baru. Belajar dari pengalaman orde sebelumnya (orde lama ), Orde Baru pada bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menitik beratkan program pemerintahannya terhadap pembangunan dan pemulihan ekonomi yg pada jaman orde usang kurang mendapat perhatian sehingga sejarah mencatat inflasi ekonomi Indonesia pernah mencapai nomor 600%.
Prioritas kebijakan yang menitik tekankan dalam pertumbuhan ekonomi ini menuntut adanya stabilitas politik, pemerintahan serta kepemimpinan yg kuat. Jalan yang ditempuh buat mensukseskan obsesi Soeharto yang didukung penuh oleh kekuatan Angkatan Darat (AD) itu kemudian merogoh cara membatasi pluralisme parpol yg dijaman Soekarno dianggap sebagai penyebab terjadinya instabilitas politik.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam acara politiknya serta buat mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang diklaim dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
- Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan rakyat buat melaksanakan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 secara murni serta konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga menggunakan konsensus primer.
- Sedangkan konsensus kedua merupakan mufakat mengenai cara-cara melaksanakan mufakat utama. Artinya, konsensus kedua lahir menjadi lanjutan berdasarkan konsensus primer serta merupakan bagian yang nir terpisahkan. Konsensus ke 2 lahir antara pemerintah dan partai-partai politik serta rakyat. Secara generik, elemen-elemen krusial yang terlibat pada perumusan mufakat nasional antara lain pemerintah, Tentara Nasional Indonesia serta beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu mufakat nasional mempunyai kekuatan hukum yg mengikat bagi seluruh warga Indonesia.
Konfigurasi politik otoriter yang ditampilkan sang kekuasaan orde baru kemudian paralel menggunakan produk aturan yang dihasilkannya yaitu karakter aturan yang ortodok/ortodoks /elitis. UU pemilu yang lahir pada masa Orde Baru ini merupakan UU No. 15 tahun 1969 yg hanya memuat 37 pasal. Sangat singkatnya pasal-pasal yg terdapat dalam UU ini menciptakan pemerintah sinkron dengan asa politiknya mampu menginterpretasikan semaunya sendiri ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis. Di lain pihak UU ini memungkin adanya pengangkatan sebagian berdasarkan anggota MPR serta DPR dari ABRI yg tentu saja orang-orang yg diangkat sang pemerintah pun merupakan mereka yang mendukung visi dan kebijakan eksekutif.
Pada era ini pilar-pilar demokrasi tidak bisa berjalan secara baik dan efektif. Parpol dan parlemen berada dalam posisi yang tidak berdaya bahkan hanya menjadi indera legitimatimasi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah, eksekutif sangat powerful karena bisa mengontrol seluruh kebijakan negara sesuai menggunakan apa yg dikehendakinya dan kebebasan pers terpasung serta dikebiri menggunakan diberlakukannya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dimana kebijakan ini terbukti sangat digdaya dijadikan sebagai amunisi oleh pemerintah untuk membungkap kebebasan dan independensi pers. Apabila ada pers yang terlalu vokal mengkritik pemerintah serta dianggap mengganggu proses pembangunan maka pers yg bersangkutan akan dibredel dengan cara dicabut SIUPP nya.
Dengan demikian, konfigurasi politik Orde Bgaru, menurut kriteria bekerjanya pilar-pilar demokratis, merupakan konfigurasi yang tidak demokratis. Hanya, di bwah Orde Baru elemen-elemen disitegrasi dapat dieliminasi sebagai akibatnya stabilitas nasional senantiasa mantap dan pembangunan ekonomi menampakkan output secara memuaskan, namun dengan kehidupan politik yang tidak demokratis (Mahfud MD, 2011 : 308).
KARAKTER PRODUK HUKUM YANG DIHASILKAN
Hukum Pemilu
Pada masa Orde Baru, Pemilu dijadikan sebagai bagian dari program-acara nasionalnya. Dalam pemerintahan Orde Baru Pemilu harus diadakan sinkron dnegan tuntutan konstitusi, akan tetapi kekuatan pemerintah harus menerima jaminan buat memenangkan Pemilu tersebut. Dengan kemenangan tersebut, maka dominasi akan terdapat pada tangan pemerintah.
Oleh karenanya pembahasan-pembahasan tentang RUU Pemilu berjalan sangat keras, bahkan sampai menahan Pemilu yg sudah dijadwalkan semenjak awal sang MPRS. Hingga akhirnya terjadi konsensus yg bisa dicapai yg intinya berisi tentang konvensi antara pihak-pihak yg bertentangan pendapatnya.
Konsensus inilah yang lalu dituangkan dalam UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu serta No. 16 Tahun 1969 mengenai Susduk MPR/DPR/DPRD. UU inilah yang kemudian menjadi landasan Orde Baru pada pelaksanaan Pemilu serta pengisian anggota forum permusyawaratan serta forum perwakilan.
UU Pemilu pada Orde Baru dapat dikualifikasi sebagai produk aturan yg berkarakater ortodoks/elitis/konservatif. UU pemilu yg lahir dalam masa orde baru ini adalah UU No. 15 tahun 1969 yg hanya memuat 37 pasal. Singkatnya pasal-pasal yang terdapat dalam UU ini membuat pemerintah sesuai menggunakan hasrat politiknya sanggup menginterpretasikan semaunya sendiri ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis. Di lain pihak UU ini memungkin adanya pengangkatan sebagian menurut anggota MPR dan DPR dari ABRI yg tentu saja orang-orang yang diangkat oleh pemerintah pun merupakan mereka yg mendukung visi serta kebijakan eksekutif.
Hukum Pemda
Dalam penyelenggaraan negara yg beroirentasi pada stabilitas nasional, maka UU Pemda dalam era Orde Baru harus diperbaharui. UU Pemerintah Daerah lama saat itu (UU No. 18 Tahun 1965), perlu diganti buat disesuaikan menggunakan GBHN yg ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1973.
Berdasarkan GBHN tersebut, tahun 1974 pemerintah membarui UU Pemerintah Daerah lama dengan UU No. Lima Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.konsideras UU ini menyebutkan bahwa sesuai menggunakan sifat negara kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan pemerintah wilayah sedapat mungkin diseragamkan, wilayah Indonesia perlu dibagi ke pada wilayah otonom maupun wilayah administratif, hubungan pusat serta daerah diserasikan atas dasar keutuhan negara dan diarahkan dalam pelaksanaan swatantra yg nyata serta bertanggung jawab. Penyelenggaraan pemerintahan pada daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas pembantuan. Mengenai pemilihan kepala wilayah serta DPRD yg terdapat dalam UU No. Lima Tahun 1974 ini adalah (Subardjo, 2010 : 22 & 40).
Pemilihan Kepala Daerah
- Dalam UU ini calon ketua daerah wajib minta restu ke pusat.
- Bersifat sentralistik, kepala wilayah diusulkan tiga calon atau dua calon ke Presiden lewat Mendagri , yg memilih Presiden, bukan DPRD. Maka di sini rawan terjadi defleksi atau perkara-kasus politik uang baik di tingkat elite lokal juga elite pusat.
DPRD
- DPRD lunak karena terdapat di bawah kekuasaan kepala daerah menjadi ketua wilayah (penguasa tunggal)
- DPRD dipilih lewat Pemilu
- DPRD hanya menjadi stempel Perda
- Pengawasan nir berjalan
- Kepala daerah dipilih DPRD, namun presiden yang memutuskan
- Hubungan ketua daerah dan DPRD nir harmonis
- Pemerintahan sangat sentralistik
Dengan demikian materi UU No. 5 Tahun 1974 juga memperlihatkan tabiat ortodok yang dapat dicirikan dari penggunaan asas swatantra konkret dan bertanggung jawab menjadi pengganti asas otonomi seluas-luasnya, adanya kewenangan sentra untuk mengangkat kepala wilayah tanpa terikat dalam peringkat output pemilihan di DPRD, penempatan ketua daerah sekaligus sebagai kepala wilayah pada kedudukan “penguasa tunggal” yg menjadi alat pusat di wilayah. Sehingga tak jarang dikatakan asas desentralisasi yang dianut pada UU No. 5 Tahun 1974 merupakan asas desentalisasi yg sentralistik (Mahfud MD, 2011 : 332).
Hukum Agraria
Khusus mengenai agraria hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam periode ini disbandingkan menggunakan periode sebelumnya. UUPA yang telah terdapat semenjak masa demokrasi terpimpin permanen diberlakukan dan tidak diganti. Sehingga mudah pada bidang keagrariaan walaupun tabiat politik orde baru merupakan otoriter tetapi pengaturannya demokratis.
Produk-produk parsial pada lapangan hukum agraria pada era Orde Baru ditandai dengan tiga hal (Mahfud MD, 2011 : 342), yakni lambatnya pembuatan peraturan aplikasi, lambannya pembaruan terhadap materi-materi yang seharusnya disesuaikan dengan keadaan, dan adanya kesamaan pragmatisme buat melancarkan acara-acara pemerintah, sebagai akibatnya dibuat produk peraturan yg sebenarnya nir proporsional karena seharusnya dibuat oleh lembaga yang lebih memiliki wewenang. Kecenderungan pragmatisme ini merupakan kosekuensi logis menurut kerangka berpikir pembangunan ekonomi yg dianut pemerintahan Orde Baru.
UUPA yang dibentuk tahun 1960 ini memang berkarakter responsif, namun interpretasi pemerintah pada bentuk peraturan perundang-undangan secara parsial buat keperluan pragmatis pada rangka pelaksanaan program-program pembangunan justru melihatkan watak produk hukum yg berkarakter ortodok. Seharusnya UU yg dibentuk hendaknya tidak dibuat secara sepihak oleh eksekutif.
KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM BIDANG KEPARTAIAN ERA ORDE BARU
Meskipun para ahli mencoba memberikan identifikasi yang satu sama lain berbeda, namun ada persamaan di antara mereka bahwa Indonesia pada bawah orde baru menampilkan konfigurasi politik yang nir demokratis. Abdurrahman Wahid menggambarkan secara lebih lugas bahwa Indonesia …” inikan otoriter, belum sampai ke tingkat tirani”. Seperti telah dikemukakan bahwa tampilnya konfigurasi misalnya ini karena logika pembangunan ekonomi menuntut stabilitas serta integrasi nasional. Logika pembangunan ekonomi sudah menciptakan peranan negara sebagai lebih banyak didominasi.
Disamping karena logika pembangunan yang tentu tidak sinkron konfigurasi politik dalam orde baru bisa dibedakan menurut orde usang dalam hal tumpuannya. Kalau Soekarno terutama mengandalkan kekuasaannya dalam efek karismanya sebagai seseorang pemimpin serta dalam kepandaiannya memegang kunci ekuilibrium antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing dan bertentangan, maka Soeharto terutama mengandalkan kekuasaannya sebagai ketua eksekutif dalam membangun organ-organ politik yang bertenaga, militer serta golkar.
Oleh karena itu, kalau kekerasan politik Soekarno yang akbar tampak nir efektif karena tidak adanya organ politik yg bertenaga sebagai landasan, maka kekuasaan politik Soeharto dengan adanya militer serta Golkar yg menjadi landasan dan pendukung utamanya tampak sangat efektif.
Menjelang Pemilu pertama(semula direncanakan tahun 1968, tetapi karena alotnya pembahasan UU Pemilu terpaksa ditunda sampai tahun 1971) pelaku politik orde baru, Angkatan Darat, telah melakukan berbagai tindakan politik buat :
- Pertama, melemahkan partai-partai yg akan bertarung pada pemilu 1971.
- Kedua, menggalang kekuatan buat mengakibatkan Golkar kuat sebagai partai pemerintah.
Sebenarnya Angkatan Darat sejak semula telah terhinggapi keengganan buat menyelenggarakan Pemilu, tatapi lantaran telah terdapat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat buat itu, maka mau tak mau Pemilu wajib dilaksanakan. Hal itu masuk akal karena Soeharto selalu memilih jalan konstitusional buat menjaga dan memantapkan legitimasinya. Tetapi penerimaan atas tugas konstitusional “menyelenggarakan pemilu” itu disertai menggunakan sasaran bahwa kekuatan Pancasila harus menang pada pemilu. Penerimaan dan sasaran itu berarti pemilu harus dilaksanakan, tetapi Golkar menjadi kekuatan pemerintah harus tampil sebagai pemenang. Maka terjadilah penggalangan kekuatan seperti emaskulasi terhadap PNI menggunakan aneka macam kampanye pengordebaruan.
Upaya rehabilitasi Masyumi ditolak, namun berdirinya Parmusi disetujui menggunakan kondisi-syarat eksklusif. NU meskipun dulunya merupakan partai kuat, selamat menurut emaskulasi karena partai ini lebih fleksibel menerima keadaan. Akhirnya hasil pemilu tahun 1971 memberikan kemenangan yang luar biasa bagi pemerintah lantaran Golkar meraup dukungan yg luar biasa mencapai 62,8 % berdasarkan kursi yang diperebutkan.
Dengan modal itu pada masa-masa selanjutnya pemerintah bersama Golkar mengambil porsi mayoritas pada semua spectrum proses politik serta sebagai orde baru menjadi negara kuat. Partai-partai yang ada selain golkar sebagai lemah, sebab setiap alternatif yg diajukan sang partai-partai jika nir disetujui oleh pemerintah nir disetujui sang Golkar yang memiliki suara dominan absolut. Kenyaataan ini berlanjut hingga akhir orde baru, dimana semua produk politik yang yang didesain oleh DPR dan MPR didominasi sang kepentingan pemerintah yang akhirnya mengakibatkan aneka macam kesenjangan pada aneka macam bidang termasuk pada hal kepartaian.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud MD., Moh., 1993. Perkembangan Politik Hukum, Disertasi Doctor Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Mahfud MD., Moh., 1999. Pergulatan Politik serta Hukum di Indonesia, GamaMedia : Yogyakarta.
Mahfud MD., Moh., 1998. Politik Hukum pada Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta
Mahfud MD., Moh., 2011. Politik Hukum pada Indonesia (edisi revisi), Jakarta : Rajawali Pers
Subarjo, S.H, M.hum, Prof. Dr, Hukum Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, 2010
salam, def+