POLITIK HUKUM PASCA REFORMASI
Sunday, April 3, 2016
Edit
Politik adalah proses pembentukan serta pembagian kekuasaan pada masyarakat yg antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara atau biasa disebut dengan kebijakan. Sedang politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggaraan negara di bidang hukum yg akan, sedang serta telah berlaku yg bersumber dalam nilai-nilai yg berlaku pada dalam warga buat mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini, sehingga dia dapat memilih keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan. Dan akibat berdasarkan pentingnya peranan politik aturan ini seringkali sekali diklaim bahwa “hukum merupakan produk politik”. Memang pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” akan sebagai salah jika dasarnya adalah das Sollen atau bila hukum tidak diartikan menjadi undang-undang. Seperti diketahui bahwa interaksi antara hukum serta politik sanggup berdasarkan pada pandangan das Sollen dan das Sein. Begitu jua aturan mampu diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang meliputi UU, mampu jua diartikan sebagai putusan pengadilan, dan bisa pula diberi arti lain yg jumlahnya sanggup puluhan.
Politik hukum ini sudah berlaku pada Indonesia semenjak masa demokrasi terpimpin sampai reformasi. Dimana pada tiap periode berbeda-beda politik hukum yg terdapat. Politik hukum pada periode demokrasi terpimpin lebih mengutamakan pemerintah yg terpusat dalam Soekarno dan ditemani 2 kekuatan lain sesudah Soekarno yang memiliki peran politik, yaitu Angkatan Darat dan PKI. Jadi konfigurasi politik pada waktu itu ditandai oleh persaingan 3 kekuasaan tersebut dengan kekuatan akbar ada pada tangan Soekarno (Mahfud MD, 2011 : 144).
Kemudian pada periode Orde Baru, politik aturan yg ada adalah adanya konsolidasi ekonomi, pimpinan pemerintahan yang kuat, dan susunan yang stabil. Setelah Soekarno serta PKI terlempar berdasarkan pentas politik sesudah adanya Orde Baru, lantas timbul Angkatan Darat sebagai pemeran utama dalam orde baru. Militer punya 2 kekuasaan, disamping militer punya tugas kemiliteran, namun jua mempunyai kekuasaan politik.
Lalu kemudian bagaimanakah politik aturan pada era pasca reformasi? Politik hukum di era reformasi sudah mengalami banyak sekali perubahan tentang produk aturan era orde baru, serta sudah mengutamakan demokrasi sebagai kondisi dalam mengadakan politik hukum. Karena itu di dalam makalah ini akan dibahas secara mendalam poltik aturan pasca reformasi supaya dapat memberikan pengetahuan lebih mendalam dan bisa dijadikan asal untuk perbandingan ilmiah dan penelitian yang lebih lanjut.
Politik Hukum Pasca Reformasi
sumber : google.com
Pengertian Politik Hukum
Politik aturan adalah ”legal policy atau garis (kebijakan) resmi mengenai aturan yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan aturan baru juga menggunakan penggantian aturan usang, dalam rangka mencapai tujuan negara. Menurut Patmo Wahjono pada politik aturan Moh. Mahfud MD (2011:1) mengatakan bahwa politik aturan merupakan kebijakan dasar yg memilih arah, bentuk, juga isi hukum yang akan dibuat. Sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik aturan sebagai aktifitas menentukan serta cara yg hendak digunakan buat mencapai suatu tujuan sosial menggunakan aturan eksklusif pada dalam rakyat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan fundamental, yaitu :
- Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yg terdapat.
- Cara-cara apa yang yg mana yang dirasa paling baik buat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut
- Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana aturan itu perlu diubah.
- Dapatkah suatu pola yang standar serta mapan dirumuskan buat membantu dan merumuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara buat mencapai tujuan tadi menggunakan baik.
Dengan demikian, politik aturan merupakan pilihan mengenai hukum yg akan diberlakukan sekaligus pilihan mengenai hukum-hukum yg akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan buat mencapai tujuan negara seperti yang tercantum didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Politik Hukum Nasional
Hukum adalah menjadi alat, sehingga secara praktis politik aturan jga adalah indera atau wahana dan langkah yang bisa digunakan oleh pemerintah buat membangun sistem aturan nasional guna mencapai impian bangsa serta tujuan negara.
Berdasarkan pada fenomena bahwa negara kita mempunyai tujuan yang wajib dicapai dan upaya buat mencapai tujuan itu dilakukan dengan memakai aturan sebagai alatnya melalui pemberlakuan dan penidakberlakuan aturan-hukum sinkron menggunakan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi sang rakyat dan negara kita.
Politik aturan pada Indonesia terdapat yang bersifat tetap atau jangka panjang serta ada yg bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya permberlakuan prinsip perjanjian yudisial, ekonomi, kerakyatan, keseimbangan antara kepastain hukum. Keadilan dan kemanfaatan, penggantian aturan-hukum kolonial menggunakan aturan-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Dasar sekaligus berlaku menjadi politik aturan.
Adapun yg bersifat periodik adalah politik aturan yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yg dihadapi pada setiap periode tertentu baik yg akan memberlakukan juga yg akan dicabut contohnya pada periode 1973 – 1978 terdapat politik aturan buat melakukan kodifikasi dan unifikasi dalam bidang-bidang aturan eksklusif. Pada periode 1983 – 1988 terdapat politik aturan buat menciptakan peradilan tata bisnis negara, serta pada periode 2004 – 2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan UU yang dicantumkan pada dalam acara legislasi Nasional (PROLEGNAS)
PROLEGNAS merupakan daftar planning UU yg akan dibentuk selama satu periode pemerintahan buat menjawab berbagai duduk perkara yg dihadapi pada periode yang bersangkutan. Prolegnas ditetapkan sang Ketua DPR berdasar konvensi antara DPR dan pemerintah. Prolegnas memiliki dua fungsi yakni sebagai potret tentang planning materi aturan-aturan (dalam arti undang-undang) yg akan dibuat serta sebagai mekanisme atau prosedur pembuatan UU itu sendiri.
Politik hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional sang pemerintah Indonesia mencakup:
- Pembangunan hukum yg berintikan pembuatan serta pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar bisa sinkron menggunakan kebutuhan.
- Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi forum dan pembinaan para penegak aturan.
Indonesia diproklamasikan menjadi negara merdeka menggunakan undang-undang Dasar 1945 sebagai aturan dasarnya. Proklamasi kemerdekaan adalah tindakan perombakan secara total yg sudah membawa serta mengganti tradisi rakyat Indonesia pada idealita dan realita hukum menurut keadaan terjajah menjadi masyakat pendidikan nasional.
Politik Hukum Pasca Reformasi
Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasar pada periode sistem politik) antara konfigurasi politik yg demokratis serta konfigurasi politik yg otoriter. Sejalan menggunakan perubahan-perubahan konfigurasi politik, maka karakter produk hukum jua berubah. Pada saat konfigurasi tampil secara demokratis, maka produk aturan yg dihasilkan bersifat responsif, kebalikannya saat konfigurasi politik tampil secara otoriter, maka aturan-hukum yang dilahirkannya berkaraketr ortodoks (Mahfud MD, 2011 :373)
Dengan demikian, perkembangan hukum-aturan privat atau aturan publik yang tidak berkaitan menggunakan gezgsverhouding dapat berjalan secara linear tanpa secara signifikan ditentukan sang perubahan-perubahan politik. Tidaklah mengherankan jika Penpres No. 11 Tahun 1963 yang kemudian dijadikan UU NO. 11/PNPS/1963 (mengenai Tindak Pidana Subversi) diberlakukan sang dua rezim yg bertentangan, yakni rezim Orde Lama dan Orde Baru meskipun selama berlakunya selalu digugat lantaran Penpres/UU tersebut memberi jalan bagi penguasa buat melakukan tindakan represif yang keras bagi siapapun yg akan mengganggu posisi pemegang kekuasaan (Mahfud MD, 2011:373). Seperti yg diketahui bahwa UU No. 11/PNPS/1963 baru dicabut setelah reformasi tahun 1998 yakni pada saat gerak reformasi sedang bergelora.
Perubahan Berbagai UU
Temuan tadi tampak mengkonfrontasi pula terhadap insiden-peristiwa aktual yang menyusul reformasi tahun 1998. Tampak kentara dan terbukti secara gamblang bahwa “aturan menjadi produk politik” sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto jatuh, maka aturan-hukum pula langsung diubah, terutama aturan-hukum publik yang berkaitan menggunakan distribusi kekuasaan, yakni aturan rapikan negara. Berbagai undang-undang bidang politik produk Orde Baru pribadi diubah menggunakan pembongkaran atas asumsi-asumsi dan penghilangan atas kekerasan-kekerasan politik yg menjadi muatannya. Berikut beberapa contohnya.
- UU tentang Partai Politik serta Golongan Karya diganti menggunakan UU tentang Kepartaian. Jika semula warga dipaksa buat hanya mendapat dan memilih tiga organisasi sosial tanpa boleh mengajukan cara lain , maka seseorang warga diperbolehkan menciptakan parpol yang eksistensinya pada parlemen bisa dibatasi sang rakyat melalui pemilu menggunakan pemberlakuan electoral threshold serta atau parliamentary threshold (Mahfud MD, 2011 : 374).
- UU mengenai Pemilu dibongkar menggunakan menghapus porsi anggota DPR serta MPR yang diangkat sang presiden. Penelenggara pemilu pula dilepaskan menurut hubungan struktural menggunakan pemerintah, dari yang semula diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai sang Menteri Dalam Negeri dialihkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat berdikari. Bahkan ketentuan tentang ini lalu dimasukkan pada dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni Pasal 22E Ayat (lima) yg berbunyi “Pemilihan generik diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap serta berdikari”.
- UU tentang Susunan serta Kedudukan MPR, DPR, serta DPRD dirombak sejalan dengan perubahan UU mengenai Pemilu. Perubahan atas UU ini hingga tahun 2004 secara prinsip hanya berisi pengurangan terhadap jumlah anggota DPR yg diangkat serta pengangkatan anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat secara lebih terbuka, tetapi sejak pemilu 2004 perubahan atas UU sudah meniadakan pengangkatan sama sekali serta memasukkan Dewan Perwakilan Daerah menjadi lembaga negara yang baru sejalan menggunakan amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945 yg memilih bahwa MPR terdiri menurut anggota DPR serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
- UU tentang Pemerintahan Daerah pula diganti, menurut yg semula berasas swatantra nyata dan bertanggung jawab menjadi berasas ekonomi luas, menurut yg secara politik sentralistik sebagai desentralistik. Asas otonomi luas ini bukan hanya dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 output amandemen (perubahan ke 2) yakni pada pada pasal 18 ayat (lima) yg berbunyi “Pemerintah Daerah menjalankan swatantra seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang sang undang-undang dipengaruhi menjadi urusan pemerintah pusat “.
Selain berdasarkan model-model di atas, masih poly UU lain yang diubah sejalan dengan perubahan politik menurut Orde Baru ke reformasi. Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut, Dwifungsi ABRI dihapuskan, Tentara Nasional Indonesia dipisahkan berdasarkan POLRI, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dihapus, Kekuasaan Kehakiman disatuatapkan, serta masih poly model lainnya.
Penghapusan Tap MPR
Pasca reformasi 1998 perubahan aturan bukan hanya mengantarkan pada perubahan berbagai UU misalnya yang dicantumkan di atas, melainkan menyentuh pula peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) serta UUD 1945. Untuk tingkat Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat yg mula-mula ditiadakan adalah Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1978 mengenai Pedoman Penghayatan serta Pengamalan Pancasila (P4) serta Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/Majelis Permusyawaratan Rakyat/1983 mengenai Referendum, tetapi akhirnya Tap MPR sendiri dinyatakan dihapus dari peraturan perundang-undangan sejalan dengan perubahan atau amandemen atas UUD 1945.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 membarui interaksi antarlembaga negara dari yang vertikal-struktural menjadi horizontal-fungsional sehingga tidak terdapat lagi forum tertinggi negara. MPR yang semula adalah forum tertinggi negara diturunkan derajatnya menjadi forum negara biasa yg sejajar dengan forum negara lainnya, yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan Komisi Yudisial. Dengan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat yg nir lagi sebagai forum tertinggi negara, maka peraturan perundang-undangan di dalam rapikan aturan kita nir lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tadinya adalah peraturan perundang-undangan derajat kedua setelah Undang-Undang Dasar tidak bisa lagi dikeluarkan sebagai peraturan perundang-undangan serta tempatnya pada derajat ke 2 pada hirarki peraturan perundang-undangan diganti sang UU/Perpu yg semual menempati derajat ketiga. Pada ketika ini memang masih dimungkinkan adanya Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi bukan lagi menjadi peraturan melainkan sebagai penetapan, seperti Ketetapan tentang Penetapan Wakil Presiden apabila Presiden berhalangan tetap. Peraturan bersifat generik-tak berbentuk, sedangkan penetapan bersifat nyata-individual.
Perubahan Undang-Undang Dasar
Seperti yg telah disinggung di atas bahwa penghapusan Tap MPR sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan merupakan akibat menurut perubahan atau amandemen atas UUD 1945. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri adalah rencana atau produk utama reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran kuat yg dimotori sang aneka macam kampus dan para pegiat demokrasi bahwa reformasi konstitusi adalah keharusan bila kita mau melakukan reformasi. Alasannya krisis multidimensi yang menimpa Indonesia disebabkan sang sistem politik yg otoriter sebagai akibatnya buat memperbaikinya wajib dimulai menurut perubahan sistem politik agar sebagai dmeokratis. Untuk membentuk sistem yang demokratis perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 lantaran sistem otoriter yg dibangun selalu masuk menurut celah-celah yg terdapat pada UUD 1945 tadi. Menurut penelitian yg dilakukan Prof. Moh. Mahfud MD, tentang “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Karakter Produk Hukum” bahwa faktanya sistem politik yg otoriter selalu terjadi dalam masa-masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dapat ditinjau dari hasil penelitian Mahfud MD yg secara sederhana diragakan menjadi berikut (Mahfud MD, 2011:377) :
Periode
Konfigurasi Politik
Karakter Produk Hukum
UUD yang berlaku
1945-1959
Demokratis
Responsif
UUD 1945. Konst. RIS 1949, UUDS 1950
1959-1966
Otoriter
Ortodoks
UUD 1945
1966-1998
Otoriter
Ortodoks
UUD 1945
Dari ragaan tersebut, tampak bahwa sistem demokrasi hanya terjadi dalam periode 1945-1959, sedangkan dalam periode selanjutnya menampilkan otoriterisme. Artinya demokrasi dengan memakai indikator-indikator eksklusif hanya dapat berkembang dalam saat UUD 1945(sebelum diamandemen) nir berlaku, menggunakan kata lain otoriterisme selalu berkembang serta mencengkeram dalam periode-periode berlakunya UUD 1945 yg orisinil. Pada umumnya kelemahan-kelemahan UUD 1945 yg sebagai pintu masuk bagi tampilnya otoriterisme itu diidentifikasikan sebagai berikut (Mahfud, 2011:378) :
Pertama, memuat ketentuan-ketentuan-ketentuan yang memfokuskan kekuasaan dalam lembaga eksekutif (executive heavy) yg dipimpin oleh presiden. Selain menjadi kepala eksekutif, mudah presiden menjadi kepala lembaga legislatif, lantaran apabila presiden nir mau menadatangani sebuah RUU yg disetujui DPR dan pemerintah, maka RUU tadi tidak belaku
Kedua, memuat ketentuan yg multi tafsir yang lantaran sistemnya yang executive heavy itu maka penafsiran konstitusi yg harus diterima menjadi kebenaran merupakan penafsiran yang dibentuk presiden.
Ketiga, terlalu poly memberi atribut kewenangan pada lembaga legislatif buat mengatur hal-hal yang sangat krusial menggunakan undang-undang tanpa terdapat limitasi yg tegas di pada UUD padahal presiden sangat mayoritas pada proses pembentukan undang-undang. Banyaknya atribusi ini yang mengakibatkan isi undang-undang lebih poly didominasi sang kehendak-kehendak presiden.
Keempat, terlalu percaya pada semangat orang sebagaimana dinyatakan sendiri dalam penjelasn Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen. Di pada penerangan Undang-Undang Dasar 1945 tadi, dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar tidaklah terlalu penting karena yang lebih penting merupakan semangat penyelenggara negara, apabila semangat penyelenggara negara baik, maka negara akan baik.
Itulah kelemahan-kelemahan yg terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen tersebut, dan itulah yg sebagai salah satu alasan diadakannya amandemen. Namun ada hal lain yang memperkuat alasan dilakukannya amandemen, yakni alasan konstitusi sebagai resultante atau produk konvensi politik sebagaimana diungkapkan KC Wheare, sebagai resultante, konstitusi adalah konvensi pembuatnya sesuai dengan keadaan ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam saat dibuat.
Demokratitasi Sebagai Syarat
Diantara banyak simpulan yang bisa dilahirkan, ada satu konklusi yang relatif menarik , yakni “bila kita ingin membentuk hukum yg responsif, maka syarat pertama dan utama yang wajib dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi pada kehidupan politik”. (Mahfud, 2011:380). Tidaklah mungkin kita membangun hukum responsif tanpa lebih dahulu membangun sistem politik yg demokratis, karena aturan responsif nir mungkin lahir di dalam sistem politik yg otoriter. Melalui amandemen konstitusi (1999-2002) Indonesia sudah menciptakan struktur dan pola interaksi kekuasaan negara yg berdasarkan sudut ketatanegaraan lebih menjamin tampilnya sistem politik yang demokratis.
Kesimpulan
Politik aturan adalah ”legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang aturan yg akan diberlakukan baik dengan pembuatan aturan baru maupun menggunakan penggantian hukum lama , pada rangka mencapai tujuan negara.dengan demikian, politik aturan merupakan pilihan mengenai aturan yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-aturan yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan buat mencapai tujuan negara misalnya yg tercantum didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasar pada periode sistem politik) antara konfigurasi politik yg demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Ada beberapa perubahan yang dilakukan pada rangka konfigurasi politik saat gerakan reformasi tengah bergejolak, yaitu :
- Perubahan Undang-undang
- Penghapusan Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan
- Perubahan Undang-Undang Dasar
- Demokratisasi sebagai kondisi.
Diantara banyak simpulan yang bisa dilahirkan, ada satu konklusi yang relatif menarik , yakni “bila kita ingin membentuk hukum yg responsif, maka syarat pertama dan utama yang wajib dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi pada kehidupan politik”. (Mahfud, 2011:380). Tidaklah mungkin kita membangun hukum responsif tanpa lebih dahulu membangun sistem politik yg demokratis, karena aturan responsif nir mungkin lahir di dalam sistem politik yg otoriter. Melalui amandemen konstitusi (1999-2002) Indonesia sudah menciptakan struktur dan pola interaksi kekuasaan negara yg berdasarkan sudut ketatanegaraan lebih menjamin tampilnya sistem politik yang demokratis. Meskipun begitu ada dua hal yang harus diperhatikan untuk selalu mengaktualisasikan sistem yang demokratis itu :
Pertama, sistem demokrasi yang telah dikukuhkan melalui amandemen konstitusi haruslah diikuti dengan moralitas atau semangat buat mewujudkannya oleh penyelenggara negara, sebab misalnya dikemukakan diatas, sistem dan semangat penyelenggaraan negara itu sama pentingnya.
Kedua, menjadi produk kesepakatan (resultante) yg lahir dari keadaan dan saat tertentu UUD itu tidak boleh ditutup berdasarkan kemungkinan buat diubah dengan resultante baru. UUD yg merupakan output amandemen pun wajib membuka kemungkinan utnuk diamandemen lagi menggunakan resultante baru apabila keadaan dan waktu menuntut dilakukannya hal itu.
Meskipun demikian bukan berarti Undang-Undang Dasar itu bisa menggunakan gampang diubah menggunakan resultante baru tanpa alasan serta prosedur yang ketat. Meskipun dapat diubah melalui resultante baru sinkron dengan tuntutan waktu, tempat, dan poleksosbud UUD itu dirancang menggunakan muatan isi serta prosedur yang tidak gampang diubah. Perubahan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yg sangat krusial serta menggunakan prosedur yang tidak mudah.
Oleh sebab itu, agar perubahan UUD itu nir mudah dilakukan serta agar dia nir acapkali diubah hanya berdasar kegenitan politik yg muncul dari perubahan konfigurasi politik maka para pakar konstitusi menyebutkan 2 hal krusial yang harus diperhatikan pada pembuatan serta muatan konstitusi (Mahfud, 2011:380):
Pertama, muatan konstitusi wajib bersifat fundamental serta tak berbentuk-generik;tidak memuat hal-hal konkret, teknis, serta kuantitatif agar tidak terlalu sering menghadapi tuntutan perubahan. Hal-hal yang bersifat konkret, teknis, dan kuantitatif biasanya lebih gampang dipersoalkan apabila berhadapan dengan persoalan-persoalan baru yg muncul pada tengah-tengah masyarakat.
Kedua, konstitusi harus memuat prosedur perubahan yg tidak gampang dilakukan kecuali dengan alasan-alasan yang sangat penting; mislanya harus ada ketentuan tentang jumlah minimal pengusul perubahan konstitusi serta korum minimal pada pengambilan keputusan buat mengganti isi konstitusi tersebut. Ada pula Undang-Undang Dasar yang perubahannya wajib dilakukan melalui referendum.
Daftar Pustaka
Mahfud MD.,Moh., Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi), Jakarta : Rajawali Pers, 2011
Mahfud MD.,Moh., Pergulatan Politik dan Hukum pada Indonesia, Yogyakarta : Gama Media
Mertokusumo.,Sudikno., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty
Demikian tulisan sederhana yang saya buat kali ini, semoga berguna bagi pembaca. Nantikan update selanjutnya. Salam def+