ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM HUKUM

Dalam global hukum kita akrab sekali menggunakan asas praduga tak bersalah. Terutama yg sedang menggeluti dunia aturan, niscaya paham mengenai apa itu harapan praduga tak bersalah. Walaupun nir menutup kemungkinan terdapat yg tidak paham dengan asas ini. Secara bagian atas serta sederhana asas praduga tak bersalah bahwa asas ini menyatakan bahwa seorang terdakwa atau tersangka tidak boleh dinyatakan bersalah sampai ada putusan pengadilan yang bersifat permanen. Asas praduga tak bersalah ini tidak mampu dipisahkan berdasarkan proses peradilan, lantaran asas ini merupakan prinsip fundamental pada pengambilan aturan.

Namun dalam kenyataannya asas praduga tidak bersalah ini lebih poly disalahgunakan oleh beberapa pihak. Terutama pihak yg punya kekuasaan cenderung memakai asas ini buat melindungi dirinya dan kekuasaannya. Contoh masalah yg sedang menimpa Jaksa Agung MA Rachman lantaran tidak mencantumkan kepemilikan tempat tinggal pada Graha Cinere, Depok, dan deposito Rp 800 juta pada Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) 10 Juli 2001 kepada KPKPN (Kompas, 8/10). Meski didesak mundur, sepertinya beliau tidak akan mundur hanya karena masalah tidak melaporkan harta kekayaan sebagaimana mestinya, dan dia berdalih menggunakan alasan asas praduga nir bersalah. Asas praduga nir bersalah ini sangat disalahgunakan secara gamblang sang para pihak buat melindungi kekuasaannya. Untuk itu perlu diragukan apakah asas praduga tidak bersalah memang mampu membuat peradilan lebih bersikap adil, baik dan nir memihak.

Oleh karenanya dalam kesempatan kali aku akan membuatkan pengetahuan mengenai asas praduga tak bersalah...semoga pembahasan berikut berguna...

Asas Praduga Tak Bersalah



Pembahasan

     Indonesia merupakan keliru satu Negara yang bisa dikatakan sebagai Negara penganut sistem peradilan pidana menggunakan due process model (meskipun tidak secara absolut) sebagaimana yg diperkenalkan oleh Packer. Di mana poin penting berdasarkan due process model merupakan menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dibanding kuantitas, serta menonjolkan asas presumption of innocent. Hal yang dimaksud pada poin terakhir pada atas merupakan tentang asas praduga tak bersalah. Artinya bahwa seseorang nir boleh dikatakan atau nir boleh dipercaya bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah kepadanya dan mempunyai kekuatan hukum. Hak-hak yang dimiliki tersangka sangat dijunjung tinggi, serta sedapat mungkin wajib tetap diberikan sang aparat penegak hukum.

     Perkembangan selanjutnya asas praduga tidak bersalah ini sangat berkaitan dengan Miranda Rights atau yang disebut juga menggunakan Miranda Rule, yaitu suatu aturan yg mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana/kriminal, sebelum diperiksa sang penyidik atau instansi yg berwenang. Adapun Miranda Rights itu mencakup:
  1. Hak buat diam, dan menolak buat menjawab pertanyaan polisi atau yg menangkap sebelum diperiksa oleh penyidik.
  2. Hak buat menghubungi penasihat aturan dan menerima bantuan hukum berdasarkan penasihat hukum/pengacara yg bersangkutan.
  3. Hak buat memilih sendiri penasihat hukum/advokat.
  4. Hak buat disediakan penasihat aturan, bila tersangka nir bisa menyediakan penasihat aturan/advokat sendiri.

      Pada kenyataannya, asas praduga tidak bersalah ini tidaklah diterapkan menggunakan baik dan bahkan cenderung dilanggar. Banyak perkara yg terjadi justru nir memberitahuakn adanya proteksi terhadap tersangka, namun misalnya ‘kebrutalan’ yg dilakukan sang oknum polisi dalam melakukan proses penegakan hukum. Sudah bukan rahasia yg tertutup kedap lagi bahwa atas nama melakukan investigasi, interogasi serta penyelidikan terhadap tersangka, oknum polisi seringkali kali memakai kekerasan dengan tujuan membuat tersangka mengakui perbuatannya sehingga memudahkan pekerjaan mereka, tersangka tidak diberitahukan atas hak-hak yang dimilikinya, bahkan kadang tersangka dibujuk buat tidak memakai penasihat hukum pada proses hukumnya menggunakan alasan akan memberatkan tersangka sendiri dalam biayanya.

        Peristiwa yang cukup relevan menggunakan Miranda Rule serta asas praduga tak bersalah, keliru satunya ialah dimana ketika itu dilakukan penangkapan terhadap 2 orang yg disangka menjadi pelaku kejahatan curanmor. Dalam proses penangkapannya, kedua pelaku ini nir hanya diperlakukan bukan misalnya ditangkap oleh aparat penegak hukum, melainkan misalnya penangkapan ‘maling’ yg dilakukan sang rakyat umum , lebih mengejutkan lagi karena penangkapan itu disertai dengan penyiksaan, waktu itu penyiksaan dilakukan dengan alat kejut listrik yang dikenakan kepada ke 2 orang yg disangka pencuri motor tadi. Layakkah itu dilakukan sang aparat penegak hukum? Apakah itu model yang baik buat rakyat? Dengan kinerja seperti itu, tentu nir terdapat bedanya penangkapan yg dilakukan sang aparat penegak hukum (yg tentunya harus sinkron mekanisme serta menjunjung tinggi HAM) menggunakan penangkapan yang dilakukan sang rakyat biasa? Apakah ini yang namanya tabiat militeristik menurut Institusi Penegak Hukum.

    Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak aturan tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut serta mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar kabar-informasi yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Lantaran itu, terhadapnya harus dilakukan proses aturan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti pada tengah jalan.

    Dalam konteks aturan program pidana di Indonesia, kendati secara universal asas praduga nir bersalah diakui dan dijunjung tinggi, tetapi secara sah formal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita pula menganut asas praduga bersalah. Sikap itu paling nir dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dari bukti permulaan yg relatif. Artinya, buat melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar naratif faktual serta bukti permulaan yg relatif, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud.

Kesimpulan

           Asas praduga tidak bersalah artinya asas yg menyatakan bahwa seorang tersangka tidak boleh dinyatakan bersalah hingga terdapat keputusan pengadilan yang bersifat aturan tetap. Asas praduga nir bersalah ini merupakan syarat utama pada negara yg menganut due process of law seperti Indonesia, demi membentuk peradilan yang baik, jujur, adil dan nir memihak. Tetapi pada kenyataannya asas ini bukannya dilaksanakan dengan baik tetapi malah dilanggar serta disalahgunakan. Banyak aparat penegak hukum kita yg bahkan orang itu belum mendapat status baik sebagai tersangka serta belum punya bukti yg cukup, sudah dipukuli serta disakiti tanpa alasan. Ini jelas melanggar asas tersebut serta HAM. Ini galat ini mengakibatkan suatu kesan yg buruk terhadap kinerja aparatur penegak aturan kita.

     Sudah sepatutnya profesionalisme serta kinerja aparat penegak aturan kita  wajib terus ditingkatkan, meskipun mungkin tujuannya merupakan pada rangka menegakkan hukum, akan namun permanen saja wajib permanen dilakukan sinkron dengan koridor hukum yg ada, sehingga tidak mencederai gambaran Bangsa Indonesia. Agar dapat diakui dunia menjadi Bangsa yang taat hukum plus selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, lantaran bukan misteri umum juga bahwa kita termasuk Negara yg masuk daftar hitam pada mata Internasional dalam hal pelanggaran Hak Asasi Manusia.


def+

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel