DERITA NELAYAN CANTRANG

DERITA NELAYAN CANTRANG - Terhitung telah dua kali audiensi ke pihak dkp provinsi jawa tengah dilakukan, hal ini dikarenakan poly nelayan jawa tengah yg terkena dampak dari pelarangan tsb. 

Secara langsung Persoalan ini mulai muncul seiring dgn dikeluarkannya dua peraturan sekaligus oleh  dr (hc) susi pudjiastuti selaku menteri kelautan perikanan, dalam tahun baru2019 (masing-masing permen kp no. 1 dan  2 tahun2019). 

Pro-kontra pun bermunculan. Penolakan terutama hadir asal sebagian secara umum dikuasai nelayan dalam wilayah pantai utara jawa tengah yang notabene memang menjadikan atau terdampak eksklusif menggunakan pelarangan indera tangkap sejenis cantrang menjadi indera  tangkap utama atau primer mereka. 

Berdasarkan data yg disampaikan kepala dinas kelautan dan  perikanan (kadis kp) provinsi jawa tengah, setidaknya terdapat 1.578 dari total 24.000 armada kapal tangkap yg terdapat dalam jawa tengah. 

Jumlah tsb bukanlah jumlah yg sedikit dan  tentu butuh porto yang nir murah, apabila harus dilakukan konversi ke alat tangkap lain. Padahal, alih-alih melakukan konversi indera tangkap, nelayan masih wajib   menanggung beban hutang dari pembuatan kapal dgn indera tangkap yang dinyatakan terlarang tsb. 

Lumrah Jika beragam unjuk rasa pun ramai digelar, bahkan berdasarkan pengakuan pak bambang (ketua   front nelayan bersatu), tidak kurang berasal 2 kali pihaknya bertemu eksklusif menggunakan bu menteri kp, bahkan yang terakhir dihadiri bapak presiden secara pribadi. 

Hanya saja berasal 2 pertemuan yang dilakukan, nir tercapai titik temu menjadi akibatnya pemerintah tetap dgn kebijakannya, meskipun akhirnya ada batas toleransi penggunaan alat tangkap yang dihentikan khusus buat daerah jawa tengah sampai 31 desember2019 serta diperpanjang lagi selama enam bulan atau hingga juni2019. 

Meskipun sudah diperpanjang hingga enam bulan ke depan, nelayan (terutama nelayan pantura) tetap saja merasa belum siap karena ideal-nya batas waktu toleransi tsb sekurangnya 3-5 tahun (bahkan ada yg menyatakan 10 tahun) sejak ditetapkanya kebijakan. 

Lantas, bagaimana?

Sebenarnya secara prinsip perlindungan, pelarangan beberapa indera tangkap yg tak jarang disebut cantrang ini tidaklah keliru  . Hanya saja, setidaknya terdapat tiga hal yg menjadi catatan serta  rekomendasi bagi pemerintah terkait dilematika yang terjadi. Pertama adalah soal pengenalan yg belum optimal serta masa transisi yang dirasa nir ideal. Terlebih bagi masyarakat yg memang menggantungkan hidupnya menjadi nelayan, pelarangan tsb tentu sangat berpengaruh terahadap kondisi ekonomi mereka. 

Banyak diantaranya yg bahkan menentukan menganggur dan  beralih profesi, lantaran nir sanggup membiayai porto konversi alat tangkap. Hal ini menjadi catatan berfokus bagi pemerintah terutama kkp, supaya dalam kebijakan mendatang sanggup lebih mengoptimalkan pengenalan dan memperhitungkan masa transisi yg diperlukan sampai kebijakan tsb dapat dijalankan secara utuh.

Ke dua, adanya perbedaan pandangan terkait alat tangkap cantrang yg dimaksud sang pemerintah dgn apa yang nelayan tidak jarang pakai. Ini yang menarik, klaim bahwa alat tangkap yg digunakan nelayan Mengganggu dan  termasuk cantrang, ternyata ditolak oleh nelayan sendiri dan bahkan secara realitas sudah dibuktikan perbedaannya melalui pengujian pribadi yg difasilitasi pihak dkp provinsi jateng. 

Menariknya, pemerintah tetap bersikukuh dgn kebijakannya serta  bahkan beberapa kali sempat dilakukan penangkapan secara langsung terhadap nelayan yg masih menggunakan indera tangkap cantrang yg mereka maksud. 

Sang karena itu, sebagaimana yang sudah dituliskan dalam bagian rekomendasi berasal kajian yang dirancang (kajian mampu ditinjau dibit.ly/kajianbemfpikundip2015 ) bahwa perlu adanya standarisasi ulang indera tangkap yang sinkron sni supaya nir terjadi perbedaan persepsi terkait alat tangkap yg dilarang tsb. 

Ketiga, terkait block grant ketika nir melaut dan  subsidi konversi alat tangkap yang dirasa masih sangat minim Bila nir dikatakan nihil. 

Beberapa nelayan telah menerima donasi kapal baru dgn alat tangkap yg diperbolehkan, namun jumlah tadi masih sangat jauh dari total keseluruhan nelayan yang terkena akibat pelarangan. 


Padahal, block grant dan  subsidi biaya konversi tersebutlah yang sebenarnya dibutuhkan sang nelayan. Lantaran, buat kapal dalam bawah 30 gt saja butuh kurang lebih 1,5-2 miliyar, buat porto konversi dan  perubahan konstruksi kapal. 

Belum lagi, beberapa nelayan juga masih wajib melunasi hutang ke bank, waktu pembuatan kapal dgn alat tangkap yg sekarang  . Sebenarnya, duduk masalah yg ketiga ini juga mampu sedikit dihindari dgn membicarakan waktu yang relatif bagi nelayan buat mengumpulkan porto  konversi alat tangkap, galat  satunya memakai memperpanjang masa transisi penggunaan indera tangkap yg tidak boleh. 

Kini  , nelayan pun (pulang ) berharap-harap cemas, karena batas toleransi penggunaan telah selama enam bulan belum dirasa nisbi buat beralih ke alat tangkap yang diperbolehkan, sedangkan mereka masih belum mampu memenuhi kebijakan tsb. Padahal, kita tentu tahu bahwa Jika nelayan nir melaut, maka tidak akan masih ada yang mampu mereka bawa ke darat, meskipun hanya untu menghilangkan rasa lapar asal anaknya dalam rumah. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel