YURISDIKSI NEGARA DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL KEDAULATAN NASIONAL


Yurisdiksi Negara adalah kekuasaan negara buat memaksakan hukum kepada orang, benda, atau perbuatan-perbuatan (yuridiksi legislatif) serta kekuasaan negara atas orang, perbuatan atau benda di dalam proses peradilan (yuridsiksi adjudikasi) atau lebih singkatnya kekuasaan negara buat memaksakan berlakunya hukum, dipatuhinya ketentuan aturan, serta adanya hukuman bagi pelanggaran terhadap ketentuan aturan yg berlaku (yurisdiksi penegakan aturan).

Secara generik, yuridiksi negara tadi tidak mampu berlaku secara keseluruhan lantaran dibatasi sang kedaulatan negara lain, hukum internasional, aturan nasional negara lain dan doktrin-doktrin yg mengatur interaksi antar negara. Sedangkan secara filosofis, restriksi-restriksi tersebut telah menjadi prinsip dasar yang sanggup ditemukan pada Piagam PBB Pasal dua, yaitu :
  1. Asas persamaan kedudukan diantara anggota (Sovereign equality of all members) yg kemudian menjadi dasar keikutsertaan aktif di antara anggota PBB dalam upaya pencegahan serta penegakan aturan terhadap pelanggaran berat HAM;
  2. Asas itikad baik bagi para anggota pada melaksanakan tugas yang dibebankan oleh PBB dalam pencapaian tujuan;
  3. Asas dalam pemenuhan kewajiban buat menyelesaikan konkurensi secara damai (peaceful settlement of disputes);
  4. Asas pada pemenuhan kewajiban buat menunda diri berdasarkan penggunaan kekerasan bersenjata dan penggunaan kekerasan senjata hanya buat pembelaan diri;
  5. Asas buat tidak saling mencampuri urusan negara lain (non intervention).
Dalam The Harvard Research Draft Convention on Jurisdiction with Resepct to Crime 1935, hukum internasional mengenal dan mengakui lima dasar berlakunya yurisdiksi suatu negara. Kelima dasar terbut adalah yurisdiksi teritorial, yurisdiksi nasionalitas, yurisdiksi nasionalitas pasif, yurisdiksi perlindungan, serta yurisdiksi universal. Dalam penegakan terhadap kejahatan internasional, penggunaan asas yurisdiksi universal semakin memperoleh pengakuan dan diperluas penggunaannya dalam beberapa tahun terakhir. Perluasan itu diterapkan dalam delik HAM dan Hukum humaniter Internasional degan tujuan utamanya adalah untuk menaruh perlindungan pada individu semaksimal mungkin, serta buat mengakhiri kekebalan aturan berdasarkan perlaku kejahatan-kejahatan tersebut.

Suatu negara mempunyai kekuasaan penuh atas wilayahnya buat melaksanakan yurisdiksinya terhada rakyat negaranya atau orang-orang yg berada di daerahnya, namun nir dapat melaksanakan yurisdiksi pada luar wilayahnya. Yurisdiksi tadi diistilahkan dengan yurisdiksi teritorial yg berarti bahwa kewenangan aturan suatau negara atas segala sesuatu yang dapat terjadi diwilayahnya. Namun, terdapat dispensasi di mana suatu negara nir bisa sepenuhnya melaksanakan yurisdiksinya, yaitu terhadap gedung perwakilan diplomatik serta konsuler negara lain yg berada di daerahnya (yurisdiksi ekstrateritorial).

Di pada daerahnya negara mempunyai kewenangan buat melaksanakan aturan nasionalnya (yurisdiksi tertentu). Berarti setiap orang yg berada pada pada suatu daerah harusnya tunduk pada kekuasaan hukum berdasarkan negara yang memiliki daerah tadi. Dalam hal ini berlakulah adagium "Qui in territero meo est, etiam meus subsiditus est" artinya "jika seseorang berada daam wilayah aku , maka beliau tunduk pada saya". Semua orang yang ada di daerah negaranya, baik masyarakat negara sendiri maupun orang asing tunduk dan ikut pada kekuasaan negara tadi. Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing sama halnya yurisdiksi teritorial terhadap negaranya. Tidak terdapat perlakuan khusus yang diberikan pada orang asing.

Pada prinsionya negara memiliki kekuasaan mengatur interaksi hukum yg dilakukan ooleh orang yg berada diwilayahnya. Sekalipun orang asing tunduk pada yurisdiksi daerah tuan rumah, beliau masih tetap berada di bawah yuridiksi personal negaranya. Hal ini menjelaskan bahwa yurisdiksi negara pada menerapkan kekuasaan hukumnya terdapat batas-batasnya yg perlu diperhatikan. Semula buat menimbulkan pertanggungjawaban negara perlu adanya kerugian yg diderita, namun seiring perjalanan zaman, nir perlu adana kerugian yg sahih-benar diderita.

Selama ini kita hanya terpaku dalam keugian yg wajib dipertanggungjawabkan yaitu kerugian yang semata-mata hanya dinilai menurut segi materi namun kadang kerugian nir hanya dalam bentuk materi saja. Ada jua kerugian immaterial, seperti kerugian yang menyangkut kehormatan atau prestige negara. Yang paling lazim negara yg dirugikan akan berusaha memperoleh penulasan (satisfaction) melalui perundingan diplomatik serta bila hanya menyangkut kehormatan, dalam umumnya akan cukup menggunakan suatu pernyataan maaf resmi menurut negara yang bertanggung jawab atu suatu agunan bahwa dilema yang diprotes tidak akan terulang lagi.

def+

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel