SENJA KELABU CERPEN SEDIH SAD STORY


Aku 22 tahun. Dan gadis itu 20tahun.
Gadis itu akan berdiri di pinggir jembatan Sungai Gamping sempurna dalam pukul limasore.

Kedua tangannya mencengkram erat pembatas jalan, seolah-olah iamembutuhkan pegangan buat berpijak. Sekian dtk berlalu, namun tak kutemuigerakan menurut gadis itu. Ia permanen membisu, menatap lurus langit barat yangberhiaskan warna jingga. Deru tunggangan yang berlalu-lalang pada belakangnya samasekali tidak beliau hiraukan. Seolah dia hanya sendiri disana, menggunakan dunia yang iaciptakan sendiri. Tanpa gadis itu sadari, dunia khayalnya itulah yangmembuatnya misalnya ini. Menutup diri menurut hiruk-pikuk kehidupan. Menjelmamenjadi manusia hayati namun membisu layaknya patung.

Aku mendesah tak kentara.setengah jam telah saya duduk pada warung tenda di seberang jalan. Sialnya, akuhanya sanggup mengamati gadis itu tanpa sanggup menjamah global khayalnya. Jikadiperbolehkan, aku ingin menemaninya melepas senja. Syukur-syukur mampu menyeruakke pada dunianya. Sayangnya, aku tak berhak akan itu. Karena sedari awal akusudah menghipnotis diriku buat tidak mencampuri urusan gadis itu. Aku hanya harusmengantarnya melepas senja. Ya, itu saja. Tetapi terasa menyakitkan bagiku.

“Mas, itu temannya ngapain? Dariseminggu yg lalu kok berdiri pada pinggir jembatan terus?”
“Tak apa”.
Sesingkat itu jawabanku dalam oleh pemilik warung. Kulihat pemilik warungtersebut mencebikkan bibir pertanda tak puas dengan jawabanku. Biarlah. Aku takberniat menceritakannya dalam siapapun. Lagipula, apa yang harus kuceritakan.
Ya. Sudah semenjak seminggu yang kemudian saya menemani gadis itu disini. Ah, lebihtepatnya mengantarkannya. Sebab gadis itu memintaku untuk membiarkannya sendiridi pinggir jembatan.

“Aku ingin sendiri.”

Itu yg dikatakannya waktu aku mengutarakan niatku buat menemaninya dipinggir jembatan. Setidaknya hanya sekedar berdiri, tidak mengapa. Tetapi sekalilagi, dia melarangku. Jujur, aku tak tega membiarkannya tersuruk pada pada sepi.namun apa boleh buat jika itu yg diinginkannya.

Aku menyesap kopi yg tersisa dicangkirku. Setelah menaruh sejumlah uang pada pemilik warung, aku beranjakberdiri. Jam sudah memberitahuakn pukul 6 petang. Matahari telah tergelincir diujung barat. Meniggalkan semburat jingga yg mulai terlihat samar-samar karenatertutup sang gelapnya langit menjelang malam.

Aku wajib segera membawa gadisitu pergi sebelum dinginnya malam membuatnya menggigil. Kakiku melangkahmenyeberangi jalan. Kini saya telah berdiri di sampingnya. Meskipun wajahnyatertutup oleh rambut panjangnya yang tergerai, namun aku tahu fokusnya tertujupada bantaran sungai, entah apa yg diamatinya. Sepertinya gadis ini belummenyadari keberadaanku.

“Ayo pulang…” suaraku tertelan sang gemuruh arus sungai. Tetapi relatif terdengaroleh pendengaran gadis di sampingku.
Gadis itu menoleh. Hatiku mencelos ketika mendapati wajahnya yang tampak pucat.sorot matanya yg umumnya berbinar sekarang berubah redup. Yang kukira tatapanrindu kini berubah sendu.

“Dia niscaya pulang, bukan?”

Pertanyaan yang sama misalnya enam hari terakhir dan pada waktu yang sama pula.pukul enam petang menit ke 5 dtk ke empat. Dan jawaban yang kuberikantetap sama. Seulas senyum tipis yang kuharap sanggup menenangkannya.

Tangan kananku merengkuhpundaknya yang tampak ringkih. Gadis itu diam, dari, saat aku menggiringnyamenuju loka dimana motorku terparkir. Aku naik ke atas motor matic warnaputih milikku. Sekali lagi, gadis itu menatap langit barat yang sudahsepenuhnya berubah gelap. Kudengar helaan napas berat dari gadis itu. Iamenatapku, mengisyaratkan supaya saya memperbolehkannya buat tinggal sebentarlagi. Tetapi saya menggeleng menggunakan senyum hangat yg terpetak di bibirku. Akumenggedikkan daguku ke jok belakang. Gadis itu memberengut, namun akhirnya menurut.

Gadis itu adalah juniorku sewaktukuliah. Kami sama-sama mengambil jurusan Psikologi. Kami berdua begitu dekat.tampak misalnya abang serta saudara termuda. Aku memahami banyak mengenai beliau. Apa kebiasaannya,apa yang beliau senang dan tak dia senang, bahkan saya tahu siapa kekasihnya. Priaberumur duapuluhtiga tahun berdasarkan Fakultas Tekhnik Geologi. Keduanya sudahmenjalin hubungan selama dua tahun. Gadis itu sangat mengasihi kekasihnya. Iayakin bahwa laki-laki itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Seperti itu harapanorang-orang yg percaya akan cinta sejati. Hingga suatu hari, tepatnyaseminggu yg kemudian, laki-laki tadi meninggalkan gadisnya pada pinggir jembatan SungaiGamping. Aku menyaksikan sendiri bagaimana hancurnya gadis itu waktu sosokyang ia cintai melenggang pulang meninggalkannya sendirian pada pinggir jembatan.membiarkannya menangis miris di bawah langit senja. Aku menghampiri gadis itu,mengusap pelan lengannya, berusaha meyakinkan bahwa seluruh akan baik-baik saja.

“Aku berjanji akan menunggunya disini hingga beliau kembali.” Ikrarnya dalam langitsenja.
Dalam hati saya berjanji buat mengembalikan binar pada ke 2 matanya.

Aku 27 tahun. Dan gadis itu 25tahun.

Lima tahun berlalu dan rutinitas masih terus berlanjut. Sama misalnya lima tahunterakhir, gadis itu akan berdiri di pinggir jembatan Sungai Gamping tepat pukullima sore. Sejak dua tahun yg kemudian, gadis itu acapkali mengenakan pakaian serbahitam. Aku tidak mengerti mengapa. Mungkin hitam mendeskripsikan suasana hatinyayang selalu kelabu.
Aku permanen setia mengantar gadis itu serta menuggunya hingga matahari kembalikeperaduan. Tak ada alasan buat meninggalkannya. Tak terdapat alasan juga untuktetap bertahan pada sampingnya. Bisa saja aku berhenti menemaninya dan menggelutipekerjaanku menjadi seseorang Psikolog. Aku sendiri tidak mengerti mengapa akumemilih bertahan. Padahal seluruh yg kulakukan tak terdapat untungnya bagiku.mungkin lantaran aku kasihan pada gadis itu. Atau mungkin lantaran beliau juniorkusewaktu kuliah. Atau justru karena- Ah, lupakan.

Kini warung tenda yang biasakusinggahi telah pindah entah kemana. Semenjak saat itu, saya menentukan duduk diatas motor sembari mangamati gadis itu yang termenung di pinggir jembatan. Akumenyulut putung rok*k. Kuhisap dalam-pada lantas menghembusannya perlahan.asap rok*k membumbung pada depanku, membangun aroma tak sedap yang menggangguindra penciumanku. Belakangan ini pikiranku dipenuhi sang pertanyaan-pertanyaanyang tak kuketahui jawabannya. Ini seluruh disebabkan oleh kebersamaanku bersamagadis itu yang terasa tak lagi sama. Ada yang berbeda waktu aku memboncengnya,saat tangan mungilnya melingkari perutku dan waktu aku menatap jauh ke dalammatanya. Akhirnya saya lari dalam rok*k. Berharap rok*k mampu sedikitmenenangkanku.


Langit berubah mendung. Sekiandetik kemudian air berjatuhan berdasarkan langit. Tak terduga, hujan deras melandatiba-tiba. Aku membuang puntung rok*kku serta segera merogoh payung yangkusimpan pada jok pada motor. Tanpa berpikir panjang aku berlari menyeberangijalan menuju gadis itu. Lantaran saya yakin sekalipun hujan tak kunjung berhenti, gadisitu akan permanen berdiri disana sampai matahari sahih-sahih tenggelam. Akumerutuki pendiriannya yang justru sanggup membuatnya jatuh sakit.

“Sampai kapan kamu akan terusseperti in?” tanyaku sambil memayungi dirinya serta pula diriku.
Gadis itu bungkam, tak menjawab. Aku mendesah kasar atas keterdiamannya.
“Dengar…”
Aku memutar tubuhnya menghadapku. Kupegang erat bahunya serta kutatap lembutkedua matanya.
“Dia mungkin lupa dengan janjinya buat kembali. Jadi kumohon berhentilah untukmenunggunya. Kau hanya menyiksa dirimu sendiri.”
Gadis itu menggeleng. Tatapan matanya tampak kosong. Lingkaran hitam terlukisdi kantung matanya. Oh, betapa mengenaskan keadaan gadis itu.
“Dia niscaya pulang.”

Setelah menyampaikan demikian, gadisitu balik menatap langit barat. Eloknya semburat jingga tertutup oleh awanmendung yang mendominasi. Lagi-lagi gadis itu tampak asyik dengan dunianyasendiri. Mungkin saja beliau tengah mengenang kebersamaan bersama kekasihnya dimasa kemudian. Huh, ini membuatku cemburu. Tunggu, apa tersebut yang kubilang? Cemburu?
“Mungkin takdirmu bukan beserta orang yg selalu engkau tunggu. Tapi bersamaorang yang selalu menunggumu.”
Aku tak mengerti sahih apa yang aku ucapkan. Yang jelas kalimat itu meluncurbebas dari bibirku tanpa kukomando. Mungkin inilah jawaban atas berbagaipertanyaan yg menghantuiku. Maafkan aku yang tak bisa mempertahankan predikat‘Kakak-Adik’ yang terlanjur inheren pada kita, ujarku dalam hati.
Gadis itu menoleh. Tetap menggunakan tatapan kosongnya. Tampak tak ada riak samasekali pada wajahnya.

“Berhentilah menunggunya. Lihat aku . Aku yg selalu mencintaimu.”
Aku mencintai gadis itu. Ya, itulah satu-satunya jawaban yg sempurna.
Di bawah langit senja, aku mengutarakan perasaanku. Berharap rasa itu tak hanyasekedar menjadi milikku.
“Aku…”
Dalam sekejap matanya yang tampak redup, berbinar senang . Namun sayangnyabukan aku yg membentuk binar di kedua matanya. Bagaikan tersambar petir,gadis itu eksklusif berlari menubruk tubuh pria yang entah semenjak kapan berdiridi belakangku
“Kau pulang…”
Dengarlah, nada suaranya terdengar senang . Seolah beban berton-ton telahterangkat berdasarkan pundaknya.
“Maaf telah membuatmu menunggu terlalu lama .”


Pukul enam petang mnt ke limadetik ke empat. Tak ada terdapat lagi pertanyaan itu. Sebab kini pertanyaan yangselalu gadis itu tanyakan terjawab sudah. Penantiannya berujung indah. Pria itudatang lagi. Menuntut pulang cintanya yang belum selesai. Tampak lupajika dia pernah mencampakkan gadisnya.
Inilah jawaban yg sesungguhnya. Aku wajib rela melepaskan gadis itu, bahkansebelum aku sempat memilikinya. Ini adalah akhir kisah yg kunikmati alurnya,namun kubenci akhirnya.


Di bawah guyuran hujan, akumeratapi senja yg berubah kelabu. Selayaknya hatiku yg menangis pilu.

Cerpen Karangan : FikaLiv
Sumber : cerpenmu.com/penulis/fikaliv

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel