MAWAR MERAH NOVITA RUMI CERPEN


BELAJAR PRAMUKA - Aku memandang mawar merahyang terdapat pada genggaman tanganku.
Dia berkiprah seiring tanganku yang pulabergetar. Ah, aku gugup, bunda. Anakmu gugup, mak . Aku khawatir apa yangsudah kupersiapkan matang-matang akan musnah berantakan hanya lantaran aku gugup.amit-amit, jangan sampai itu terjadi. Bunda, doakan aku .

Aku masih duduk pada kursi pada dalam cafebernuansa coklat yang memang seringkali saya kunjungi bersamanya. Entahlah akuterlalu semangat atau terlalu gugup, aku tiba satu jam lebih awal berdasarkan apayang kami janjikan. Menyiapkan mental untuk hal semacam ini ternyata tidakmudah. Bahkan meskipun kami telah beserta hampir tujuh tahun.

Kembali kupandang mawar merah yg kata orangadalah lambang cinta. Terlebih berwarna merah yg menambah kesan bahwa cintaini akan selalu membara. Ah, takhayul. Itu lelucon yg bahkan tidak lucu samasekali. Lalu kenapa aku membawa mawar merah bila aku bahkan nir percayadengan ‘istilah mereka’? Jawabannya: lantaran beliau percaya.

Dia orang yangsejak tersebut saya tunggu. Dia orang yg berhasil membuatku gugup 1/2 meninggal.dia yg selama hampir tujuh tahun ini sebagai gadisku. Dia merupakan Mawar.
Ya! Namanya pula Mawar. Sama misalnya apa yang kini tergenggam olehtanganku. Akan kugenggam pula Mawar dalam hidupku. Ah, doakan aku , ibu.hilangkan gugup sialan ini, jangan abaikan dia menghambat planning maniskumenggenggam Mawar. Gadis idaman kita, mak . Doakan anakmu ini.

Kualihkan pandanganku ke jam tangan yangmelingkar di pergelangan tangan kananku. “Seharusnya dia telah tiba.”gumamku. Kupandangi semua ruangan cafe ini. Kusapu perlahan dengan bolamataku yang Mawar bilang tajam. Berharap sosok yg kutunggu datang.

Nihil. Aku bahkan tidak menyadari jika akusudah duduk dua jam disini. Itu berarti, Mawar terlambat satu jam dari apa yangkami janjikan. Ah, bukan satu jam, akan tetapi lebih. Lantaran sampai kini saya masihbelum bisa menikmati kecantikannya yg menjadikanku candu buat rindu. “Ah,Mawar.. Dimana engkau , sayang?” Entah mengapa, aku mulai gelisah.

Baru saja saya berniat merogoh ponsel disaku celanaku, aku melihatnya memasuki cafe. Pandangannya menjelajah, tapidengan cepat dia menemukanku pada ujung ruangan, secepat dia melangkahkan kakimenghampiriku. Aku berdiri dan mengecup keningnya sesudah beliau telah terdapat didepanku.

“Hai, ini untukmu.” kataku sembari menyerahkanmawar merah yang kugenggam.
Dia tersenyum. Senyumnya adalah salah satu hal yg paling kuidamkan.menyenangkan sekali bisa melihatnya tersenyum seperti itu. Aku tenang beliau tidakapa-apa.
“Maafkan aku , Red. Aku tadi telah memberitahumu jika akan telat. Apa kaumembaca pesanku? Aku meneleponmu, tapi kau tak mengangkatnya, kukira kau murka .maafkan aku .” katanya.
Kulihat penyesalan yg pada di matanya. Ah, kau tidak wajib minta maafseperti itu, sayang. Itu bukan masalah akbar. Gumamku pada hati. Akumemberikan senyum termanis yang kupunya, meyakinkannya jikalau saya sama sekalitidak marah.

Aku mengeluarkanponselku serta melihat banyak sekali notif panggilan serta pesan darinya. Bodohnyaaku lantaran memakai mode silent dan nir mengetahui pesan sebanyak ini darinya.sudahlah, yg penting dia terdapat di depanku kali ini.
Aku memanggil pelayan serta memesan satu coklat panas untukku serta vanila latteuntuk Mawar. Aku memahami benar apa yang beliau suka , apa yang selalu dia pesan selamakami masuk ke cafe ini.

“Kamu masih suka vanila latte, kan?” candakubegitu pelayan meninggalkan kami, lantaran aku memesan tanpa persetujuannya.
Dia nir menjawab, akan tetapi aku melihat senyum dan anggukan ringannya. Ah, akumasih saja gugup. Aku sangat ingin mengatakannya. Tapi entah mengapa lidahkukelu. Sulit sekali buat mengatakan sesuatu, menyebalkan. Aku menghela napaspanjang, berusaha sedikit menghilangkan rasa gugup. Semoga sanggup hilang.

Kami masih membisu. Aku tidak mengerti mengapakami saling membisu. Kalau saya, jelas sekali saya sangat gugup. Aku pikir, beliau tahuakan kegugupanku. Memalukan sekali. Kalau beliau, apa yang terjadi dengannya?Kenapa beliau hanya membisu?

Pelayan tiba membawakan pesanan kami. Keduagelas diletakkan pada depanku. Hei, kenapa di depanku? Kenapa tidak pada depanMawar? Ah, mungkin pelayan ini nir memahami siapa memesan apa lantaran tersebut hanyaaku yang memesan. Yah, tidak apa. Aku menggeser gelas vanila latte ke arahMawar. Ia lagi-lagi hanya tersenyum.

“Mawar..” sapaku. Mawar mendongakkan kepalamenatapku. Aku menatap bunga mawar merah yg masih digengganggamnya di atasmeja. Pandanganku beralih ke gaun yg beliau kenakan. Ia mengenakan gaun merahcerah, lebih cerah berdasarkan rona bunga yang ada di tangannya. Dia terlihat sangatcantik. Oh, tidak. Dia selalu terlihat manis. Aku menghela napas panjang. Akubenar-benar ingin mengatakannya.
“Kamu kenapa, Redy?” tanya Mawar sesudah sekian lama saya diam. Ah, saya terlalugugup.
“Oh tidak, saya hanya gugup.”
“Kenapa?”
Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Tanganku merogoh saku, dimana benda itukusembunyikan semenjak tersebut. Benda yang ketika kupegang akan menciptakan gugupkusemakin parah. Ah, sialan. Menyebalkan sekali momment ini.

Kukeluarkan benda yang jua berwarna merahini, kubawa beliau ke pangkuanku. Berharap Mawar tidak melihatnya, atau belummelihatnya. Kubuka benda ini, aku menunduk melihat isinya yg berkilau latif.
“Ada apa, Red?” Aku menatap Mawar. Wajahnya yg menyiratkan rasa bertanya-tanya itusangat lucu. Aku tersenyum dan kukeluarkan benda yg telah terbuka dipangkuanku. Memamerkan isinya yg indah.
“Maukah kamu sebagai milikku seutuhnya, Mawar?” Pandanganku tidak lepas dariwajahnya. Jelas, air muka kaget terlukis kentara di wajahnya. Aku berharap iabahagia menggunakan tawaranku ini.
Mawar masih diam. Pandangannya bergantian menatapku dan benda yg masihkugenggam ini. Ah, sialan. Bahkan waktu saya telah berani melawan rasa gugupkuuntuk mengatakannya, rasa gugup ini terdapat. Aku gugup mendengar jawabannya.menyebalkan.

Aku melihatnya tersenyum, matanyaberkaca-kaca. Aku rasa beliau terharu dengan tawaranku. Aku rasa beliau akan menerimatawaranku. Kami akan bersama. Selamanya.
“Sudah niscaya aku mau, Red.”
Napasku tercekat sesaat mendengar jawabannya. Oh Tuhan, saya sangat bahagia.bunda, telah kugenggam Mawar kita. Bantu saya menjaganya. Bantu akumenjadikannya taman yg latif, ibu. Bantu saya berdasarkan surga .

Aku memegang benda berkilau yg masih didalam kotaknya yang berwarna merah. Tapi, ujung mataku menangkap perhatianlain. Ponselku berkedip. Aku baru jangan lupa, saya masih memakai mode silent,jelas beliau hanya berkedip tanpa nada. Bahkan tanpa getar. Aku menatap layarponselku, ada panggilan dari angka tidak dikenal. Aku menatap Mawar, memintaizinnya buat sejenak mengalihkan perhatianku darinya. Dia tersenyum danmengangguk ringan.

Aku menjawab serta menyapa lawan bicaraku diseberang sana. Entah siapa ini, yg kentara menurut suaranya ketika membalassapaanku, beliau pria.
“Ini dengan Pak Redy?”
“Iya, maaf aku sedang berbicara dengan siapa?”
“Saya Tubagus menurut kepolisian daerah Yogyakarta. Maaf sebelumnya, apakah Andamengenal saudari Mawar Arum?” Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya.kutatap Mawar yang masih pada depanku, beliau tengah memainkan bunga mawar merahpemberianku. Wajahnya hening sekali. Ada apa ini?
“Iya, aku mengenalnya, dia terdapat bersamaku kini , terdapat yang mampu aku bantu?”balasku. Aku mengalihkan pandangan menurut Mawar.

“Tidak mungkin, pak. Saya menghubungi bapak karena ingin memberi berita kalausaudara Mawar teman bapak mengalami kecelakaan. Dia sekarang sedang berada dirumah sakit.” Mataku terbelalak mendengar ucapannya, secepat mungkin akumenoleh ke arah Mawar, memastikan jika dia terdapat bersamaku. Aku semakin terngangamendapati tidak terdapat siapa-siapa di hadapanku. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.
Segera aku bertanya dalam lawan bicaraku. Mengorek keterangan tentang Mawar, aku inginmemastikan kalau bukan Mawarku yang polisi itu maksud. Jangan Mawarku.


Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku, akusegera ke luar dari cafe ini serta bergegas menuju ke tempat tinggal sakit yang terdapat sudahpolisi sebutkan.
Aku menginjak gas mobilku pada-pada. Berusaha secepat mungkin hingga ketujuan. Jantungku berdegup kencang. Aku khawatir, saya takut. Sepertinya merasagugup lebih baik dibandingkan harus merasakan takut serta khawatir yang teramatsangat ini. Tiba-tiba saja aku menginginkan kegugupanku pulang. Sialan.pikiranku berantakan. Aku masih saja berharap, bukan Mawarku yg dimaksudpolisi itu. Bukan! Pasti bukan! Tapi, terdapat berapa ‘Mawar Arum’ di kota ini? Adaberapa ‘Mawar Arum’ yg mengenalku? Yang kukenal? Ada berapa ‘Mawar Arum’ yangmenyimpan nomorku? Ah, brengsek. Aku nir bisa mengontrol berpretensi sialanini.

Sampai di tujuan, aku ke luar kendaraan beroda empat danmenghampiri meja receptionist. Menanyakan pasien bernama Mawar Arum. Petugasberhijab ini memberitahuku jika memang benar ada seseorang pasien bernama MawarArum yang baru masuk lebih kurang 1/2 jam yang kemudian. Ia ada pada UGD. Oh, Tuhanjangan Mawarku. Jangan!

Aku berlari menuju UGD serta melihat ada tigapolisi yg berdiri pada depan ruangan. Kuhampiri meraka dan memperkenalkan diri.polisi dengan jaket kulit hitam yang mengaku bernama Tubagus dan meneleponku.sungguh, aku tidak peduli siapa yg meneleponku tersebut, aku hanya peduli siapayang ada pada pada ruangan terkutuk di hadapanku ini.
Polisi lain, yg membawa catatan mini *sempat menjelaskan namanya, hanyasaja, aku sahih-benar tidak peduli* mengungkapkan padaku jikalau Mawar Arum, ketikadibawa ke Rumah Sakit telah pada kondisi sangat kritis.
“Mobilnya tertabrak sebuah truk menurut belakang. Terseret beberapa meter dannaasnya, mobilnya berhenti sempurna di tengah perempatan dan tertabrak berdasarkan arahkanan sang mobil lain. Mobil teman Anda pulang terseret beberapa meter.”
Aku nir memahami harus berkomentar apa, telingaku terasa panas mendengarpenuturan polisi. Tidak terbayangkan bagaimana sakitnya jika saya berada diposisi Mawar. Tuhan, selamatkan Mawar. Jangan ambil dia secepat ini. Jangansekarang, Tuhan.

Entah telah berapa usang saya menunggu ruangansialan itu dibuka. Demi Tuhan, lebih baik saya menunggu menggunakan rasa gugupkubeberapa jam yang kemudian daripada harus menunggu dengan perasaan takut dankhawatir sialan ini.
Aku sibuk menggunakan pikiranku sendiri. Tidak memerhatikan polisi-polisi yangmenemaniku disini. Ah, mereka nir menemaniku. Mereka mungkin saja membutuhkanlaporan tentang keadaan korban. Akan terlihat kurang kerjaan sekali merekakalau permanen menunggu hanya untuk menemaniku.
Aku menghambur mendekati ruangan begitu pintu ruangan sialan itu terbuka.segera kubombardir dokter menggunakan pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimanakeadaan Mawar. Dokter diam, dia nir menjawab hingga akhirnya saya membisu.
“Maaf, pendarahan pada kepalanya relatif parah serta dalam. Kami telah berusaha.”
Aku merasa duniaku hancur runtuh seketika. Tidak mungkin. Tadi dia datang kecafe, kan? Tadi dia terdapat di depanku. Mungkin saja dia bukan Mawarku, mungkin sajatadi Mawar pergi ke toilet tanpa sepengetahuanku. Mungkin saja… mungkin saja…ah, sialan.

Aku masuk ke dalam ruangan mengerikan ini.mataku menangkap sosok tertutup selimut yang terbaring kaku. Langkahku lemahsemakin mendekat ke tubuh itu. Kubuka sedikit penutup kepalanya. Pandangankumengabur begitu aku melihat wajah siapa yang sedang ada di depanku.
Air mataku mengalir. Tuhan nir memihakku. Dia memetik satu-satunya Mawarku.mengambil Mawar yg baru akan kupupuk. Mawar yang baru saja ingin kujadikanbukan hanya sekuntum. Tuhan menginginkan Mawar yang kuinginkan.
Aku nir menyadari polisi-polisi tadi masuk. Tiba-datang saja mereka telah adadi sampingku. Mereka memberikan barang-barang Mawar kepadaku. Tapi, aku masihingin menikmati paras Mawar, nir kuhiraukan ucapan polisi-polisi ini. Akutengah berduka. Pandanganku masih menatap lekat wajah Mawar. Sampai akhirnyamereka pulang.

Kubuka lebih poly selimut yg menutupitubuhnya. Tenggorokanku tercekat begitu melihat gaun merah yg ia pakai. Gaunyang telah sedikit rusak. Gaun yg kulihat beliau kenakan saat beliau tiba kecafe. Aku tidak mengerti. Benar-sahih tidak mengerti.
Kualihkan lagi pandanganku ke wajahnya. Tapi, mataku berhenti berkedip ketikatiba-datang terdapat bunga mawar merah serta kotak cincin pada samping ketua Mawar. Bungayang tersebut sempat digengamnya, bunga yg tadi kuberikan untuknya. Dan cincinyang tersebut saya tinggal begitu saja di atas meja cafe.

Cerpen Karangan : Novita Rumi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel