Makalah Keadilan Para Sahabat
Thursday, May 2, 2019
Edit
Makalah
KEADILAN PARA SAHABAT
A.
Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber
pokok penetapan hukum dalam Islam. Hadits Nabi telah ada sejak awal
perkembangan Islam , adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi.
Hadits dapat disebut juga dengan Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber
atau didasarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, atau
taqrir-nya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan
hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Pada zaman sahabat, hadits - hadits
Nabi disampaikan dari mulut ke mulut. Pada masa itu mereka belum terdorong
membukukannya dan kekuatan hafalan sahabat pun telah diakui sejarah. Pada masa
setelah sahabat adalah para tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang penyampaikan
hadits- hadits nabi dan mereka mulai membukukan hadits – hadits agar tidak
hilang dari perubahan zaman.[1]
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in dalam meriwayatkan hadits sangat adil dan tidak ada pertentangan
diantara meraka pada masa hidup meraka. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan
dibahas tentang keadilan para sahabat , tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam
meriwayatkan dan mengajarkan hadits pada orang islam.
B. Pembahasan
Sebelum kita masuk dalam pembahasan
materi kita . kita harus mengetahui apa itu sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in
. sehingga semua mengerti dan jelas dalam membuat sebuah makalah sehingga
pembaca mengerti apa maksud dari Makalah yang kami buat .
a.
Pengertian
Sahabat
Kata sahabat menurut lughah jamak
dari sahib artinya yang menyertai. Menurut para ulama yang
disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam
keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka, orang yang
bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah
dipandang sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi
tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah
Nabi wafat, seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah
ia beriman untuk menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di Madinah, Nabi
telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib,
mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Ditandaskan oleh al-Hafidl, bahwa
pendapat yang paling shahih yang telah diketemukannya bahwa arti sahabat adalah
orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam
islam, baik lama ia bergaul dengan Nabi atau tidak, baik dia turut berperang
bersama Nabi atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi meskipun tidak dalam satu
majelis dengan Nabi, atau dia tidak dapat melihat Nabi karena buta.
Menurut Usman ibnu Shalih, yang
dikatakan sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi, walaupun dia tidak dapat
melihat Nabi dan ia memeluk Islam semasa Nabi masih hidup.
Sebagian 'ulama Ushul berpendapat
bahwa yang dimaksud sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasul dan lama
pula persahabatannya dengan beliau walaupun tidak meriwayatkan hadits dari
beliau.[2]
Menurut al-Khudlari menerangkan
dalam Ushul Fiqhnya: "tidak dipandang seseorang, menjadi sahabat,
melainkan orang yang berkediaman bersama Nabi satu tahun atau dua tahun". Tetapi
an-Nawawi membantah faham ini dengan alasan kalau yang dmaksud sahabi yaitu
orang yang menyertai Nabi satu atau dua tahun, tentulah tidak boleh kita
katakan Jarir al-Bajali seorang sahabat.
Menurut bahasa, sahabat (jama’
dari shahib) berarti yang menyertai atau yang menemani Sedangkan menurut istilah,
ulama’ berbeda pendapat yaitu:[3]
1.
Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa sahabat ialah :“Orang yang bertemu Rasulullah saw
dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup, dalam keadaan
Islam dan beriman.”
2.
Ibnu Hajar dalam kitab Al Ishabah jilid 1 : 4-5 menerangkan bahwa
sahabat ialah orang Islam yang bertemu dengan Nabi saw dan mati dalam memeluk
Islam.
3. Al
Jahidl berpendapat bahwa sahabat ialah orang Islam yang berjumpa dengan Nabi,
lama persahabatannya dengan Nabi dan meriwayatkan hadis dari beliau.
Adapun pengertian sahabat secara umum yang telah
didefinisikan oleh para ulama’, yaitu :
“Sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi,
beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam”.[4]
b.
Pengertian
Tabi’in
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’
dari kata tabi’ yang artinya pengikut. Menurut istilah, tabi’in adalah orang
yang pernah bertemu dengan sahabat, iman kepada Nabi saw dan meninggal dalam
keadaan Islam. Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan adanya
persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan
tabi’in tidak cukup hanya pernah melihat sahabat, sebagaimana yang dinamakan
sahabat cukup pernah melihat Nabi saw saja. Yang membedakan adalah keagungan
dan kebesaran dari melihat Nabi saw. Namun menurut kebanyakan ahli hadis, yang
dinamakan tabi’in ialah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan beriman
dan meninggal dunia dalam keadaan beriman meskipun tidak pernah bersahabat
dengan sahabat dan tidak pula pernah meriwayatkan hadits dari sahabat.[5]
c.
Pengertian
Tabi'ut tabi'in
Tabi'ut
tabi'in atau Atbaut Tabi'in (bahasa Arab: تابع التابعين)
adalah generasi setelah Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in, adalah orang Islam teman sepergaulan dengan para
Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut tabi'in adalah di antara tiga kurun generasi
terbaik dalam sejarah Islam, setelah Tabi'in dan Shahabat. Tabi'ut tabi'in
disebut juga murid Tabi'in. Menurut banyak literatur Hadits : Tab'ut
Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada Tabi'in
dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga yang menulis bahwa Tabi'in
yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya. Karena Tabi'in yang
terahir wafat sekitar 110-120 Hijriah
Cara untuk mengetahui bahwa
seseorang itu adalah sahabat, ialah dengan kriteria sebagai berikut :[6]
·
Adanya
khabar Mutawatir yang menyatakan bahwa orang itu adalah sahabat. Contoh :
Khulafa’ur Rasyidin
·
Adanya
khabar yang masyhur tetapi belum pada tingkat mutawatir yang menyatakan bahwa
orang itu adalah sahabat. Contoh : Dlammah ibn Tsa’labah dan Ukasyah ibn Nisham
·
Diberitakan
atau diakui oleh sahabat yang terkenal kesahabatannya. Contoh :Hamamah ibn Abi
Hamamah Ad-Dausi yang diakui kesahabatannya oleh Abu Musa Al-Asy’ari
·
Adanya
keterangan dari Tabi’in yang tsiqah (kepercayaan) bahwa orang itu Sahabat
·
Pengakuan
sendiri dari orang yang adil (Islam, baligh, berakal, tidak mengerjakan
dosa-dosa kecil apalagi dosa besar yang dapat menodai agama dan sopan santun,
serta sejahtera dari sesuatu yang dapat mengurangkan kesempurnaan dirinya)
bahwa dirinya adalah seorang sahabat. Pengakuan dinyatakan sebelum seratus
tahun kewafatan Rasulullah. Apabila pengakuan tersebut dilakukan setelah
seratus tahun kewafatan Nabi saw, maka pengakuannya itu tidak diterima.
Menurut
Jumhur Ulama’,
bahwa seluruh sahabat itu adalah
adil. Adapun yang
dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara kontiniu
dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amar ma’ruf serta tidak
berbohong kepada Rasulullah Saw.
.Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab Kifayahnya mengatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi mengenai
keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat sudah ditetapkan keadilannya
oleh Allah Swt., dalam ayat- ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan perintah ini
dari Al Quran dan Hadits tersebut langsung tertuju kepada sahabat Rasulullah
dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu.[7]
Imam Al-
Nawawi menyatakan
pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu tidak
diperbolehkan seseorang mengkritik mereka ( para sahabat ), karena
dikhawatirkan akan menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah
menegaskan keadilan mereka. Sebab
mereka memiliki peran yang sangat besar dalam menegakkan dan membela agama,
membela Rasulullah Saw, menyerahkan jiwa dan hartanya, bersikap sesuai dengan
tatanan-tatanan-Nya dan sangat ketat dalam melaksanakan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya.
Imam
Al-Ghazali menegaskan
bahwa keadilan sahabat telah di maklumi berlandaskan apa yang ditegaskan Allah
Swt sendiri. Selain itu Allah juga memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu
lagi menta’dilkan mereka sebab penta’dilan dari Allah lebih sahih mengingat Dia
adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadap yang ghaib. Pernyataan Al-Ghazali
mendapat dukungan ibn Salah, ia menjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak
dipertanyakan lagi. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan
Ijma’ bahwa mereka semua adalah adil.[8]
Ibnu Atsir dalam kitab Al-
I’tiab berkata, “walaupun para sahabat, tidak perlu kita bahas keadaan
mereka karena telah disepakati oleh Ahl al Haaq yaitu Ahl as-Sunnah
wa al Jama’ah bahwa mereka itu adil, namun wajib kita mengetahui nama-nama
mereka dan membahas perjalanan hidup mereka, serta keadaan mereka untuk kita
teladani, karena merekalah orang yang paling mengetahui
tentang suluk Nabi SAW dan keadaan kehidupan beliau.”
Dalil Keadilan Sahabat Tabi’in dan
Tabi’ut Tabi’in
Allah Telah Menta’dil ( memberikan penilaian adil ) kepada para sehabat
nabi SAW dengan firman – firmannya di dalam kitab suci Al Quran, maka
tidak diperlukan lagi ucapan – ucapan dari manusia – manusia Jahil
yang meragukan dan membantahnya.[9] Dan
ini adalah dalil – dalilnya :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ
رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي
وُجُوهِهِمْ مِنْ أ…َثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ
فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ
مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)) الفتح:29
“Muhammad
itu adalah utusan Allah, dan orang - orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang - orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda - tanda mereka, tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat - sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam - penanamnya, karena Allah menjengkelkan hati
orang - orang kafir (dengan kekuatan orang - orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang - orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
“Orang -
orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama - lamanya.
Mereka kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.
“Dan demikianlah (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al- Baqarah:143)
Perhatikan Sabda Nabi SAW dibawah
ini :
صحيح مسلم - (ج 12 / ص 352)
فَقَالَ النُّجُومُ أَمَنَةٌ
لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا
أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ
وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا
يُوعَدُونَ
Lalu
Rasulullah SAW bersabda: ‘Bintang-bintang ini merupakan amanah ( penjaga, tanda
keamanan ) bagi langit. Apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit
akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah ( penjaga, tanda
keamanan ) para sahabatku. Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka para
sahabatku, akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Para
sahabatku adalah amanah ( penjaga, tanda keamanan ) umatku. Apabila para
sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan tertimpa apa yang telah
dijanjikan kepada mereka”.[Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2531. Diriwayatkan pula oleh Ahmad 4/398-399].
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah
kalian mencaci para sahabatku. Demi Zat yang jiwaku ada dalam
genggaman-Nya, seandainya seorang dari kalian menginfakkan emas seberat Gunung
Uhud, maka belum bisa menyamai satu mud atau separuhnya yang diinfakkan oleh
seorang dari mereka.” (HR Bukhari dalam Shahih-nya (3/1343)
(3470), dan Muslim dalam Shahih-nya (4/1967) (2540))
Adapun Tabi’in mereka adalah murid
dan pengikut setia para Sahabat. Demikian juga Tabi’ut-Tabi’in dalam mengikuti
Tabi’in.
Ibnul Qoyyim berkata:
Sesungguhnya fatwa dari atsar as-Salafus Salih
dan fatwa-fatwa sahabat lebih utama untuk
di ambil dari pada pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa
mutaakhirin (orang belakang). Karena dekatnya fatwa terhadap kebenaran sangat
terkait dengan kedekatan pelakunya dengan
masa Rasulullah Saw. maka fatwa-fatwa sahabat lebih
didahulukan untuk di ambil dari fatwa-fatwa tabi'in dan
fatwa-fatwa tabi'in lebih di dahulukan dari fatwa-fatwa
tabiut-tabiin. [10]
adapun sahabat-sahabat nabi yang
mempunyai adil dalam mengembangkan hadits
ke pelosok tanah arab:[11]
Ø Abu Hurairah
Abu hurairah adalah seorang sahabat
yang mendapatkan gelar kehormatan dari para ulama yaitu al-Imam, al-Faqih, al-Mujahid dan al-Hafiz, dialah salah satu sahabat yang di doakan Rasulullah agar
mempunyai kekuatan Hafalan yang tinggi.
Ø Abdullah bin Umar
Abdullah bin umar termasuk seorang
sahabat yang tekun dan berhati-hati dalam periwayatan hadis, tidak ada seorang
sahabat Nabi yang mendengar hadis Rasulullah yang lebih berhati-hati dari pada
Ibnu Umar.
Ø Abu sa’id al-Khudry
Abu sa’id al-Khudry dikenal sebagai
orang yang zahid dan alim. Ia mengikuti peperangan untuk menegakkan ajaran
sebanyak 12 kali, beliau meriwayatkan hadits sebanyak 1170 hadits.
Ø Jabir ibn ‘Abdillah
Jabir ibn ‘Abdillah merupakan
seorang sahabat yang menjadi mufti di madinah dan ikut 21 peperangan. Beliau
meriwayatkan hadits rasul sebanyak 1540 hadits.
C.
Kesimpulan
Kata sahabat menurut
lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai. Menurut para
ulama yang disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi
saw dalam keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka,
orang yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka
tidaklah dipandang sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya
tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi
setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya
setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di
Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu
Dzu'aib, mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Tabi'I menurut bahasa yaitu
pengikut. Sedangkan yang disebut "tabi'in" menurut istilah
adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi saw serta meninggal
dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.
Tabi'ut
tabi'in atau Atbaut Tabi'in (bahasa Arab: تابع التابعين)
adalah generasi setelah Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in, adalah orang Islam teman sepergaulan dengan para
Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi.
Keadilan para sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in sudah sangat jelas di dalam
alqur’an dan hadits bahwa merekalah pembawa ajaran agama islam setelah nabi
Muhammad saw wafat, ada hadits yang mengatakan yang artinya sebagai berikut:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi
setelah mereka kemudian generasi setelah mereka, Kemudian datang suatu kaum
yang kesaksiannya mendahului sumpahnya. Dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”.
(Bukhari/Muslim)
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Baldi. 2019. Studi Ilmu Hadits. Palembang:Noer Fikri.
Al-Maliki, Alawi, Muhammad. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
ash-Shiddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku.
2002 Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis. Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Aziz, Mahmud. dan Yunus, Mahmud. Ilmu Musthalahah Hadis. Jakarta:
Jayamurni.
Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis. Yogyakarta:Bulan Bintang.
Ismail, Syuhudi, M. 1987. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung:Angkasa.
Khaeruman, Badri. 2004. Otentitas Hadis Studi Kritis atas Kajian
Hadis Kontemporer. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Soebahar, Erfan. 2007. Aktualisasi
Hadis Nabi di EraTeknologi Informasi. Semarang:Rasail Media Group.
Subhi, As-Shalih. 1993. Membahas Ilmu Hadis. Jakarta:Pustaka
FirdausAsh-Shiddiqiy.
[3]
Tengku Muhammad Hasbih Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar
ilmu hadits,(Semarang: Pustaka Riski Putra,2002), hlm 209.
[4]
Ash-Shiddiqiy Hasbi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(cet ke:6 Yogyakarta:Bulan
Bintang, 1980), hlm 315-318.
[5]
M. Ervan Soebahar, Aktualisasi Hadits nabi Diera
Teknologi Informasi,(Semarang:Rasail Media Grub,2010), hlm.55.