CERMIN TAK BERBIAS NOVEL BAGIAN 1 CERMIN
Thursday, January 4, 2018
Edit
Di Ujung Sumatera
Kadangaku bertanya, untuk apa aku dilahirkan?
Tentu, itu pertanyaan yg cukup sinis bagi seorang wanita belia, tapiaku hanya perlu membisu serta mendengarkannya saja, tanpa wajib mengatakan apapun, itusudah cukup membantunya.
“Perlahan kau akan temukanjawaban berdasarkan pertanyaanmu itu. Teruslah bercerita bila itu akan meredakansesakmu”
Kalimat ini tak jarang kuucapkan dalam wanita yang seminggu sekalidatang menemuiku di ruanganku yang tidak sempit tak pula luas, akan tetapi relatif sebagairuangan buat bertatap muka, dengan meja dan kopi hangat yang selalu bertenggersetia menguapkan aroma kenyamanan.
Berangkat menurut pertanyaan sinis itu, perempuan tidak tepatnya gadismuda ini mulai menceritakan bagian kisah hidupnya, yg entah saya belum tahu menyedihkankah? Bahagia? Atau hambar dan biasa saja? Kita tunggu bibir yg tak cukupseksi itu buat mulai menyampaikan.
“Baiklah, saya akan memulainyadari 18 tahun kebelakang”
Seolah terlempar padaribuan bahkan jutaan insiden yang bergulir dan mengalir deras dalam setiapdetik waktuku.
Di awali pada setiap insiden yang terjadi tepat 21 tahun yang kemudian pada Bumi Sumatera di ujungselatan. Satu persatu kenangan berubah menjadi sebuah video dokumenter layaknya kasetlawas yg diputar pada tipe, dan akuadalah pemeran primer yang poly memerankan adegan, seolah saya masuk kembalipada dimensi kehidupan masa lampauku itu.
Ingatan itu, mengantarkanku dalam kenangan yg menghanyutkankupada bayang-bayang bunyi lengkingan elang, gonggongan anjing dan tebing-tebingyang mengapit rumah-tempat tinggal papan beratapkan seng yg lapuk, sisa-sisa babi jailyang merusak kebun, genre air yg bergemericik pada samping pekarangan, bahkanaku masih mampu merasakan aroma asam butir sirsak yang berjatuhan lantaran terlalumatang.
Masih sangat teringat kentara seluruh hamparan peristiwa pada setiaplangkah bahkan setiap inci serta sudut yg terekam pada memoriku. Yah, memoriyang menyisakan kenangan indah pula memori yang menyisakan kenangan tidak baik, akumasih menyimpannya menggunakan rapi pada setiap sendi-sendi tulangku.
Kalaitu,...
Aku masih terlalu lugu buat menafsirkanrindu,
terlalu dini buat mengerti serta memahami rindu,
Hingga aku tidak mengerti apa yg saya rasakan,
hanya bongkahan sesak yg tak dapat kugambarkan lewat istilah.
Aku merindukan suasana kampungku,merindukan mamak serta bapak, tapi apakah mereka merasakan hal yg samadenganku? Akh, sayangnya aku tidak bisa membicarakan kerinduanku pada siapapun.
4 tahun, sejak pertama kali kubuka mataku didunia ini, tepat diujung daratan paling Selatan Pulau Sumatera. Kali pertama aku meninggalkantanah kelahiranku, di usiaku yang masih dini. Aku pada bawa neneku pergi ke tanahjawa, entah menggunakan alasan apa, aku tak pernah mengelak tak jua bertanya, hanyamenurut saja, akh, bukan! Saya hanya mampu pasrah. Aku tidak mengerti mengapa akudilemparkan ke Pulau Jawa loka para jawara berjaya, yah pada tanah Jawa. Sampaisaat itu, aku masih belum mengertimengapa saya harus berpisah menggunakan kedua orangtuaku, wajib berpisah dengansatu-satunya kawan yang kumiliki, berpisah dengan ketenangan alam yangmenyaksikan setiap derap langkah kaki mungilku yg tak bersandal. Hah, akuheran kenapa saya tak berontak sama sekali, yah aku tidak memberontak lantaran akutak mengerti apa yang terjadi.
Ya dewa, loka apa ini? Ramai, danbanyak rumah-tempat tinggal , tidak sama dengan kampung asalku, sepi serta tenang. Yah, inihari-hari pertamaku menjajaki kehidupan menjadi seorang balita yg tidak tahuarah, aku misalnya seekor anak kucing yg terpisah dari induknya. Disini semuaberbeda, banyak orang, poly aktivitas, poly tempat tinggal -tempat tinggal , pasar,gedung-gedung sekolah dan juga pabrik-pabrik industri. Aku merasa bagaiterlempar kedalam mesin waktu jauh ke masa depan menggunakan segala lingkungan yangkusaksikan atau tepatnya kuperankan jua.
Aku merasa asing dengan lingkunganbaruku ini. Mamak, Bapak saya takut!...
Disini, ditempat ini pada tanah Jawa, yang kukenal hanya Kakek,Nenek, Bibi, Mamang, serta Uwaku. Hingga Aku merasa menjadi anak yang mungkinpaling aneh dengan tempramen yg sangat tidak baik diantara anak-anak seusiakudisini, aku lebih senang menyendiri saya takut dalam orang-orang yg takkukenal. Bahkan, waktu orang-orang menyapaku saya akan meneriaku mereka ataumelemparkan batu pada mereka kupikir itu merupakan caraku melakukan perlawanan,apakah aku keliru? Apakah saya keliru menaruh respon sapaan orang-orangterhadapku?, bukan tanpa alasan saya melakukan hal tidak baik itu, akan tetapi karena akumerasa takut menggunakan orang-oranga asng disekelilingku, aku takut mereka akanberbuat jahat atau melukaiku, akan tetapi aku tekankan ini bukanlah sebuah pembelaanterhadap sikap burukku, karena aku hayati jauh menurut keramaian dan jauh daripehatian orang tuaku diusiaku yang masih dini, dan tak terdapat yang pernahmengajarkanku bagiamana caranya aku bersikap dan merespon orang lain.
Pagi itu hari Ahad, aku mencoret-coret tanah menggunakan ranting kayupohon jambu berdasarkan samping tempat tinggal tempat tinggal baruku ini, rantig kayau seukuranjari kelingking anak 4 tahun, kugambarkan burung garuda pancasila yg kucontekdari sebuah kitab kecil tipis, lusuh dan sudah lama yang niscaya aku nir perlumenceritakan mengenai isi kitab itu.
“yuki, lagimain?”
tanya seseorang dengan ramah
“pergi,pergi, aku lempar batu nih”
Akuberteriak-teriak dalam orang itu sambil melemparkan batu bata yg sudah pecah.
Berteriak-teriak dan melempar batupada orang-orang yang menyapaku menjadi kebiasaan baru yg tidak sadarkulakukan. Tentu, perbuatanku itu bukan perbuatan yg baik, aku tidak tahumengapa serta apa tujuan atas perlakuanku berteriak-teriak serta melemparkan batupada setiap orang yang menyapaku. Apakah hal ini disebabkan sang lingkungandahulu selama 4 tahun hidup ditegah apitan tebing-tebing serta hamparan sawah danhutan dan sporadis bertemu orang-orang selain keluargaku, hingga kemampuansosialku buruk? Akh, tunggu ini bukanlah sebuah pembelaan atas perbuatanburukku, saya masih menganalisis apa yang terjadi pada diriku.
Selain, melempari serta meneriaki orang-orang yg kuanggapmengganggu saya sangat sensitif dengan mereka, aku mudah menangis dengankeras-keras, sungguh memalukan memang. Jijik cita rasanya mengingat diriku sendiri.aish! Tapi merasa jijik saja nir cukup buat menghapus peristiwa masa lalu.
Titik-titik rintik hujan yg rintih ragu-ragu berjatuhan ke bumi,menimbulkan aroma tanah yg menyeruak damai dalam batas peraduan antara soredan malam, aku seketika terpental keluar pulang dari video dokumenter yangterjadi sekitar 18 tahun kemudian itu, aku bergegas tersadar dan menyeruput kopihangat yang bertengger dalam meja di hadapanku.
“Akh, bahkan aku sendiricukup memalukan menceritakan ini padamu, akh,...tapi ini masih jauh menurut ungkapanyang membawa sesak pada dadaku selama ini”
“yuki”
“Apakahkarena ini, aku membenci seseorang yang tidak saya ketahui, siapakah beliau? Apakah itu diriku sendiri? Ataukah ada orang lain?”
“Lanjutkansaja, ini baru setengah 7 malam”
Aku tumbuh normal layaknya anak-anak seusiaku, serta saya mulaimenyesuaikan diri menggunakan lingkungan keluargaku disini, nenekku yg supergalak, dan bibiku yg relatif sama galaknya menggunakan nenek. Tiada hari tanpabentakan mereka
“yuki!” bibiku berteriakmemanggil
“kau belum menyapu laman, aishapa saja yg kau kerjakan”
Bibiku sangat mengganggu bagiku,tapi setidaknya ada hal baik yang pernah beliau lakukan untuku dulu waktu kamimasih berada pada Sumatera sama-sama. Tapi ketika ini saya memendam kekesalampadanya. Dan inilah norma nenekku ketika memarahiku, karena saya memecahkanpiring atau ketika saya meminta uang jajan atau juga waktu saya tidak mencucipiring serta pakaian,
“mangkat saja kau, sini kubunuh kau,hidupmu hanya membuat repot saja”
Itulah kalimatnya padaku waktu marah seraya mengacug-acungkangolok pada anak 4 tahun yg amat ketakutan ini. Tapi tak perlu takut ini bukankisah pembunuhan nenek terhadap cucunya yang malang, neneku nir akanmembunuh cucunya semarah appaun,walaupun aku selalu ketakutan kepadanya.
Hari itu, rabu Bulan April tahun 2000, sekitar pukul 14.45 WIB,jangan kaget kubilang aku masih jangan lupa setiap detai masa laluku, terdengar erenbukan? Aku dipanggil neneku untukkesawah menemuinya, jalanan sawah kali ini cukup licin banyak jejak kaki parapetani yg membekas disepanjang jalan.aku sudah sampai menemui nenek
“terdapat apanek?”
“yuki,tambahkan air dalam nasi yg sedang pada masak di dapur, sedikit saja agar tidakterlalu keras nasinya”
Aku segera pulang kerumah serta masuk ke dapur dan segera memeriksanasi yg sedang di masak dan menambahkan sedikit air dalam nasi tersebut.akhirnya, matahari semakin merunduk dan meredupkan cahayanya perlahan, yahsudah sore ketika mengambarkan pukul 16.45 WIB, neneku pergi dan langsungmemeriksa nasi lantaran beliau mungkin lapar, akan tetapi apa yang terjadi, terdengar suarapanci jatuh menurut dapur, saya langung takut jikalau itu nenek yg melakukannyaberarati beliau murka padaku, aku harus bagaimana?
“Yuki, kenapa nasinya sebagai bubur misalnya ini?Kau mau melihatnenekmu mati kelaparan lantaran ulahmu? Kau mau membunuhku”
lagi-lagi kalimat kasar harus masuk ke pada gendang telingakuini, suaranya sangat keras dan kasar. Anak-anak, sekali lagi aku masihanak-anak yg hanya mampu menangis lalu lari mencari pelrlindungan ketikadibentak dan dimarahi, tapi kemana aku akan pulang? Di bawah pohon di dekatdanau, disana tempatku membuatkan kesedihan dalam sisi lain diriku sendiri yangkuanggap diriku ini merupakan sahabat yg setia untukku, mungkin kau tidak mengertiapa yg kukatakan, apabila sahih bgitu, biarkan saja ucapanku tadi.
***
Sekarang, saya punya teman, teman yang akan mendengarkanku bila akutakut, menghiburku saat aku sedih, akan tetapi saya belum ingin menceritakannyapadamu kini siapa temanku itu.
Wanita yang ada didepanku ini tersenyum kecut, dengan ekspresidatarnya, menjadi simbol betapa dia sangat kecewa atas sesuatu.
“Yuki, lalu, semenjak kedatanganmuke Jawa, tidak kah pernah pulang ke Sumatera sesekali menengok mamak danbapakmu?”
“itu yangakan kuceritakan padamu”.
Pagi hari, hari Ahad ke 2 bulan Desember tahun 2000, pukul 06.10WIB. Setahun sudah aku berada pada lingkungan baruku, tidak sekarang bukanlingkungan baru lagi, akan tetapi loka tinggalku dimana saya harus tetap tinggal. Akuterlalu jauh menceritakan yang tidak krusial ini, yah pagi ini hari liburseperti umumnya saya menggambar burung garuda pancasila ditemani kakeku, kakekuadalah pencari ikan dia sangat ganteng meskipun kulitnya telah mulai kisut, danlipatan dahinya sudah terdapat 4, relatif tua bukan? Tapi kakeku tetap kuat dantampan, hanya kakek yang tidak pernah memarahiku, selalu memberiku afeksi.
“yuki” panggil kakek padaku
“iya kek,kakek mau pergi ke Bengkulu akan tetapi sebelumnya kakek akan mampir kerumah mamakmu,kau mau ikut kesana beberapa hari buat bertemu mamak dan bapakmu?”
“benarkek?,..wah aku sangat ingin kesana, aku rindu dengan semua yang ada disana,haaaaahhhh aku bahagia sekali, kapan kita berangkat?”
“besok, kausiap-siap”.
Akhirnya, aku akan bertemu, mamak serta bapak, saya bahagia. Esok puntiba malam sudah berlalu aku dan kakek berangkat ke pelabuhan dengan membawatas biru tua yang agak lusuh bagian di dalamnya masih ada bontot, bontot adalahsebutan kami buat nasi bekal yang dibungkus menggunakna daun pisang, katanyasih biar nasinya nir cepat basi maka dgunakanlah daun pisang.
Kami segera masuk ke pada kapal yang telah bertengger di dermagamengisi penumpang sampai penuh. Perjalanan cukup lama , membuatku tertidur.dentuman bunyi kapal berbunyi mengindikasikan kami akan segera hingga. Sesampainyakami dirumah mamak serta bapak, betapa aku bahagianya bisa pulang kesini danmamak dan bapak telah menyiapkan satu lemari buah rambutan menyenangkan bukan,aku sangat senang butir rambutan. Sayangnya, tidak lama kakek perg melanjutkanperjalanan ke Bengkulu. Tapi tidak apalah, setidaknya aku mampu sedikit bernafaslega selama beberapa hari pada sini saya tidak mendengar bisingnya teriakan bibiku,menereamkannya neneku yg sedang murka .